Santri Cendekia
hasan al-banna
Home » Ikhwanul Muslimin dan Kawanku yang non-Muslim

Ikhwanul Muslimin dan Kawanku yang non-Muslim

Salah satu temanku di sini adalah seorang lelaki murah senyum dari negeri matahari terbit, Jepang. Ketika tahu bahwa ia pernah menjadi wartawan di Mesir dan sempat belajar bahasa Arab, aku pun iseng-iseng bertanya ;

“Bro, what do you think about Mursi?”

Dia tersenyum, diam sejenak, lalu berkata singkat, “He is a nice guy”

Mengingat buruknya paras IM, organisasinya Mursi, di media dan akademia di luar dunia Islam, jawaban itu sedikit mengejutkan. Tapi karena tidak benar-benar mengerti situasi perpolitikan Mesir, alih-alih mendalami Mursi, aku malah bertanya-tanya lebih lanjut soal Ikhwan sebagai sebuah gerakan. Lagi-lagi jawabannya positif. Aneh memang, soalnya kawanku yang orang Arab atau Afrika Utara saja, jika bicara tentang kaum ”Islamis” nadanya tidak selalu merdu.

“Guru bahasa Arabku dulu seorang aktivis Ikhwan” Katanya lagi-lagi beriring senyum. Mungkin ia pun membaca penasaranku.

“Humm, sejak penggulingan Mursi, aku kehilangan kontak dengannya. Entahlah, mungkin ia ditangkap, atau melarikan diri. Entahlah..”

Ia lalu membuka laman facebook, mencari sebuah akun lalu menunjukannya padaku.

“Ini akunnya. Lihat, sudah lama tidak update kan..”

Aku melihatnya, ya, memang sudah lama tidak aktif. Si kawan kemudian bercerita betapa baiknya aktivis Ikhwan yang mengajarinya bahasa Arab itu. Tak kutanya ia tentang detail ”baik” itu. Namun bisa dibayangkanlah, kesan seorang murid pada gurunya; ia mengajar penuh passion, ramah, seterusnya. Pastinya semua ini tentang akhlak karimah.

Begitulah, gambaran baik IM di benak si kawan itu ternyata bukan kesimpulan dari pengamatan dan analisa tingkat tinggi pada gerak-gerik politik dan tingkah polah kultural jamaah binaan al-Banaa tersebut. Ia berangkat dari pergaulan sehari-hari dengan seorang aktivis Ikhwan yang super baik hati. Akhlak karimah memang bisa menyampaikan pesan kebaikan melebihi beribu halaman eksplanasi apologia.

Baca juga:  Ateis Paruh Waktu

Di hari yang lain, aku menemukan diri sedang berbincang tentang poligami di negara-negara Muslim dengan teman sekelas. Seorang kawan mengangkat nama al-Qaradhawi, dan akhirnya diskusi pun berakhir di Sayyid Quthb; lelaki yang oleh sebagian akademia dan pundit sayap kanan diberi julukan lebay ”Philosopher of Islamic radicalism” Hubungan keduanya tentu saja ada di ruh Ikhwan yang mengaliri urat-nadi pemikiran mereka. Ketika nama Sayyid disebut, seorang gadis British nyeletuk,

“I’ve read the Milestone” Katanya, merujuk ke salah satu karya Sayyid Quthb yang selalu dijadikan kambing hitam radikalisme. Kamu mungkin lebih mengenalnya sebagai Ma’alim fi ath-Thariq.

“Ohya? Bagaiamana menurutmu? Banyak yang menyalahkan buku ini sebagai biang kerok radikalisasi. Padahal tergantung yang baca sih, saya juga baca kok, dan ya baik-baik aja..”

“Ya.. buku itu memang sangat menarik.. Tentu saja saya tidak setuju dengan banyak isinya. Tapi saya bisa faham mengapa banyak orang yang akhirnya terpengaruh oleh buku ini, penyampaiannya sangat baik, rasional sekali..” Itulah review si kawan atas Ma’alim. Konon, orang-orang British memang terbiasa berhasa berbunga-bunga, manis kaya pujian, tapi diam-diam menikam hehe. Tapi sepertinya ia tidak sedang basa-basi.  Memang mustahil membuat semua kepala setuju pada citamu, tapi bila ia tersampai dengan artikulasi baik mengikuti kerangka logika yang solid, tentu ia akan meninggalkan kesan mendalam. Tiba-tiba kuingat perempuan Inggris lainnya yang bahkan memeluk Islam dan salah satu alasannya karena ia terpesona setelah membaca Ma’alim, Yvonne Ridley. Pasti kawan-kawan juga sudah kenal.

Kukira, mungkin ada satu dua hikmah yang bisa dipetik dari pengalaman ini. Bukankah hikmah adalah harta tercecer orang beriman, ia dipersilakan memungutnya kembali dimana pun ia menemukannya. Tapi berhubung imanku masih compang camping, kupersilakan kau memungutnya sendiri. Sumonggo gozaimatsuu..

Baca juga:  Antara Pasar dan Kantor

Ohya, sadar nggak kalau judul tulisan ini sebenarnya dibuat berima; Ikhwan dengan kawan, dan al-Muslimin dengan non-Muslim. Keren kan? eh? Nggak? Gimana kalau ”Muslim Brotherhood and My Non-Muslim Brother” Nggak keren juga ya.. yasudahlah

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar