Santri Cendekia
Home » Hukum Prank dalam Islam

Hukum Prank dalam Islam

NETIZEN BERTANYA SANTRI MENJAWAB

Pertanyaan:

Baru-baru ini ada remaja yang meninggal di Kulon Progo akibat di-prank oleh temen-temennya. Sebenarnya bagaimana si hukumnya ngeprank menurut Islam?

Penanya: Shahibul Vrank, Mbantul, DIY.

Jawaban:

Terimakasih atas pertanyaan saudara Shahibul Vrank kepada santri cendekia. Pertanyaan saudara adalah pertanyaan pertama yang masuk ke redaksi santri cendekia di bawah program “Netizen Bertanya, Santri Menjawab”. Program ini merupakan program baru yang diselenggarakan oleh redaksi santricendekia.com.

Kami akan berusaha menjawab pertanyaan yang masuk ke redaksi secepat, sebaik, dan sesantuy mungkin. Karena masih santri, maka netizen tidak perlu serius-serius dalam membaca fatwa santri ini. Meskipun demikian, jawaban yang kami berikan sebisa mungkin dilandaskan pada mekanisme istinbat hukum yang dikenal dalam ilmu astrolobi, eh maksud kami usul fikih.

Tapi sekali lagi, karena masih santri, usul fikihnya tentu masih cethek. Oh ya maaf kepanjangan. Demikian sekadar promosi kami. Satu lagi, kalau netizen mau bertanya, bisa mengirim pesan atau tulis pertanyaan di kolom komentar di Fanspage Santri Cendekia (klik di sini). Jangan lupa like and subscribe! 😀

Baik, mari kita bahas pertanyaan saudara Shahibul Vrank di atas. Pertama, kata “prank” sendiri sesungguhnya berasal dari bahasa Inggris, yang berarti olok-olok, seloroh, atau senda gurau. Dalam Cambridge Dictionary, kata “prank” diterjemahkan sebagai “a trick that is intended to be funny but not to cause harm or damage (suatu permainan atau tipu muslihat yang bertujuan untuk lucu-lucuan, tapi tidak untuk menimbulkan kejahatan atau kerusakan”.

Dari definisi kebahasaan tersebut, ada dua poin utama yang bisa netizen dan kita semua pahami. Pertama, prank itu adalah tentang permainan, dan dalam batas-batas tertentu ia terwujud dalam bentuk tipu-tipu muslihat. Kedua, tujuan prank adalah untuk senda gurau, lucu-lucuan, bukan untuk menimbulkan bahaya dan kerusakan; atau dalam bahasa fikih, tidak boleh prank itu sampai menimbulkan mudharat.

Dengan adanya perkembangan teknologi, prank menjadi tren tersendiri. Terlebih dengan hadirnya platform Youtube yang memfasilitasi hasrat para netizen untuk mengabadikan kegiatan tersebut.

Baca juga:  Demi Persahabatan yang Abadi (Az-zukhruf : 67)

Islam Memandang Prank

Jika mengacu kepada definisi prank di atas, maka dalam Islam ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan sebelum netizen memutuskan untuk melakukan prank.

Pertama, Islam tidak melarang permainan atau hiburan. Islam mewajibkan kepada umatnya agar mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah swt. Itulah orientasi tunggal yang harus dipegangi oleh kaum muslimin ketika menjalani kehidupan (al-Dzariyat: 56). Islam lalu memerintahkan umatnya agar melaksanakan perintah Allah dengan segenap potensi yang ia miliki (al-Syuara: 108) dan tidak melanggar larangan-larangan Allah (al-Nisa: 14).

Namun demikian, Islam sesungguhnya adalah agama yang sangat menghormati realitas obyektif dan realitas konkrit yang terdapat di sekitar dan dalam diri manusia (al-Islam din wâqi’iy). Ketika manusia menyukai keindahan, kecantikan, ketampanan, kelezatan dan kemerduan, Islam kemudian menghalalkannya (al-Nahl: 6, al-A’raf: 31), dengan syarat hal tersebut didapatkan dengan cara yang baik dan dilakukan dengan cara yang benar (al-Baqarah: 42).

Islam bukanlah agama yang membelenggu manusia (al-Baqarah: 286, al-Maidah: 6, al-Hajj: 78). Islam juga bukanlah agama yang utopis, yang memperlakukan manusia seolah-olah malaikat yang tidak memiliki keinginan atau nafsu sama sekali. Islam memperlakukan manusia sesuai dengan naluri kemanusiaannya (al-Furqon: 7, al-Qashash: 77). Islam sangat memberikan keluasan dan kelapangan bagi manusia untuk merasakan kenikmatan hidup (al-Maidah: 87).

Mengenai hal ini, ada suatu kisah yang dapat kita ambil pelajaran. Kisah mengenai seorang sahabat Nabi saw yang bernama Hanzhalah. Suatu ketika, muncul kegundahan dalam hati Hanzhalah. Ia merasa bahwa hidupnya telah diselubungi kemunafikan. Terlintas dalam benaknya bahwa hidupnya hanyalah kepura-puraan. Ketika berhadapan dengan Rasulullah saw, ia menjadi seorang muslim yang benar-benar taat. Ia berperilaku serius, tidak bercanda, mata selalu sembab, hati selalu berzikir dan senantiasa dalam kondisi ketakwaan pada Allah swt. Namun apabila ia berlalu dari nabi, lalu bertemu keluarganya, seketika perangainya berubah. Ia mencandai anak istrinya, tertawa, merasa senang dan seolah-olah lupa bahwa sebelumnya ia menangis.

Baca juga:  Selayang Pandang tentang Khawarij

Ternyata, apa yang dialami oleh sahabat Hanzhalah juga dialami oleh sahabat Abu Bakar. Maka, untuk mencari jawaban dari kegundahan hati dua sahabat tersebut, keduanya kemudian mendatangi Rasulullah. Bagaimana Rasulullah menjawab keduanya? Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya meriwayatkan jawaban tersebut:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِى وَفِى الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِى طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
[رواه مسلم]

Artinya: “Demi Dzat yang aku berada di tangan-Nya, jika kalian tetap seperti dalam kondisi ketika kalian berada bersama ku, atau seperti ketika kalian berdzikir, maka Malaikat akan menyalami kamu sekalian di tempat-tempat tidurmu dan di jalan-jalanmu. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, “semuanya ada waktunya”. Itu beliau ucapkan sebanyak 3 kali.” [HR. Muslim]

Hadis ini menunjukkan bahwa kesenangan psikologis dan hiburan merupakan dua hal yang natural dalam diri manusia. Nabi saw bahkan mengatakan orang yang di dalam dirinya tidak ada hal tersebut, ia akan disalami Malaikat. Disalami Malaikat merupakan ucapan simbol yang menunjukkan satu hal yang mustahil terjadi.

Maknanya adalah Islam tidak mengajarkan agar seseorang menjauhi kesenangan dan hiburan. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan bahwa mencari ketenangan, beristirahat, mencari hiburan bisa dilakukan, namun harus sesuai dengan porsinya. Islam tidak mengharamkan hiburan sama sekali.

Namun demikian, tidak semua hiburan (al-lahwu) mendapatkan tempat dalam agama Islam. Islam hanya membolehkan jenis-jenis hiburan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pendidikan, kesehatan, dan nilai-nilai moral lainnya. Jenis hiburan atau permainan yang dilarang dalam agama Islam, yaitu:

1. Permainan atau hiburan yang mengandung unsur berbahaya
2. Permainan atau hiburan yang menampilkan fisik dan aurat wanita di depan laki-laki bukan mahramnya
3. Permainan atau hiburan yang mengandung unsur magis (sihir).
4. Permainan atau hiburan yang menyakiti binatang.
5. Permainan atau hiburan yang mengandung unsur judi.
6. Permainan atau hiburan yang melecehkan dan menghina orang atau kelompok lain
7. Permainan atau hiburan yang dilakukan secara berlebih-lebihan.

Baca juga:  Syaithan dan "Ultimate Weapon"nya (Al-Baqarah : 169)

Kedua, Prank pada dasarnya boleh asalkan titik-titik-titik-titik-titik. Prank sebagai salah satu bentuk permainan atau hiburan pada dasarnya hukumnya adalah boleh (al-ibahah). Hal ini sesuai dengan kaidah fikih,

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي تَحْرِيْمِهِ

Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali setelah ada dalil yang mengharamkannya”.

Prank menjadi dilarang ketika prank tersebut mengandung salah satu atau lebih dari tujuh kriteria permainan yang dilarang dalam agama Islam sebagaimana tersebut di atas. Selama prank tersebut tidak mengandung salah satu atau lebih dari tujuh kriteria tersebut, maka hukum prank dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu boleh.

Meskipun hukum asal prank itu adalah boleh, akan tetapi netizen juga harus menimbang kembali aspek kemanfaatan dari permainan tersebut. Jika memang prank tersebut betul-betul dijamin dapat mendatangkan kemaslahatan atau kemanfaatan baik bagi pelaku ataupun korban prank, tentu prank semacam ini mendapat legitimasi dalam Islam.

Namun jika prank tersebut justru tidak menghasilkan manfaat sedikitpun, walaupun tidak sampai menimbulkan mudharat, alangkah baiknya aktivitas prank tersebut dijauhi. Kenapa demikian? Karena menurut Nabi, apabila netizen mau jadi muslim yang sejati, maka sebaiknya menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Nabi suatu kali pernah menyebutkan salah satu ciri Muslim sejati, yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”

Demikian jawaban dari santri cendekia. Semoga santri menjawab ini bisa bermanfaat.

Netizen Bertanya Santri Menjawab

Hanya santri. Bukan Mufti.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar