Santri Cendekia
Home » Generasi Supernova: Marhaban Yaa Risalah, Marbahan…

Generasi Supernova: Marhaban Yaa Risalah, Marbahan…

Sejujurnya, ini hanya tulisan dari seorang penulis lepas. Ingin hati ini menuliskan tentang mereka jauh sebelum Jerman mengangkat tropi Piala Dunia 2014 di Brazil, namun karena keterbatasan wawasan saya dalam dialektika-komunikasi-tulisan khas seorang ulama, maka saya selalu mengurungkan niat untuk melakukannya. Itu yaa karena, anda tahu sendirilah, saya ini hanyalah bongkahan nasi basi di antara nasi goreng buatan Bu Yeni yang enaknya nendang itu lho. Maklumkanlah ~

Tulisan ini mungkin saya persembahkan untuk mereka yang berhasil mencapai derajat tertinggi agar bisa lolos dari pintu gerbang Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM), yaa mereka adalah para pendekar Risalah.

Anda salah, Risalah memang kitab monumentalnya Imam Syafi’I, tapi dalam konteks ini, Risalah yang kita bicarakan adalah tulisan ilmiah sebagai syarat utama bagi semester enam agar bisa keluar dengan mulus dari system pendidikan yang berada langsung di bawah arahan Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini. Yaa bisa dikatakan kadar ilmiah dari Risalah ini setara dengan kewibawaan skripsi yang dipajang di perpustakaan-perpustakaan Perguruan Tinggi di luar sana. Bahkan menurut beberapa dosen (konon) katanya Risalah anak-anak PUTM lebih baik daripada, ehmm, skripsi anak-anak mainstream Tafsir Hadist atau Tarbiyah.

Berbeda dengan tahun lalu, para pendekar Risalah tahun ini hanya berjumlah sebelas orang, mereka adalah murid terakhir Ustadz Syatibie, di antaranya: Arif Fakhruddin, Arif Rahman Yunar, Abu Rizal Fakhruddin, Ahmad Marzuki, Alfarabi, Eko Setiawan, Fajar Al-Mahmudi, Ilham Ibrahim, Muhammad Ridha, Muhammad Rifkianto dan Ujang Misbahul Aripin/Arifin. Fajar Al-Mahmudi menyebutnya sebagai generasi Supernova.

Saya tidak tahu mimpi buruk apa yang menimpanya sehingga menyimpulkan bahwa kami adalah generasi terburuk-nya PUTM yang setara dengan bobroknya generasi Monkey D. Luffy dalam serial manga One Piece, sekali lagi saya tidak tahu.

Baiklah kita aminkan saja bahwa kita memang generasi Supernova dengan melihat fakta yang semakin mendekati kebenarannya, kami generasi terburuk.

Setelah saya melebur dengan generasi Supernova ini, bediskusi, tertawa bahkan tak jarang adu leher mengeras lantaran berbeda pendapat, sungguh saya baru menginshafi betapa mujurnya saya bisa hidup sezaman dengan mereka. Kemujuran yang sepantasnya dirasakan pula oleh seluruh anak muda Indonesia. Saya kira.

Mas Ridha, misalnya, meskipun dia merupakan salah satu gembong jomblo arus-utama yang mengkampanyekan gerakan nikah masal dan sunat pra-baligh, ia terus tanpa henti mengeluarkan kata-kata bijaknya untuk mengarahkan para “dedek-dedek” seperti kami yang awam ini ke jalan yang benar. Mungkin karena beliau sudah hafal betul bahwa demografi usia di generasi Supernova ini variatif, dan beliau yang paling “senior”. Anda bisa melihat dari jenggotnya yang kalau diperhatikan mirip kuas ini.

Baca juga:  Al-Hikam: Potret Dunia Irfani?

Ini serius. Jika diteliti menggunakan Metode Kesangsian Descartes, Ridha ternyata, bagi saya, adalah teladan sempurna “cogito ergo sum” di era gadget ini. Jika tengkorak Descartes diabadikan di Museum d’Historie Naturelle, Paris, sebagai penghargaan atas jasa-jasanya bagi filsafat Barat, maka saya usul kelak tengkorak Mas Ridha, pria kondang kandidat ahli hadist asal Comal ini, harus diabadikan di Keraton Yogyakarta, agar generasi berikutnya bisa dengan mudah meneladani mas Ridha.

Awalnya kami tidak yakin bisa menulis karya ilmiah ini, tapi benarlah kata pepatah yang mengatakan bahwa “keberanian akan muncul ketika dua orang pengecut berkumpul.” Yaa kami, para generasi Supernova, adalah kumpulan orang-orang pengecut yang selalu menyerah terhadap realitas, tapi setelah berkumpul, entah kenapa secara alami keberanian dalam menulis Risalah ini bangkit, kita saling memberi semangat, memberi dukungan dan memberi masukan. Kumpulan pengecut yang berani, itulah kami.

Banyak suka duka dalam menulis Risalah ini. Jika mengerjakan Risalah adalah mengejar wanita, maka pinangan kepadanya adalah membaca, dan menikahinya adalah revisi. Serius. Antara Risalah dengan revisi adalah satu kesatuan psikologis yang dekatnya seperti aliran darah dan detakan jantung. Setiap kali melakukan perbaikan, Alfarabi, misalnya, sering dicoret bahkan yang kemarin telah dicoret pun dicoret lagi oleh pembimbingnya.

Berbeda dengan Alfarabi, Marzuki, Fajar dan Ilham malah tidak dicoret sedikitpun. Entah sudah benar atau malah pembimbingnya sudah terlalu suntuk memeriksa Risalah mereka yang ala kadarnya itu.

Terlepas dari variatifnya tipe pembimbing, toh kami tetap bisa mengerjakan Risalah ini yaa boleh dikatakan dengan cukup baiklah, mungkin karena uniknya para pendekar Risalah ini sehingga mengerjakannya pun bisa dengan niat ibadah bukan dengan darah seperti yang terjadi tempo hari di salah satu universitas Muhammadiyah.

Ujang Misbahul Aripin, misalnya, ia merupakan perwujudan pria paling genial seorang mahasiswa yang zuhud di kampus. Kezuhudan Ujang dalam segala aspek persis sama dengan apa yang sudah digambarkan dalam kitab Al-Hikam milik Ibnu Atha’illah al-Iskandary, hingga Ihya’ Ulumiddin karya Imam Ghazali, yang rata-rata memiliki pijakan pondasi sufisme. Jadi, jika anda malas membaca kedua kitab sufistik klasik itu, perhatikanlah setiap gerak-gerik Ujang, pria kalem asal tanah anarki Majalengka, yang selalu mengawali ceramah dengan ucapan: cek sound, kemudian bershalawat.

Baca juga:  Logo Muktamar Muhammadiyah ke-48 Tak Memihak Orang Kecil?

Lain dengan Ujang, lain pula dengan Alfarabi. Pria asal Bogor yang beriman kepada Allah tanpa syarat ini menurut saya adalah junjungan nyata sufistik kekinian, bahkan perilakunya yang ramah lingkungan bisa menjadi jawaban paling meneduhkan atas segala problematika kawula muda. Bayangkan, ia ramah dan murah senyum, sebuah perilaku yang membuat para akhwat-akhwat ganjen berjerit-jerit minta dibawa lari ke KUA atau bahkan langsung meminta seperangkat alat shalat dalam satu tarikan nafas ijab qabul. Subhanallah.

Selain itu ada nama Fakhruddin. Ia orang baik, murah senyum, begitu ramah, yah pokoknya dia sumiable bagi kalian yaa akhwat. Hal ini bukanlah ejekan, sebab, Udin, demikian ia disapa, seringkali menimbun pahala-pahala yang bukan saja berskala spiritual, tapi sekaligus sosial. Anda yang suatu kelak bisa bertemu dan berkenalan sama Udin pasti akan merasakan pancaran gunduk-gunduk pahalanya yang bertimbun.

Berbeda dengan Ujang, Alfarabi dan Fakhruddin yang memang meneduhkan, Ilham, pria tanggung asal Garut ini merupakan mahasiswa yang berbeda dengan yang lainnya. Ia sok intelek, sok ilmiah bahkan dalam beberapa diskusi di kelas sok bebas, sok liberal. Mungkin menuliskan panjang lebar tentang orang ini tidak akan ketemu faedahnya, jadi cukup di sini saja.

Lupakan tentang Ilham sudah! kita lanjut ke nama yang berikutnya ada Ahmad Marzuki. Mempunyai cita-cita sebagai seorang penyair, namun sayangnya ia tak pernah membuat syair. Mendambakan menjadi seorang penyanyi, namun suaranya nyaris naudzubillah untuk didengar. Mungkin menurut saya Marzuki ini paling cocok menjadi ahli iqamah. Beneran. Selain itu, dia cocok menjadi penafsir teks yang melebihi kehebatan pakar hermeneutika sekelas Jurgen Habermas. Bahkan apalah arti si Habermas bila tak diparipurnakan secara kekinian oleh Marzuki ? Mazhab Frankfurt sudah saatnya diganti dengan Mazhab Purwodadi!

Marzuki mungkin ahli tafsir, tapi ahli ushul fiqh ada di tangan dua orang berkacamata, Arif Rahman Yunar dan Abu Rizal Fakhruddin. Kepakaran mereka dalam mendalami ushul fiqh ini bisa anda baca di dalam Risalahnya. Yunar membahas pemikiran Mohammed Arkoun, Abu Rizal mempreteli pemikiran Jasser Auda. Kedua pria sunda ini pun dibimbing oleh salah satu tokoh besar di Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Ust. Dahwan Mukhroji. Sehingga menyebut mereka berdua bukan sebagai ahli ushul fiqh adalah dusta.

Baca juga:  Pikiran yang Berganti Kiblat

Yunar dan Abu Rizal boleh saja dipandang sebagai ahli ushul fiqh, tapi sirah Nabawiyah ada di tangan Eko Setiawan. Eko memang tahu banyak tentang sirah Nabi Muhammad, namun sayangnya ia kurang wawasan dalam mengenali dirinya sendiri. Betapa sulit untuk tidak dikatakan unik, hampir bisa dipastikan dirinya sendiri tidak tahu kelak ingin jadi apa, terkadang ingin menjadi pengusaha ketika melihat seminar Saptuari, tapi ketika bercerita tentang perjuangan masyarakat Palestine dan negeri-negeri muslim yang terjajah mendadak ghirah menjadi mujahid terketuk. Bukankah antara penguasaha dan mujahid adalah profesi yang paradoks ?

Yang lebih gila lagi Fajar Al-Mahmudi. Fajar, mungkin satu-satunya  generasi Supernova yang memiliki kemiripan dengan Nara Shikamaru di dalam serial manga Naruto. Ia orangnya ceroboh, pemalas, enggan melakukan sesuatu yang rumit dan agak sedikit membangkang. Namun di sisi lain ia sangat cerdas, cepat dalam berpikir bahkan tak jarang begitu mendominasi. Fajar juga bila diperhatikan dengan jeli ketika main futsal itu sama seperti Jun Misugi di dalam kartun Captain Tsubasa, hanya saja Jun Misugi sakit jantung, sedang Fajar sakit ambeyen. Sial. Efek anti makanan hijau sayur-mayur yaa gini produknya.

***

Yah sejujurnya, tiga bulan lebih kami bergelut dengan Risalah ini. Suasana asrama kami seakan menjadi Universitas Nizhamiyah yang terkenal sebagai tempat akademik terbaik di abad pertengahan. Dengan adanya Risalah ini, kami pun semakin melebur dengan buku dan kitab sehingga diskusi-diskusi di dalam asrama serasa kumpul di dalam tembok Baitul Hikmah era Kekhilafahan Harun ar-Rasyid dan al-Makmun. Namun yang masih kurang adalah PUTM enggan beranjak menjadi negeri 1001 malam.

Begitu banyak keunikan antara saya dan kesepuluh orang ini, sehingga harus saya katakan, tiada yang lebih tabah dari hujan bulan April selain menulis Risalah dengan kalian, para Supernova. Yah begitulah, ketika simfoni kehidupan berirama merdu, gegas beri komando pada hatimu, nyanyikan syukur, lafadzkan tafakur agar kemerduan tak memudar.

Itu pesan saya.

Pertanyaan pokok: Siapakah saya ?

Saya, Muhammad Rifkianto.

***

Tulisan satu tahun yang lalu: 21 Mei 2016.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar