Santri Cendekia
Home » Hermeneutika Hadis dan Kejanggalan Nomenklatur (Bagian II)

Hermeneutika Hadis dan Kejanggalan Nomenklatur (Bagian II)

Baca sebelumnya tentang Apakah Ilmu Maanil Hadis sama dengan Hermeneutika?

Pengertian dan Sejarah Hermeneutika

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein yang berarti menafsirkan. Secara sederhana, hermeneutika dapat diartikan sebagai ilmu untuk memahami suatu makna dalam sebuah teks. Asumsi dasar hermeneutika yakni seorang pembaca teks tidak bertemu langsung dengan pembuat teks karena adanya distansi waktu, ruang maupun tradisi. Hal ini mengharuskan adanya tiga komponen utama dalam hermeneutika, yakni pembuat teks, pembaca/penafsir, dan penyampaian kepada pendengar.

Kehadiran hermeneutika dalam Barat mulanya berfungsi untuk menjembatani problem teks yang berisi hal-hal gaib dengan masyarakat yang mengandalkan rasionalitas. Al-Furqan mengungkapkan bahwa hermeneutika bukan berasal dari pengkajian dan pemahaman Bible, melainkan metode asing yang diadopsi untuk merekayasa teks Bible yang menghadapi problem orisinalitas. Oleh karena itu, sejak awal hermeneutika mengandung makna baru yang filosofis bahkan menundukkan Bible itu sendiri melalui hermeneutika. Dalam perkembangannya, hermeneutika dipengaruhi oleh 3 lingkungan, yakni kepercayaan Yunani yang mitologis, Yahudi dan Kristen serta Eropa yang sekuler.

Terdapat beberapa tokoh yang cukup berpengaruh dalam perkembangan corak metode hermeneutika. Pemahaman tokoh-tokoh ini banyak dikaji oleh generasi selanjutnya sebagaimana yang dikutip oleh Al-Furqan, seperti Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher yang berpendapat bahwa upaya memahami suatu wacana mengharuskan adanya unsur penafsir, teks itu sendiri, konteks kultural serta konteks historis.

Ada pula Hans Georg Gadamer yang berpendapat bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui dialektika dengan mengajukan banyak pernyataan, bukan melalui metode; hingga Jacques Derrida yang berpendapat bahwa makna teks dinamis dan selalu mengalami perubahan akibat adanya perbedaan pembaca maupun konteks. Beberapa Islamolog mengadopsi corak hermeneutika tersebut untuk menafsirkan al-Qur’an serta memaknai hadis, seperti Nasr Abu Zaid, Fazlurrahman dan Amina Wadud.

Baca juga:  Telaah Kritis Pemikiran Hadis Muhammadiyah

Hermeneutika dalam Islamic Studies

Penggunaan hermeneutika dalam studi keislaman khususnya dalam menafsirkan al-Qur’an menuai pro-kontra. Penolakan tersebut salah satunya dikarenakan metodologi hermeneutika menganggap al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj ats-tsaqafi). Anggapan ini menyebabkan timbulnya relatifisme tafsir dan dekontruksi wahyu. Pada beberapa kasus, penafsiran menggunakan metode ini dianggap menundukkan nash dan kelewat batas. Contohnya adalah pembagian waris sama rata antara laki-laki dan perempuan, wanita yang boleh mengimami salat bagi laki-laki, hingga kasus viral yang belum lama terjadi yakni disertasi yang menghalalkan perzinahan (hubungan seksual non marital).

Sebagaimana penggunaan hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an, penerapan hermeneutika dalam maanil hadis juga tidak bebas dari pro-kontra. Pihak kontra seperti Hamid Fahmi berpandangan bahwa hermeneutika yang tidak bebas nilai tentu akan mereduksi hadis itu sendiri. Adapun pihak yang pro seperti Musahadi Ham, Nurun Najwah, Abdul Mustaqim, dan lain-lain mencoba mengadopsi hermeneutika namun dengan merumuskan kembali beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam hermeneutika hadis.

Prinsip-prinsip tersebut yakni prinsip konfirmatif (mengkonfirmasi dengan petunjuk al-Qur’an), prinsip tematis-komprehensif (mempertimbangkan hadis lain yang relevan), prinsip linguistik (memperhatikan prosedur gramatikal bahasa Arab), prinsip historik (mengetahui latar situasional ketika hadis turun/ sosiologis), prinsip realistik (mengetahui latar kekinian), distingsi etis dan legis (menangkap nilai-nilai etis dan legis), serta prinsip distingsi instrumental dan intensional (memahami cara yang ditempuh Nabi serta tujuan yang hendak diwujudkan).

Prinsip prinsip tersebut dijadikan sebagai tolok ukur atau media pembuktian keberadaan hermeneutika dalam pemaknaan hadis yang berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa penelitian yang mencoba menghubungkan pemaknaan hadis dengan hermeneutika. Di antaranya adalah penelitian berjudul Pendekatan Hermeneutik Dalam Pemahaman Hadis Kajian Kitab Fath al-Bari (Agusni Yahya), Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail (Hasan Su’aidi), Heremenutika Arah Baru Interpretasi Hadis Studi Analisis Pemikiran Yusuf al-Qardhawi dalam Fatwa-Fatwanya (Farah Nuril Izza), dan lain-lain. Kesemua penelitian tersebut pada intinya hendak mengatakan, “Ini lho, pemakmaan hadis yang mereka lakukan bernuansa hermeneutika.”

Jika mencermati prinsip-prinsip yang dirumuskan sebelumya, maka saya berasumsi bahwa maanil hadis yang selama ini saya pelajari memang tidak terlepas dari hermeneutika. Ini diperkuat dengan pernyataan Abdul Mustaqim yang dikutip oleh dosen saya, ust. Ruslan (dan sayangnya saya baru ngeh kalau ini sangat kental nuansa hermeneutikanya) yang berbunyi, “Pada dasarnya ilmu maanil hadis adalah ilmu tentang bagaimana memahami teks hadis, yang selalu mempertautkan tiga variabel secara triadic dan dialektik, yaitu author (Rasulullah saw), reader (pembaca teks hadis) dan audience (para pendengar hadis baik masa nabi maupun saat ini).

Baca juga:  Berkaca pada Keilmuan Imam asy-Syaukani: Motivasi untuk Para Penuntut Ilmu

Meski secara metode memiliki banyak kesamaan, namun pilihan nomenklatur (penamaan) “Maanil Hadis” dibandingkan “Hermenutika Hadis” sangat beralasan. Selain terdapat perbedaan konseptual, term Hermenutika ini menurut dosen Akidah saya, Ust Asep Setiawan, mengandung nilai filosofis ‘yang bermasalah’ jika diaplikasikan baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Dengan kata lain, penggunaan “Hermenutika” yang disandingkan dengan tafsir al-Qur’an maupun hadis akan menimbulkan kejanggalan nomenklatur sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Furqan dalam jurnalnya.

Persoalan nomenklatur ini juga mendapat perhatian dari Abdul Mustaqim. Menurutnya, ilmu-ilmu yang sudah ditulis oleh para ulama (Garib al-Hadis, Nasikh Mansukh, Asbab al-Wurud, Tarikh al-Mutun, dan sebagainya) pada hakikatnya merupakan bentuk hermeneutika klasik yang kemudian ingin dikembangkan oleh para peneliti berikutnya dengan istilah Ma’anil Hadis. Beliau sendiri mengakui bahwa lebih suka menyebutnya dengan istilah hermenutika hadis. Namun untuk menghindari polemik terhadap istilah ‘hermeneutik’, buku yang beliau tulis diberi judul Ilmu Ma’ānil Hadīts.

Salah seorang dosen hadis saya, Ust. Nurcholis pernah mengatkan, ‘jika hermeneutika diartikan sebagai pemaknaan yang memperhatikan berbagai aspek, maka maanil hadis tidak mungkin tidak bernuansa hermeneutika’. Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa meskipun secara filosofis dan konseptual tidak sinkron dengan semangat Islam, namun kita tidak bisa serta merta memandang hermeneutika salah secara keseluruhan.

Hal yang perlu digarisbawahi yakni penggunaan hermeneutika dalam maanil masih bisa ditolelir selama metode sekaligus prinsip yang digunakan tidak merusak akidah dan tidak terlepas dari pakem-pakem syariat. Selain itu, mengutip pendapat Hasan Su’aidi, hermeneutika hanya alat bantu penajam penafsiran dan bukan sebagai pengganti. Mengenai nomenklatur, saya pribadi satu suara dengan para pakar hadis yang memilih Maanil Hadis dibanding Hermeneutika Hadis disebabkan alasan-alasan di atas, serta menghindari perbedaan yang dapat menyebabkan perpecahan.

Baca juga:  Syaithan dan "Ultimate Weapon"nya (Al-Baqarah : 169)

Wallāhu a’lam.

Sumber Bacaan

Al-Furqan, “Hermeneutika Hadis Tinjauan Historis, Metode dan Aplikasi Terhadap Penafsiran al-Qur’an dan Hadis” dalam Jurnal al-‘Adālah, Volume 14 Nomor 1, Juni 2011.

Fariadi, Ruslan, Metode Praktis Penelitian Hadis Panduan Bagi Pemula Untuk Mentakhrij Hadis dan Membumikan Nilai Universal matan Hadis, (Yogyakarta: Mumtaz Publishing, 2017).

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Manhaj Tarjih. t.tp: Yogyakarta, t.t.

Mustaqim, Abdul, Ilmu Ma’ānil Hadīts Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori Dan Metode Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2008).

Yusuf, Muhammad, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis Relasi Iman dan Sosial-Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Husaini, Adian, Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Gema Insani, 2007.

Su’aidi, Hasan, “Hermeneutika Hadis Syuhudi Ismail” dalam Religia, Volume 20, No. 1, 2017.

*Thalibah PUTM Yogyakarta, Mahasiswi Ilmu Hadis UAD Yogyakarta

Marifah Saifullah

Thalibah Pendidikan Ulama Tarjih dan Mahasiswa Ilmu Hadis UAD

2 komentar

Tinggalkan komentar

  • Lagi lagi masalah bahasa.
    Terapanya bisa disesuaikan dengan ranah yang dituju.
    Ada ayat yang menyatakan
    Perumpamaan kalimat yang bagus. Seperti pohon yang kokoh.
    Akarnya menghujam kebumi dan cabangnya menjulang kelangit.
    Mungkin ayat ini bisa dijadikan dasar pertimbangan dalam memilih kata ataupun kalimat yang tepat.
    Karena kadang maksud yang sama dengan kata yang berbeda akan menghasilkan kesan lain.
    Suatu misal.
    Kamu ceroboh
    Kamu kurang teliti.
    #mencoba belajar berfikir