Santri Cendekia
Home » Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

            Pada kesempatan kali ini, izinkan penulis untuk mengupas sedikit bagaimana Rasulullah dalam sepak terjanganya sebagai seorang diplomat muslim yang memiliki visi sangat jauh dan begitu strategis pada perjanjiang Hudaibiyah. Perjanjian yang dilakukan oleh muslimin dan kafir qurasiy ketika muslimin akan melaksanakan umrah di tahun ke-6 Hijriah. Secara zahir, poin-poin yang ada di dalam perjanjian ini memang sekilas terlihat merugikan kaum muslimin. Itulah mengapa, ketika perjanjian ini dibuat, Umar bin Khattab ra melakukan protes keras kepada Rasulullah.

Isi Klausul Hudaibiyah:

  1. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan muslimi harus pulang pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki mekah kecuali pada tahun depan bersama orang-orang muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di makkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa oleh musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apapun.

  1. Gencatan senjata di antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian yang lain.

  1. Barang siapa ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak quraisy, maka dia boleh melakukannya. Kabilah mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu menjadi bagian dari pihak tersebut. Sehingga penyerangan yang ditujukan pada kabilah tertentu, dianggap penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.

  1. Siapapun dari quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya (melarikan diri), maka dia harus dikembalikan kepada pihak quraisy, dan siapa pun dari pihak muhammad yang mendatangi quraisy (melarikan diri darinya). Maka tidak dikembalikan kepadanya.
Baca juga:  Keras dan Penuh Kasih Sayang (Al Fath 29 part 1)

          Lihat? Bukankah sekilas tidak ada satupun poin-poin di perjanjian ini yang menguntungkan muslimin? Mari kita kaji beberapa Hikmah dan pengaruh dari klausul hudaibiyah terhadap beberapa peristiwa hingga fathu makkah antara lain;

Hikmah pada poin 1, seluruh jazirah arab menyaksikan  bahwa sesungguhnya Quraisy sudah tidak lagi memiliki kekuasaan penuh atas tanah makkah. Karena meski harus menuda setahun, pada akhirnya mereka tidak berdaya untuk menahan muslimin untuk memasuki makkah untuk melakukan umrah di tahun depan. Selain itu, pada akhirnya, dengan dibuatnya perjanjian ini, berarti kafir quraisy sudah mengakui posisi muslimin sejajar dengan mereka. Kafir Quraisy sudah mengakui eksistensi daulah islamiyah yang dibangun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Hikmah pada poin 2, dengan adanya perjanjian gencatan senjata selama 10 tahun (walaupun kelak gencatan senjata ini hanya bertahan selama 2 tahun karena Quraisy dan Bani Bakar melanggar perjanjian), muslimin sementara terjaga dari gangguan quraisy dan bisa mengalihkan pikiran dan tenaganya untuk menghancurkan Khaibar, tempat di mana gembong-gembong penjahat Yahudi bercokol dan masih belum berhenti untuk menimbulkan ancaman bagi muslimin. Selain itu, Rasulullah punya kesempatan lebih banyak untuk melebarkan sayap dakwahnya dengan mengirimkan surat-surat dan utusan hingga ke daerah-daerah di luar jazirah arab seperti Persia, Romawi, Mesir, dan daerah-daerah sekitar Syam. Di titik ini lah, islam mulai “go internasional”. Di titik ini pula, islam menegaskan bahwa risalahnya bukanlah risalah bagi jazirah arab, namun risalah bagi seluruh alam semesta.

Hikmah pada poin 3, dengan adanya perjanjian pada poin ini, Rasulullah dan muslimin lebih mudah memetakan kekuatan muslimin maupun lawan-lawannya di jazirah arab. Yang mungkin sebelumnya masih “malu-malu” atau menjadi musuh dalam selimut. Sekarang hampir semua kabilah sudah menunjukan keberpihakannya. Seperti Bani Bakar yang akhirnya memihak kepada Quraisy dan Bani Khuza’ah yang akhirnya memihak muslimin. Pemetaan kekuatan ini sangat penting di dalam suasana peperangan. Karena ini yang menentukan keakuratan persiapan sebuah pasukan dengan kebutuhan di medan perang.

Baca juga:  Demi Persahabatan yang Abadi (Az-zukhruf : 67)

Hikmah pada poin 4, Poin ini pun yang sekilas terlihat sama sekali merugikan untuk muslimin, namun pada tataran implementasinya ternyata tidak. Jika ada pihak dari Rasulullah yang melarikan diri kepada Quraisy maka tidak boleh dikembalikan. Bagian ini bukan masalah bagi muslimin, karena tidak mungkin ada orang beriman yang melarikan diri dari jamaah muslimin menuju kepada kumpulan orang kafir kecuali ia munafik. Dan jika orang itu munafik, maka keberadaannya memang lebih baik keluar dari jamaah muslimin, karena jika orang ini berada di dalam, ia bisa menjadi duri dalam daging. Sedangkan jika ada yang melarikan diri dari pihak Quraisy maka harus dikembalikan. Dalam kasus ini, jika ada orang beriman yang melarikan diri dari quraisy, bumi Allah luas. Mereka bisa hijrah ke tempat-tempat lain sementara seperti habasyah misalnya. Dan ini yang dilakukan oleh Abu Jandal bin Suhail setelah melarikan diri dari makkah. Sehingga apabila mereka melarikan diri ke tempat manapun selain madinah, mereka berhak untuk tidak dikembalikan kepada kaum mereka di quraisy.

            Setelah Umar bin Khattab mengetahui berbagai hikmah dari perjanjian ini, Umar berkata kepada Rasulullah, “Sesungguhnya urusan Rasulullah lebih berkah dari urusan Umar”. Renungan mendalam bagi kita, yang masih ragu untuk mendapatkan keberkahan dari menjalankan sunnah Rasulullah dalam setiap sendi kehidupan dan disiplin ilmu kita. Jangan sampai kita mau menjalani sunnah-sunnah Rasul hanya ketika kita sudah mendapatkan penelitian dari barat tentang manfaat-manfaat mengikuti sunnah Rasul. Misal, tak pernah tahajud dan salat sunnah, baru ketika ada penelitian yang mengatakan salat itu menyehatkan, melancarkan peredaran darah ke otak, bla bla bla, baru kita semangat tahajud dan melaksanakan salat sunnah. Tak pernah puasa sunnah, ketika mendengar penelitian puasa menyehatkan tubuh bla bla bla, baru kita semangat puasa sunnah. Minum sambil berdiri dan berjalan, setelah mendapatkan penelitian bahaya minum berdiri bagi ginjal, baru mau ikut sunnah minum sambil duduk. Bukan begitu cara iman bekerja. Seolah-olah mau menjalankan sunnah saja menunggu stempel dari peneliti barat, na’udzubillahi min dzalik.

Baca juga:  Menimbang Pemikiran M. Amin Abdullah (2)

          Dan benar saja, hanya berselang sekitar 2 tahun dari perjanjian ini. Fathu makkah terjadi. Muslimin berhasil membebaskan makkah dan jazirah arab dari pengaruh paganisme di tahun 8 H. Allahuakbar!

 

Allahu a’lam bishshawab

 

Referensi :

Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar