Santri Cendekia
Home » Hikmah Puasa Dari Gareth Bale

Hikmah Puasa Dari Gareth Bale

Gareth Bale, seorang pesepak bola tim Real Madrid, mendapat sebuah pertanyaan ala-ala reporter tv swasta pada korban bencana alam tepat setelah timnya menang melawan Atletico Madrid di final liga champions, “Bagaimana perasaan anda saat ini?”

Semua orang mengira Bale akan menjawab, “ya tentu saja senang tim saya menang piala champions kesebelas kalinya”. Perkiraan semuanya salah. Bale menjawab “Entahlah. Perasaan saya campur aduk. Bermain lebih dari 120 menit membuat kaki saya keram dan sakit.”. Sebuah jawaban yang mengejutkan dan tak terduga.

Peristiwa yang terjadi pada Bale bisa dijelaskan melalui konsep utilitas dari Daniel Bernoulli. Utilitas adalah kepuasan total yang dirasakan ketika mengkonsumsi sebuah barang, jasa, atau melakukan kegiatan. Utilitas total yang bisa kita rasakan memiliki batasan tertinggi, ketika sudah mencapai batas tertinggi, tingkat kepuasan kita terhadap sebuah barang, jasa, dan kegiatan akan menurun drastis bahkan sampai minus. Kejatuhan kepuasan dari titik puncak kembali ke titik terendah karena terus ditambah intensitas konsumsi barang, jasa, dan kegiatan disebut sebagai the law of diminishing marginal utility.

Ingat kisah si Sule darah tinggi karena makan tahu?

Konon ceritanya Sule pulang ke rumah dalam keadaan lapar. Ia mendapati tahu goreng di meja makan. Makalanlah ia dengan lahap. Karena rasa lapar yang dahsyat, tahu goreng itu terasa amat lezat di lidah si Sule seperti makanan dari surga.

Istri si Sule melihat suaminya memakan tahu dengan lahap, ia mengira Sule menyukai tahu goreng. Istrinya senang karena tahu itu murah, ia bisa membahagiakan suaminya dengan biaya yang irit. Maka setiap hari istri Sule hanya menyediakan tahu untuk makan.

Hari kedua Sule masih lahap makan tahu goreng.

Baca juga:  Ketentuan Puasa dalam Mazhab Syafii dan Hambali

Hari ketiga Sule makan tahu goreng dengan perasaan biasa saja.

Hari keempat Sule mulai malas membuka tudung saji. “pasti tahu lagi nih”

Hari kelima…. Sule membuka tudung saji, lalu melihat tahu terhidang di sana. Ia pun ngamuk parah. “Tahu lagi tahu lagi!”

Pada kasus Bale dan Sule terjadi kesamaan penurunan nilai utilitas dan perubahan kepuasan menjadi rasa sakit. Pada Bale, ia tak lagi merasakan senangnya memenangkan Piala Champions karena kelamaan bermain yang berdampak keram pada kakinya, sedangkan pada Sule, ia tidak lagi lahap memakan tahu dan berubah jadi amarah besar karena bosan.

Pada sisi lain, kita mengenal konsep hedonic treadmill, sebuah konsep antitesa dari konsep utilitas total. Konsep hedonic treadmill menjelaskan fenomena tingkat kepuasaan yang tidak pernah sampai ketitik puncak, justru malah berputar sirkular tiada habis-habis. Orang yang terjebak pada hedonic treadmill akan terus letih mengejar kenenangan tanpa pernah sampai pada titik kepuasan.

Contoh dari hedonic treadmill; Firman, seorang anak muda yang senang berjalan kaki, setelah lama melakah, ia merasa lelah. Ia melihat orang yang memiliki sepeda dan membayangkan betapa menyenangkan bersepeda. Kemudian ketika ia bersepeda ia melihat orang yang mengendarai motor. Ketika naik motor ia ingin mobil. Ketika naik mobil sederhana ia ingin naik mobil mewah dan seterusnya dia tak pernah merasa puas.

Menjadi seorang Bale yang terbentur utilitas total dan Firman yang terjebak hedonic treadmill sama-sama tidak enak. Lalu solusinya apa? Puasa.

Puasa adalah cara untuk mengembalikan kapasitas diri kita untuk menerima kepuasaan. Kita menahan lapar dan haus selama 12 jam, bahkan pada level puasa yang khususul khusus, kita menahan diri untuk memandang sesuatu yang tidak bermanfaat, kita dianjurkan untuk menundukkan pandangan. Kelima indra kita yang selama ini tersiksa dengan kenikmatan-kenimatan tiada henti yang akhirnya menjadikan kelima indra kita tumpul dan tak peka terhadap kenikmatan yang baru, melalui puasa menjadi segar kembali.

Baca juga:  Puasa sebagai Latihan Lawan Oligarki

Tubuh merasa lapar, kerongkongan kering, kepala hening dan sunyi, hati terdetoksifikasi dari iri dan dengki, dan di dalam bathin menggema asma-asma Allah. Dengan keadaan seperti ini kapasitas diri kita melonjak naik untuk meraih kenikmatan. Kenikmatan paling tinggi pun sanggup ditampung orang yang berpuasa. Maka dari itu Rasulullah bersabda: “Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.”

Puasa tidak hanya memberikan kebahagiaan jasmani, bahkan kebahagiaan ruhani tertinggi bisa dicapai yaitu bertemu dengan Yang Maha Indah, Allah Ta’ala.

Puasa dengan jelas mampu melepaskan kita dari jeratan hedonic treadmill. Dengan puasa pola konsumsi kita tercabut dari nilai simbolik barang dan jasa yang kita konsumsi serta kegiataan yang kita lakukan. Kita kembali mengkonsumsi berdasarkan kepuasaan terhadap fungsi, bukan gengsi.

Sebulan ini kita dibersihkan oleh Ramadhan agar hidup kita kembali terasa hidup. Kenikmatan kembali terasa nikmat. Keindahan kembali terasa indah. Kemenangan yang nanti akan kita raih sebulan ke depan akan lebih menggembirakan dari Gareth Bale memenangkan Piala Champions bersama Real Marid. Percayalah…

Ginan Aulia Rahman

Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia, dulu nyantren di Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Ma'had Addauly Damascus, Syria.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar