Santri Cendekia
Home » Hikmah Penolakan Tha’if dan Penerimaan Madinah

Hikmah Penolakan Tha’if dan Penerimaan Madinah

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

            Salah satu kisah yang masyhur yang datang kepada kita adalah tentang ikhtiar Rasulullah untuk berdakwah di Tha’if setelah 10 tahun dakwah beliau di Makkah tidak menemui hasil yang signifikan. Ustad Budi Ashari menjelaskan, bahwa waktu 10 tahun ini bisa menjadi referensi bagi kita sebagai waktu yang kita gunakan untuk evaluasi besar aktivitas dakwah kita di suatu tempat. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama.

            Rasulullah memutuskan untuk berdakwah ke Tha’if bukan semata-mata perintah mutlak dari Al-Qur’an atau sekedar melakukan “iseng-iseng berhadiah”. Beliau adalah manusia yang paling matang dalam melakukan pertimbangan dan berstrategi. Karena Allah sudah menegaskan dalam Al-Jumu’ah :2, bahwa salah satu tugas besar Rasulullah bukan hanya mengajarkan kitab, namun juga mengajarkan hikmah. Hikmah menurut ustad ASep Sobari di sini, adalah termasuk bagaimana step-step atau langkah teknis yang diimplementaikan di lapangan untuk mencapai kemaslahatan-kemaslahatan dakwah tauhid yang beliau emban.

  1. Rasulullah butuh lahan dakwah baru untuk berhijrah.

Dakwah yang kurang signifikan di Makkah, membuat Rasulullah berpikir agar memindahkan medan dakwah para sahabat ke tempat yang lebih kondusif dan aman bagi persebaran dakwah islam. Tempat di mana sahabat juga bisa berislam dengan baik tanpa harus menghadapi teror, intimidasi, atau penyiksaan dari orang-orang quraisy.

  1. Tha’if sebagai tempat perputaran roda-roda ekonomi orang Makkah.

Keadaan Makkah yang tandus, memaksa para saudagar-saudagar Makkah untuk menginvestasikan hartanya di tempat yang memiliki tanah yang lebih subur. Tha’if punya klasifikasi itu. Sehingga banyak perputaran uang dari bisnis saudagar-saudagar Makkah berada di Tha’if. Misalnya Utbah dan syaibah bin Rabi’ah, memiliki kebun anggur di Tha’if yang menjadi tempat singgah Rasulullah setelah disusir dan dilempari batu oleh orang-orang bodoh dari Tha’if. Walid bin Mughirah yang memiliki peternakan unta di sana. Bani Makhzum yang memiliki banyak investasi di sana.

Baca juga:  Kurikulum Gaib (Al-Baqarah : 3)

Jika Rasulullah berhasil mengislamkan Tha’if, maka itu akan jadi pukulan telak untuk para petinggi Makkah. Rasulullah pun memiliki peluang untuk meningkatkan bargaining position muslimin atas orang-orang Makkah (yang mungkin) tanpa harus melalui peperangan yang berarti.

  1. Tha’if dan Makkah memiliki hubungan diplomatis.

Tha’if adalah tempat yang paling strategis bagi para pembesar Quraisy. Quraisy bahkan sangat ingin menaklukan Tha’if. Dulu Qurasy pernah ingin mencoba menakukan Tha’if, khususnya daerah lembah wajj yang begitu subur dan banyak ditumbuhi berbagai macam tanaman. Bani Tsaqif yang khawatir dengan kondisi ini pun membuat perjanjian persahabatan dengan Quraisy.

  1. Tha’if adalah tempat berlibur Quraisy di musim panas.

Kondisi Tha’if  yang subur, menjadi objek wisata orang-orang Quraisy di musim panas. Sehingga apabila Tha’if berhasil diislamkan, tentu Quraisy akan merasa berat karena kehilangan satu kebiasaan dan hobi mereka yang rutin dijalankan setiap tahun.

            Namun, ternyata Allah belum memberikan Tha’if sebagai tempat hijrah bagi Rasul-Nya dan lebih memilih Madinah (Yatsrib). Kota yang lelah dengan perang saudara, dengan kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik, dan terkenal sebagai tempat yang berpenyakit. Karena itulah muncul istilah “Demam Madinah” yang terkenal. Bahkan Abu Bakar ra dan Bilal ra pun terkena penyakit ini ketika awal-awal hijrah ke Madinah. Ditambah lagi, yahudi terlebih dahulu bercokol dan menancapkan kekuasaan di sana.

            Sehingga secara head to head, ‘kualitas’ kota Madinah itu jauh dibandingkan dengan kota Tha’if. Namun apa hikmahnya Allah lebih memilihkan Madinah di banding Tha’if sebagi tempat hijrah muslimin? Agar kelak orang-orang tidak ada yang berkata, “islam berhasil bangkit karena faktor ekonomi”, atau “islam berhasil bangkit karena faktor politik”, atau “islam berhasil menang karena faktor sumber daya alam”.

Baca juga:  Qurban dan Transformasi; Suatu Kajian Semiotik

            Agar muslimin yang berada di masa ini, tidak salah dalam memahami keadaan dan malah bergantung kepada berbagai sebab-sebab duniawi untuk mencapai kemenangan dakwah. Selain itu, orang-orang Madinah adalah keturunan orang-orang Yaman. Orang-orang yaman terkenal dengan perangainya yang lembut dan baik. Kelembutan dan Karakter baik dari seseorang, lebih dekat dengan hidayah dan keimanan.     

 

Allahu a’lam bishshawab

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar