Santri Cendekia
Home » Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus

Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus

Hadis sahih menafikan adanya penyakit menular, hadis lainnya justru memerintahkan menghindari penyakit menular, belum lagi fenomena covid-19. Bagaimana penjelasannya?

Majelis taklim di kantor hari rabu sore kemarin (4/3/20) bertema tentang ikhtiar dan tawakkal dalam menghadapi musibah. Contoh kasus yang digunakan adalah tentang epidemi virus Covid-19. Pemateri membuka majelis taklim dengan mengutip dua buah hadist;

لاَ عَدْوَى, وَلاَ طِيَرَةَ , وَأُحِبُّ الْفَأْلَ الصَّالِحَ

Tidak ada penyakit yang menular dan tidak ada thiyaroh -thiyaroh adalah kepercayaan orang arab yang merasa sesuatu bisa membawa kesialan (HR Muslim)

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ

Larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa (HR Bukhari)

Dua hadist ini, seolah terlihat bertentangan, dan tentu keduanya shahih. Hadist pertama berbicara tidak ada yang namanya penyakit menular, namun hadist kedua malah memerintahkan kita untuk lari menjauh dari wabah penyakit kusta. Kedua hadist tersebut derajatnya juga dishahihkam oleh dua perawi yang paling terpercaya dalam dunia perhaditsan. Bagaimana yang benar? Bagaimana mendudukan kedua hadist ini?

Di dalam kitab Taisir Musthalahul Hadist karangan Syaikh Mahmud Ath Thahan (versi terjemahan, “Dasar dasar ilmu hadist), dua hadist tersebut dimasukan dalam bab Mukhtalaful hadist (hadist yang secara dzahir bertentangan atau kontradiktif).

Hadist-hadist yang secara dzahir bertentangan seperti ini bisa diperlakukan dengan 4 cara:

  1. Jika memungkinkan di kompromikan atau digabungkan, maka digabungkan
  2. Jika tidak mungkin digabung dan diketahui salah satu dari keduanya merupakan nasikh (penghapus), maka diamalkan yang nasikh dan ditinggalkan yang mansukh (yang dihapus)
  3. Jika tidak tahu mana yang nasikh dan mansukh, maka kita lihat mana yang lebih rajih (kuat) di antara keduanya.
  4. Jika tidak tahu mana yang lebih rajih, maka kita berdiam dari keduanya dan tidak mengamalkan keduanya hingga dikemudian hari kita ketahui mana yang lebih kuat dari yang lain berdasarkan qorinah-qorinah (indikator indikator) yang ada.
Baca juga:  [Jurnal] Wacana Studi Interkoneksi Hadis: Telaah Ringkas Pemikiran Hadis Syamsul Anwar

Kembali ke majelis taklim kantor, Ustad Irfan Halim yang menjadi pembicara pun menjelaskan bahwa kedua hadist yang ikhtilaf ini bisa digabungkan (al jam’u wat taufiq), begitupun penjelasan beliau terafirmasi oleh Syaikh Mahmud Ath Thahan di dalam kitab tersebut d atas, bahwa secara hukum alam (kausalitas), penyakit yang menular itu adalah suatu yang ma’lum (diketahui) di tengah tengah manusia. Bukan sesuatu yang perlu ditentang dan bertentangan dengan keimanan.

Namun, pada akhirnya, semua terjadi sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendak virus dan penyakit itu sendiri. Betul bahwa flu itu bisa menular, betul bahwa covid-19 itu bisa menular, betul bahwa ada ikhtiar dan cara cara duniwai yang bisa ditempuh untuk menghindari covid-19, namun pada akhirnya semua kembali kepada ketentuan Allah juga. Tidak boleh upaya kita membuat kita lupa untuk bertawakkal kepada Allah. Kausalitas itu ada, hukum alam itu ada, sains itu nyata, tapi semua tunduk terhadap kehendak Allah.

Hal ini pula yang menjasi kritik Imam Al Ghazali di dalam kita Tahafut Al Falasifah  terhadap teori kepastian sebab akibat (kausalitas) dan membuat beliau disalah pahami dan dituduh oleh sebagian orang sebagai pihak yang menghasilkan kemunduran bagi dunia islam.

Imam Al Ghazali menolak pemutlakan hukum sebab akibat karena menurut beliau benda mati tidak memiliki tindakan atau kehendak. Tindakan dan kehendak dari sebab-akibat berada eksklusif di tangan Tuhan, yang selalu bertindak berdasarkan kehendak-Nya.

Lebih lanjut, penulis mencoba untuk menyarikan pendapat Dr Hamid Fahmy Zarkasyi di dalam buku, “Kausalitas, hukum alam atau hukum Tuhan”, bagi Al Ghazali, permasalahan teori kausalitas ini adalah tercipta sebuah kesan bahwa Tuhan itu berbuat karena kewajiban yang tertetapkan di dalam hakikat-Nya dan bukan karena kehendak-Nya. Tuhan bukan pelaku yang berkehendak.

Baca juga:  Tiga Problem Agama di Masa Pandemi

Pemahaman Imam Al Ghazali ini bisa lebih dipahami dengan memperhatikan kembali pembahasan dua hadist di atas. Ya, karakter dan sifat dari setiap komponen alam semesta ini memang ada. Namun pada akhirnya mereka semua adalah makhluk. Yang tindak tanduknya tidak pernah keluar dari kehendak dan perbuatan Allah. Maka virus covid-19 memang memiliki tabiat-tabiat yang bisa kita alami, kita bisa berikhtiyar untuk mencegah penularannya berdasarkan tabiat-tabiat tersebut. Namun usaha itu harus selalu beriring doa dan tawakkal karena Allah-lah penentu akhir dari semua skenario di alam ini.

Maka terkadang Allah hadirkan hal hal yang khoriqul ‘adah (keluar dari kebiasaan),baik yang kubra dan sughra di dunia ini agar kita paham bahwa ada pihak yang lebih tinggi dari hukum alam itu sendiri yang bisa mengintervensi jalannya alam semesta ini kapanpun Dia Berkehendak. Seperti mukjizat para Nabi, Adzab kubur yang ditampakkan kepada manusia yg masih hidup, air asin dan tawar yang bertemu, orang mati suri, Yang sehat tau tau mati, yang sakit parah dan bahkan divonis mati eh akhirnya gak mati mati melewati masa vonisnya dan banyak contoh contoh lainnya.

Allahu a’lam

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar