Santri Cendekia
Home » Gugurnya Narasi Tentang Kiamat di Tengah Wabah

Gugurnya Narasi Tentang Kiamat di Tengah Wabah

Narasi Meresahkan di Tengah Wabah

Merebaknya virus mematikan bernama Covid-19 atau yang dikenal dengan Corona sudah cukup membuat masyarakat dunia resah dan kalang kabut. Di saat-saat seperti ini, yang dubutuhkan adalah ketenangan, bukan sebaliknya kepanikan.

Tidak mudah untuk menghadirkan rasa tenang dari ancaman virus yang sudah menginfeksi 3,8 juta penduduk dunia dan merengkut ratusan ribu korban jiwa. Sampai saat ini, virus yang telah merubah tatanan kehidupan umat manusia ini belum juga ditemukan penawarnya.

Ibnu Sina, pakar kedokteran Islam yang dijuluki sebagai Father of Doctors atau juga disebut dengan Pangeran Para Dokter mengatakan “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan.” Ungkapan Ibnu Sina yang sangat populer ini sangat membantu di tengah gempuran wabah yang semakin parah dan ganas ini.

Membaca ungkapan Ibnu Sina tersebut hati dan pikiran menjadi lebih tenang. Kata-kata atau narasi bijak menentramkan seperti inilah yang membantu dan lebih dibutuhkan warga dunia saat ini. Bukan sebaliknya narasi yang meresahkan dan membuat kepanikan.

Inilah yang dalam beberapa bulan terakhir dihembuskan, narasi tentang akan terjadinya suatu peristiwa besar di pertengah puasa Ramadhan 1441 H. Ada yang menyebutnya kiamat, adanya yang menyebutnya ledakan besar, ada yang menyebutnya huru-hara akhir zaman, juga ada yang menyebutkan dukhan atau asap tebal yang menyelimuti dunia.

Apapun itu, yang pasti telah menambah gaduh dan resah warga dunia yang sedang diliputi ketakutan akan ancaman virus yang mematikan bernama Corona. Narasi yang meresahkan ini meluncur cepat bagaikan anak panah yang melesat begitu deras, melalui berbagai media online seperti WA, FB, Twiter, You Tube, kanal-kanal berita online dan lainnya.

Narasi ini dengan begitu cepatnya menjadi konsumsi bebas tanpa ada penyaringnya terlebih dahulu. Akhirnya banyak yang menelan mentah-mentah. Hingga banyak yang resah ditengah gempuran wabah.

Keadaan ini semakin diperparah oleh para da’i dan tokoh agamawan kondang yang justru membantu dalam menistribusikan narasi yang meresahkan tersebut. Hasilnya, dapat diketahui, semakin banyak umat Islam yang percaya dengan kabar yang belum tentu bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Ini tentu sangat memprihatinkan.

Ini sungguh ironis. Para da’i dan tokoh agamawan yang memiliki posisi strategis dalam membantu menenangkan keadaan justru malah menambah runyam keadaan. Para da’i dan tokoh agamawan yang dianggap telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dalam bidang agama justru hancur lebur dengan narasi yang disampaikan.

Karena ternyata hadis yang mereka kutip tentang adanya huru-hara di pertengah bulan Ramadhan tersebut adalah hadis palsu dan tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Hal ini semakin membuktikan bahwa banyak pendakwah yang ceroboh, kurang teliti dan kurang kritis terhadap sumber rujukan yang digunakan.

Baca juga:  KH. Hasan Abdullah Sahal Tentang Hakikat Ulama dan Pesantren (2)

Hadis itu Ternyata Palsu

Hadis yang dijadikan dasar dalam membuat narasi yang meresahkan tersebut adalah hadis yang diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan I/228, No.638. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul ‘Ummal, No.39627). Berikut ini adalah hadis tersebut lengakap dengan sanadnya, serta studi kritis para ulama terhadapnya.

قَالَ نُعَيْمٌ بْنُ حَمَّادٍ : حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “إذا كانَتْ صَيْحَةٌ في رمضان فإنه تكون مَعْمَعَةٌ في شوال، وتميز القبائل في ذي القعدة، وتُسْفَكُ الدِّماءُ في ذي الحجة والمحرم.. قال: قلنا: وما الصيحة يا سول الله؟ قال: هذه في النصف من رمضان ليلة الجمعة فتكون هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة جمعة في سنة كثيرة الزلازل ، فإذا صَلَّيْتُمْ الفَجْرَ من يوم الجمعة فادخلوا بيوتكم، وأغلقوا أبوابكم، وسدوا كواكـم، ودَثِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ، وَسُـدُّوْا آذَانَكُمْ إذا أَحْسَسْتُمْ بالصيحة فَخَرُّوْا للهِ سجدًا، وَقُوْلُوْا سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ ، ربنا القدوس فَمَنْ يَفْعَلُ ذَلك نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هَلَكَ)

Nu’aim bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu Lahi’ah, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Bila telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antar suku, pent) di bulan Dzul Qa’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzul Hijjah dan Muharram…”. Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan shalat Subuh pada hari Jumat, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus”, kerana barangsiapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat, tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, niscaya akan binasa”.

Derajat Hadis dan Pendapat Ulama terhadap Perawinya

Hadis ini telah banyak diteliti dan dikaji secara serius dan mendalam oleh para ualma dan kritikus hadis. Mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di UIN, IAIN atau Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Prodi Ilmu Hadis (ILHA) atau Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) pasti bisa dengan mudah melancak dan mengetahui kualtias hadis tersebut.

Baca juga:  Kiat Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Kesimpulan yang di dapat bahwa hadis ini derajatnya maudhu’ alias PALSU. Karena di dalam sanadnya (sanad adalah rangkain periwayat hadis) terdapat beberapa perawi (periwayat) hadis yang dinilai oleh para ulama hadis sebagai pendusta dan bermasalah.

Dalam hadis tersebut, terdapat lima perawi yang dinilai pendusta dan bermasalah, yaitu (1) Nu’aim bin Hammad yang dinilai oleh Imam AnNasa’i sebagai seorang yang dha’if (lemah)”. [Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, I/101 No. 589]; (2) Ibnu Lahi’ah yang dinilai oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan mengatakan: “Dia mengalami kekacauan di dalam hafalannya setelah kitab-kitab hadisnya terbakar”. [Lihat Taqrib At-Tahdzib I/319 No. 3563]; (3) Abdul Wahhab bin Husain yang dinilai oleh Imam Adz-Dzahabi dengan berkata: “Dia mempunyai riwayat hadis palsu”. [Lihat Lisan Al-Mizan, II/139]; (4) Muhammad bin Tsabit Al-Bunani yang dinilai oleh Ibnu Hibban dengan berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya, dan tidak boleh pula meriwayatkan darinya”. [Lihat Al-Majruhin, II/252 No. 928]. Dan (5) Al-Harits bin Abdullah Al-A’war Al-Hamdani yang dinilai oleh Abu Hatim Ar-Razi dengan berkata: “Dia tidak dapat dijadikan hujjah”. [Siyar A’lam An-Nubala’, IV/152 No. 54].

Penilaian Para Ulama Tentang Hadis ini

Banyak ulama yang telah mengkaji dan memberikan penilain terhadap hadis ini. Diantaranya adalah Syaikh Al-Albani berkata: “Hadis ini palsu (maudhu’). [Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhu’ah, No. 6178, 6179). Ibn Al-Jauzi juga berkata: “Hadis ini dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. [Lihat Al-Maudhu’aat III/191].

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga menilai bahwa “Hadis ini tidak mempunyai dasar yang benar, bahkan ini adalah hadis yang batil dan dusta”. [Lihat Majmu’ Fatawa Bin Baz, XXVI/339-341].

Saatnya Menebarkan Kebaikan

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis maudhu’ (palsu). Setiap hadis yang derajatnya maudhu’ maka tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak boleh dinisbatkan atau disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.

Menyebarkan hadis palsu ancamannya tidak main-main, Neraka Jahannam. Berikut di bawah ini adalah dua hadis yang derajatnya shahih mengenai ancaman memalsukan dan menyebar luaskan hadis palsu.

Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Baca juga:  Haedar Nashir: Isu-isu Penting untuk Kalangan Muda Muhammadiyah

Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ

Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)

Selain hadis ini adalah maudhu’ yang tidak dapat diterima sebagai hujjah, dengan mengucapkan Alhadmulillah, realita telah menjawabnya, bahwa hari ini Jumat 15 Ramadhan 1441 H/8 Mei 2020 M tidak terjadi huru-hara yang dimaksud. Sehingga narasi tentang huru-hara yang mengutip hadis tersebut batal, tidak benar dan tidak perlu dipercaya.

Mulai sekarang, mari kita hentikan menyebar luaskan narasi yang tidak benar ini. Berhenti menshare berita-berita hoax apa lagi atas nama hadis nabi yang ternyata maudhu’ (palsu). Ini adalah bulan Ramadhan, saatnya kita menebarkan kebaikan-kebaikan yang mencerahkan dan membahagiakan.

Bagi para pendakwah, da’i, khatib dan tokoh agamawan hendaknya harus lebih cermat, berhati-hati dan teliti lagi dalam mengutip dan menafsirkan hadis-hadis nabi. Karena dampaknya bisa menimbulkan fitnah dan keresahan bagi masyarakat luas. Peristiwa ini kita jadikan pelajaran. Apa lagi dimusim wabah seperti ini.

Masyarakat membutuhkan suplemen bergizi berupa narasi yang menentramkan hati. Tidak penting kapan kiamat terjadi, yang penting adalah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya nanti. Begitulah pesan Nabi.

Baca artikel menarik lainnya tentang corona:

  1. Tinjauan Fikih: Lebih Baik Tidak Salat Jumat Selama Wabah Corona
  2. Tidak ke Masjid di Masa Wabah Corona Bukan Pembangkangan atas Syariat Islam
  3. Pandemi ‘Fitnah’ Netizen atas Fatwa tentang Corona
  4. Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus
  5. 14 Rekomendasi Muhammadiyah Amerika Serikat terkait Wabah Corona
  6. Mengenal Aliran Teologi Islam Melalui Virus Corona
  7. Tanya Jawab soal Corona, Azab, dan Masjid (1)
  8. Tanya Jawab soal Masjid dan Corona (2)
  9. Surat Terbuka bagi Mereka yang Bilang jangan Takut Corona Takutlah kepada Allah

  10. Hukum ‘Shaf Distancing’ demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

  11. Syahidkah orang yang Meninggal Karena Virus Corona? 

  12. Hukum Salat Jamaah via Video Call atau Sejenisnya

  13. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (1)
  14. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (2)
  15. Fikih Thaharah dan Shalat bagi Tenaga Kesehatan di Tengah Wabah Covid-19 (3)
  16. Bantahan atas Cocokologi ‘Arti Corona dalam al-Quran’

  17. Tata Cara Adzan Saat Darurat Covid-19

  18. Doa dan Tata Cara Qunut Nazilah dalam Kondisi Darurat Covid-19

  19. Pandemi Corona sebagai Titik Konflik Agama dan Sains

  20. Alokasi Zakat untuk Jihad Medis Melawan Covid-19

 

 

 

Muhammad Nurdin Zuhdi

Dosen Tetap Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

1 komentar

Tinggalkan komentar