Santri Cendekia
Home » Hadits tentang Pentingnya Mencintai dan Merawat Bumi

Hadits tentang Pentingnya Mencintai dan Merawat Bumi

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

Dari Anas bin Malik ra (ia berkata): Rasulullah saw bersabda: Tak seorang pun muslim yang menanam pohon atau menabur benih tanaman, lalu (setelah ia tumbuh) dimakan oleh burung, manusia, atau hewan lainnya, kecuali akan menjadi sedekah baginya [HR. Bukhari].

Hadits ini selain diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih Muslim, juga diriwayatkan oleh banyak mukharrij yang lain seperti al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra dan Syu’ab al-Iman, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi, Abu ‘Awwanah dalam Musnad Abi ‘Awwanah, Abu Ya’la dalam Musnad Abi Ya’la, Ahmad dalam Musnad Ahmad, al-Thayalisi dalam Musnad al-Thayalisi, Ibnu ‘Asakir dalam Musnad Ibn ‘Asakir, dan ‘Abd al-Razzaq dalam Musnad ‘Abd al-Razzaq.

Hadits ini adalah di antara hadits yang berbicara tentang pentingnya mencintai dan merawat bumi yang kita tinggali dengan cara melakukan penanaman pohon atau tumbuh-tumbuhan. Ibnu Baththal menerangkan bahwa salah satu kandungan hadits tersebut adalah anjuran untuk memakmurkan bumi yang kita tinggali agar kita dan orang yang hidup setelah kita bisa hidup dengan tenteram (Ibnu Baththal, Syarh Shahih al-Bukhari, Vol. 6, h. 456).

Sejalan dengan pendapat Ibnu Baththal, al-‘Utsaimin menegaskan lebih lanjut bahwa anjuran menaman pohon dan tumbuhan menjadi hal penting karena ia mengandung maslahat, baik yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Maslahat duniawi yang dimaksud adalah bahwa produksi kebaikan yang dihasilkan dari menamam pohon itu berimplikasi tidak hanya pada orang yang menanam saja, tapi juga bermanfaat bagi masyarakat secara umum di seluruh negeri. Hal ini berbeda, misalnya, dengan kemanfaatan uang yang hanya dimiliki oleh individu dan hanya bisa dimanfaatkan oleh orang yang memilikinya saja. Adapun maslahat ukhrawinya ialah apabila seseorang menanam pohon atau tumbuhan, baik ia niati atau tidak, lalu ada hewan (apapun itu) yang memakan hasil dari tanaman tersebut meskipun satu biji saja, maka orang tersebut akan diganjar pahala sedekah oleh Allah swt (Al-‘Utsaimin, Syarh Riyadh al-Shalihin, h. 153). Bahkan menurut al-Nawawi, pahala sedekah tersebut akan terus mengalir sampai hari kiamat selama pohon atau tumbuhan yang ditanam tersebut masih terus berkembang biak (Al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Vol. 10, h. 213), yang artinya masih bermanfaat bagi umat manusia dan makhluk Allah yang lain.

Baca juga:  Hadis Kontradiktif, Kausalitas, dan Coronavirus

Hal ini dikuatkan oleh hadits Nabi yang lain, yang menerangkan tujuh perkara yang pahalanya akan terus mengalir meskipun orang yang berbuat telah meninggal dunia. Salah satu di antara tujuh perkara itu adalah implementasi kecintaan kepada bumi,

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” سَبْعَةٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا، أَوْ كَرَى نَهَرًا، أَوْ حَفَرَ بِئْرًا، أَوْ غَرَسَ نَخْلًا، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا، أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

Dari Anas (ia berkata): Rasulullah saw bersabda: Tujuh perkara yang pahalanya akan terus mengalir bagi seorang hamba sesudah ia mati dan berada dalam kuburnya. (Tujuh itu adalah) orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan air, menggali sumur, menanam pohon kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampunan untuknya sesudah ia mati [HR. Al-Baihaqi. Hadits ini dinyatakan hasan li-ghairih oleh al-Albani].

Meskipun kualitas hadits ini masih diperdebatkan, namun setidaknya setelah melakukan penelitian, salah seorang ahli hadits Nashiruddin al-Albani menyimpulkan bahwa secara sanad hadits tersebut berstatus hasan li-ghairih (Al-Albani, Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, h. 17), sehingga sebagaimana dikategorikan oleh para ulama dan sesuai dengan Manhaj Tarjih Muhammadiyah dapat dijadikan sebagai landasan dalil. Al-Baihaqi juga mengomentari bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits lain yang populer dan lebih shahih, yang menjelaskan tentang tiga amal jariyah yang tidak akan terputus ketika seseorang meninggal dunia (hadits tersebut misalnya diriwayatkan oleh Muslim). Hadits yang diriwayatkannya ini, menurut al-Baihaqi, bersifat menambahi poin-poin yang ada pada hadits riwayat Muslim.

Hadits riwayat al-Baihaqi tersebut menguatkan kembali sifat amalan yang tidak akan terputus (never-ending) meskipun orang tersebut meninggal dunia, yaitu terkandungnya sifat kemanfaatan (utility) yang terus-menerus bagi makhluk. Sifat ini tercakup dalam tujuh hal, yang salah satunya ialah menamam pohon kurma. Tentu penyebutan pohon kurma dalam hadits tersebut tidak bermakna membatasi, tapi harus dipahami sebagai representatif dari jenis pohon yang ada. Oleh karenanya, menanam pohon apapun itu ketika dilakukan dalam bingkai kecintaan kepada bumi, maka akan mengantarkan pelakunya pada posisi terhormat dan istimewa di sisi-Nya.

Baca juga:  Telaah Kritis Pemikiran Hadis Muhammadiyah

Sebaliknya, orang-orang yang justru menebang pohon yang menjadi sumber kemanfaatan bagi manusia maupun makhluk lainnya, diancam oleh Allah swt dengan api neraka. Ini sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadits,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُبْشِىٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِى النَّارِ »

Dari ‘Abdullah bin Hubsyi (ia berkata): Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menebang pohon sidrah (sejenis bidara), maka Allah akan mengarahkan kepalanya ke neraka [HR. Ahmad. Dinyatakan shahih oleh al-Albani].

Al-Manawi dalam Faidh al-Qadir (Vol. 6, h. 267) dan Abu al-Thayyib Abadi dalam ‘Aun al-Ma’bud (Vol. 14, h. 102) menjelaskan bahwa pohon sidrah adalah pohon rindang yang terletak di gurun sahara dan sering digunakan oleh musafir dan hewan-hewan yang hidup di sekitarnya untuk berteduh. Artinya ancaman Nabi yang terdapat dalam hadits tersebut tidak lain karena orang yang menebang pohon sidrah berpotensi besar melakukan tindakan zhalim kepada orang lain.

Pada titik inilah, di saat penggundulan dan penebangan hutan kian marak khususnya di negeri kita dan di seluruh penjuru dunia secara umum, relevan kiranya kita meresapi kembali kandungan dan pesan Nabi saw dalam hadits-hadits di atas tentang bagaimana seharusnya kita mencintai dan merawat bumi yang kita tinggali. Jangan sampai kita justru menjadi orang yang berbuat kerusakan di muka bumi.

Akhlak atau perilaku baik kepada bumi tidak akan muncul dari hati yang nihil cinta. Hati kita perlu diasah agar memiliki kepekaan, sehingga kecintaan pada bumi yang kita tinggali akan muncul dengan sendirinya. Pada titik ini kita dapat mengawali dengan meneladani bagaimaana ekspresi Rasulullah tatkala suatu hari beliau sedang dalam perjalanan kembali ke kota Madinah pasca perang Tabuk usai. Ketika hendak sampai di kota Madinah, beliau mengatakan kepada para Sahabat,

Baca juga:  Cinta Ramadhan 23: Berbagi Hadiah

هَذِهِ طَابَةُ وَهَذَا أُحُدٌ جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ

Ini adalah Thabah (salah satu sebutan untuk kota Madinah). Sedangkan ini adalah Uhud, gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya [HR. al-Bukhari].

Mengomentari hadits ini, Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa Uhud dan sekitarnya sesungguhnya memiliki kenangan yang kelam bagi Rasulullah dan umat Islam. Karena di tempat inilah Nabi selain pernah kehilangan pamannya, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, juga kehilangan umat Islam yang gugur sangat banyak. Sebagai manusia, bisa saja dan dapat dimaklumi ketika Nabi pulang dari perang Tabuk dan melihat gunung Uhud, beliau meratapi kesedihan yang pernah menimpanya. Atau setidaknya mengekspresikan pilu mendalam yang pernah ia rasakan. Namun yang dilakukan Nabi justru mengucapkan hal yang di luar dugaan, yaitu ekspresi cintanya pada gunung tersebut. Seolah-olah gunung Uhud tersebut adalah makhluk yang hidup, berakal, dan memiliki hati yang bisa merasakan dan mencintai (Yusuf al-Qaradhawi, Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam, h. 30).

Demikianlah Nabi mengajarkan kita untuk mengasah kepekaan, yaitu dengan menamankan keyakinan pada jiwa bahwa bumi ini merupakan makhluk Allah yang hidup, sehingga ia bisa merasakan apa yang diperlakukan manusia-manusianya. Mudah-mudahan kita termasuk manusia yang mencintai dan merawat bumi yang kita tinggali ini. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

*Pertama kali terbit di Majalah Suara Muhammadiyah edisi 16-31 Desember 2020

 

Niki Alma Febriana Fauzi

Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar