Santri Cendekia
Home » Imam Al-Ghazali dan Investigasi Kebenaran

Imam Al-Ghazali dan Investigasi Kebenaran

Oleh: Muhammad Ghossan Nazhif

Mengenal Al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i (w. 1111) merupakan seorang ulama besar yang mendapatkan julukan Hujjatu Al-Islam atau argmentasi islam. Pengembaraan intelektual dimulai sejak muda hingga akhirnya duduk di majelis bergengsi Nizhamiyah pada tahun 484 H.

Setelah berguru kepada Imam Haramaian Al-Juwaini, beliau kemudian hijrah ke Baghdad dan menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizhamiyah. Lembaga tersebut pada masanya merupakan basis konsolidasi intelektual aliran sunni. Pada fase inilah, Al-Ghazali mulai banyak menulis kitab-kitab interdisipliner ilmu.

Yang menarik dari Al-Ghazali ialah daya pahamnya yang begitu cemerlang. Setiap ilmu seolah mudah dicerna olehnya dan berhasil disampaikan dengan gayanya yang mudah dipahami. Pada titik ini juga, karirnya semakin bersinar. Namanya mulai dikenal di banyak tempat. Kajian serta kuliahnya mulai diminati banyak orang. Hal inilah yang menjadi antiklimaks dari kehidupan Al-Ghazali, yakni penjelajahan spiritual guna menggapai kebahagiaan hakiki.

Bermula dari puncak  ketenaran inilah, Al-Ghazali mulai terjangkit skeptisisme. Dirinya terbayang-bayangi oleh hakikat kebenaran atas segala pencapaiannya.. Setelah itu, gejala-gejala tertentu mulai muncul sebagai sebab atas rasa skeptisnya. Di mulai dari kehilangan selera makan hingga sulit untuk berbicara ketika akan memberikan kuliah dihadapan murid-muridnya. Sedikit namun pasti, Al-Ghazali merasa harus melakukan sesuatu. Akhirnya, keresahan tersebut menimbulkan suatu upaya bagi Al-Ghazali untuk melakukan satu investigasi epistemologis terhadap kebenaran ilmu yang ia yakini.

Pengembaraan intelektual

Setelah meminta nasihat kepada saudaranya yang bernama Ahmad Al-Ghazali, ia kemudian memutuskan untuk menyingkir dari posisi utamanya sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyah. Meskipun sulit baginya, hal tersebut tetap ia lakukan. Pada batas inilah, pengembaraan intelektualnya dimulai. Berawal dari uzlah di Masjid Umawi, Damaskus. Kemudian Al-Quds, Palestina. Hingga menunaikan ibadah haji ke Makkah dan Madinah. Pada akhirnya, ia kembali ke kampung halaman untuk mengobati kerinduannya.

Setelah perjalanannya inilah, ia menulis satu kitab yang merupakan respon dari orang-orang yang penasaran dengan hasil petualangannya dalam mengarungi samudra ilmu guna menemukan kebenaran hakiki. Akhirnya, Al-Ghazali menulis kitab Al-Munqidz min Al-Dalal. Sebuah kitab yang membahas tentang jalan mencari kebenaran yang ia tempuh.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun inilah, ia mulai melakukan investigasi terhadap banyak aliran yang menjadi mainstream atau arus utama pada zaman tersebut. Sedikitnya ada empat aliran yang mendominasi dan mengalami pengujian oleh Al-Ghazali :

  • Aliran Kalam
  • Ilmu – ilmu Filsafat
  • Syi’ah Batiniyah (Esoterisme)
  • Ilmu Tasawuf

Sebelum melakukan satu pengujian, Al-Ghazali terlebih dahulu menetapkan satu standar kebenaran atau keabsahan suatu ilmu dapat dijadikan pegangan. Dalam permulaan kitab, Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk melakukan penelusuran terhadap kebenaran suatu ilmu, pertama-tama haruslah ia memiliki standar ukur. Adapun tolok ukur yang dipakai Al-Ghazali ialah suatu ilmu dapat dikatakan benar apabila dibangun atas premis-premis yang kokoh dan tanpa celah. Dalam kitab ini, ia menamainya sebagai Al-Ilmu Al-Yaqin. Keyakinan ini benar-benar bersemayam dalam jiwa serta sesuai dengan realitas yang ada. Tidak bersifat dugaan (zani) dan tidak pula terdapat celah untuk melakukannya. Lebih-lebih ketika ilmu tersebut dipandang layak untuk diyakini setelah melakukan penyeldikan yang mendalam -dan ditemukan titik benarnya, maka itulah yang dinamakan ilmu yang selamat (Al-Ilmu Al-Amani).

Baca juga:  Imam Ghazali Penyebab Kemunduran Umat? Mungkin Ada Benarnya!

Selain itu, Al-Ghazali juga meyakini bahwa jiwa manusia memiliki sebuah instrumen bernama jiwa. Pandangan ini merupakan konsep yang bernuansa khas islam. Sebab dalam jiwa, terkandung suatu hal yang islam percayai sebagai kompas penuntun bagi setiap insan menuju jalan kebenaran. Sistem inilah yang dikenal sebagai fitrah. Ia berfungsi sebagai sistem dasar yang menggerakan program dari diri manusia. Dengan kata lain, apa yang tumbuh, berkembang dan membentuk diri seseorang pada hakikatnya bermula dari fitrah. Pada situasi tertentu, fitrah sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Inilah ditegaskan oleh Al-Ghazali sebagai bentuk taklid. Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa proses kontemplasi yang ia lakukan sudah bersih dari unsur taklid yang ada apada dirinya. Sehingga membuat penilaiannya menjadi objektif.

Level kebenaran dalam epistimologi ilmu

Al-Ghazali dalam pembukaan kitab ini menjelaskan bahwa ada tiga tahapan yang mesti dilalui untuk menguji kebenaran suatu ilmu. Tahapan pertama ialah ilmu tersebut dapat dibuktikan secara empiris-inderawi -hal tersebut adalah seperagkat instrumen yang dimiliki setiap makhluk. Selain itu, Al-Ghazali menjelaskan bahwa piranti yang paling utama ialah penglihatan, sebagai sumber panca indera. Ilmu yang benar menurutnya, harus lolos uji tahap pertama ini.

Kedua, yakni nalar rasionalistik yang diposisikan sebagai penilai terhadap apa yang telah diproses pada ranah empiris. Apabila akal membenarkan hal tersebut, maka benarlah hal tersebut. Dari postulat-postulat tersebut, Al-Ghazali masih merasa belum puas dan tidak menemukan adanya kemantaban. Ia berasumsi bahwa barangkali dibelakang akal, masih ada penilai kebenaran yang lain. Atau ia juga mengandaikannya dengan mimpi yang terasa nyata, namun hanya delusi semata ketika kita terbangun. Hal inilah yang mendera Al-Ghazali, sekaligus mendorongnya untuk terus menemukan titik terang akan persoalan tersebut.

Ketiga, yakni ilham atau daya intuitif. Dalam kitab ini, disebut sebagai cahaya dari Allah yang merupakan kunci dari seluruh ilmu pengetahuan. Kemampuan ini menurutnya, adalah karunia yang perlu dicari dan bukan semata-mata pemberian. Dan hakikat dari cahaya ini ialah kemampuan menyingkap kebenaran (kasyf).

Macam-macam pencari kebenaran

Al-Ghazali mencoba mencari kebenaran dengan mengamati dan menelaah satu persatu secara intensif dan mendalam, golongan tersebut antara lain :

  1. Ilmu kalam, Al-Ghazali banyak menulis karya kalam seperti iljamul awam ‘an ilmi kalam, al-iqtisad fil I’tiqad Selain itu, dia juga seorang mutakalim beraliran Asy’ariyah. Ilmu ini memiliki konsen kepada pembicaraan (kalam) tentang ketuhanan dengan melakukan perdebatan dan beradu argumen. Dalam beberapa karyanya, Al-Ghazali melemparkan kritik kepada ahli kalam. Salah satunya ialah kegiatan mujadalahyang mendominasi sehingga ilmu tersebut seolah hanya diperuntukan bagi kelas intelektual, bukan bagi golongan awam. Lebih dari itu, Al-Ghazali mengaggap kegiatan berdebat hanya membuang-buang waktu tanpa menemukan titik terang yang pasti. Disisi lain, menurut Al-Ghazali pula, ahli kalam banyak menyadur argumen-argumen di luar islam (musuh islam), untuk membantah pandangan-pandangan musuh islam. Hal ini -selain menghabiskan waktu dan tenaga, juga tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Begitupun para nabi terdahulu. Meskipun mereka tetap melakukan perdebatan dalam dakwahnya, namun hanya sebatas menetralisisasi persepsi dikotomis dari objek dakwahnya. Sekali lagi, Al-Ghazali belum menemukan kebenaran yaqini dalam ilmu ini.
  2. Ahli Filsafat, dalam hal ini ia adalah ilmu diluar ilmu agama (termasuk ilmu sains). Pada masa itu, filsafat lebih banyak digandrungi melebihi islam. Produk keilmuan filsafat yang dibangun atas premis dan fenomena ini membuat Al-Ghazali tertarik untuk menguji kebenarannya.
Baca juga:  Seri Fallacy : Survivorship Bias

Sudah menjadi tradisi AL-Ghazali, dia tidak akan melakukan kritik terhadap satu disiplin ilmu tanpa menguasainya. Setelah mempelajari selama dua tahun, Al-Ghazali berhasil menguasai filsafat sekaligus menulis tesisnya yakni Maqashidu al-Falasifah  yang konon merupakan refleksi dari kitab Ibnu Sina yang berjudul Danisname-I Alai. Selain itu, Al-Ghazali juga menulis antitesanya yakni Tahafut Al-Falasifah.

Dari pengamatannya, Al-Ghazali mengklasifikasikan aliran filsafat menjadi beberapa mazhab besar, yakni :

  • Al-Dahriyun (Materialis); mereka beranggapan bahwa hanya benda yang bersifat materi saja yang bisa diyakini kebenarannya. Maka konsekuensi logis dari hal ini, mereka menafikan hal-hal yang bersifat non-materi, termasuk Tuhan. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menyematkan gelar Zandaqiyahatau Zindiq kepada mereka.

Dalam persoalan ini, para saintis juga bisa dikategorikan dalam mazhab ini. Meskipun dalam praktiknya terdapat para ahli sains yang percaya kepada selain materi sebab ketakjuban mereka pada fenomena alam semesta

  • At-Tabi’iyun (Naturalis); dalam hal ini Al-Ghazali menatutkannya dengan golongan yang menganut logika atau matematika. Menurutnya, kelebihannya ialah mereka memiliki kebenaran yang pasti dan tetap (apriori) meskipun memerlukan perenungan terlebih dahulu (nadzari). Namun disisi lain, juga dapat melemahkan keimanan. Persoalannya terletak pada keyakinan ilmu tersebut. Bisa jadi kebenaran hanya diukur dengan ilmu mereka. Adapun mengenai logika, ia menimbulkan kultus fanatisme yang membedakan dua kutub yang berbeda. Jika logika dan agama bertentangan menurut mereka, maka hanya ada satu kebenaran saja dan dimiliki oleh satu pihak saja.
  • Al-Ilahiyun (Metafisika); dalam persoalan ini, Al-Ghazali sejak awal mengatakan bahwa klaim-klaim yang dibuat para ahli metafisika hanya berdasarkan dugaan semata. Seperti tentang filsafat ketuhanan, hirarki akal dsb. pada dasarnya bersifat spekuliatif. Oleh sebab itu, Al-Ghazali tidak dapat memasukan ilmu ini dalam kategori layak untuk dipercaya.

Setelah mempelajari dan mengivestigasi filsafat, Al-Ghazali menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam paradigma berpikir kalangan filsafat. Salah satunya ialah karena premis-premisnya dibangun atas dugaan (zan), sehingga tidak cukup layak untuk diyakini kebenarannya. Dalam kitabnya Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menulis bantahan-bantahan terhadap kalangan filsafat atas pemikiran mereka.

  1. Syi’ah Batiniyah (Esoterisme); pada periode tersebut, Syi’ah Isma’iliyah massif berkembang di masyarakat. Memang Buwaihi sempat menghegemoni daulah Abbasiyah, namun digeser perannya oleh Turki Saljuk. Dalam kitab ini, mereka disbeut sebagai Ahlu Ta’lim. Penyebutan ini merujuk kepada kebiasaan mereka yang sering membuat majelis ilmu dengan para imamnya. Kebenaran yang mereka tawarkan ialah pemahaman batin dalam bergama. Bagi mereka, agama hanyalah simbol. Segala hal di dalamnya seperti perintah, larangan, anjuran, dogma haruslah dipahami secara batin yang diajarkan oleh imam-imam mereka.
Baca juga:  Mengenali Diri Bersama Imam al-Ghazali

Selain itu, konsep tentang maksum juga diselewengkan oleng golongan ini. bagi Ahlu Sunnah, sebutan maksum hanya berlaku bagi para nabi. Adapun Syi’ah, memposisikan para imam mereka sebagai seorang yang maksum sebagaimana para nabi. Hal ini tentu persoalan serius bagi Al-Ghazali. Terlebih lagi dalam ranah akidah.

Dalam hal ini, Al-Ghazali juga menulis satu kitab tentang aliran ini yakni Fadhaihu Al-Batiniyah yang membongkar kedok ajaran Batiniyah. Setelah melakukan observasi panjang, terbukti bahwa ajaran ini sama sekali tidak menawarkan kebenaran yang Al-Ghazali cari. Sejak awal, kalangan ini sudah bermasalah -bahkan pada tataran yang dasar sekalipun seperti akidah.

  1. Tasawuf; setelah segala pencapainnya di lingkungan akademik, keresahan mulai muncul dalam diri Al-Ghazali akan tujuan hidupnya. Ada ketidakpuasan dalam dirinya. Inilah yang menimbulkan masa transisi dalam diri Al-Ghazali. Oleh saudaranya, Al-Ghazali dikatakan belum mencapai kebahagiaan secara spiritual. Kemudian setelah pencarian yang panjang. Akhirnya Al-Ghazali berjumpa dengan tasawuf. Dan pada tahap inilah, ia mengatakan bahwa diantara banyak jala yang ia tempuh untuk mencari kebenaran, jalan tasawuflah yang memiliki kebenaran. Bahkan menembus batas-batas kebenaran itu sendiri.

Al-Ghazali memulai perjalannya dalam fase ini adalah mengakses catatan-catatan tentang tasawuf seperti karya Al-Bustami, Imam Junayd dan Imam Syibli. Ia berkesimpulan bahwa tasawuf bukanlah sebatas ilmu, namun tasawuf adalah pengamalan spiritual. Hal ini senada pula yang dikemukakan oleh Al-Attas bahwa tasawuf adalah pelaksanaan syariat pada tingkat ihsan. Maka diakui sendiri oleh Al-Ghazali dalam kitabnya bahwa selama ini ia hanya fokus pada teori, namun kering dalam implementasi. Namun, yang perlu digarisbawahi ialah jalan yang dipakai oleh Al-Ghazali dalam menyelami dunia sufi ialah dengan isntrumen wahyu dan ilham.

Ilham menginspirasi adanya Mukasyafah atau intusi yang merangsang kecerdasan spiritualnya. Dan pokok dari kebenaran yang dijalani olehnya ialah pembuktian kebenaran Nubuwwah, sebagai konsekuensi logis dari upgrading diri dari intelektual menuju spiritual. Sebab konsep kenabian ini banyak diketahui namun sedikit dipahami. Sehingga penjelasan tentang Nubuwwah dalam kitab ini dijelaskan dengan sangat rasional oleh Al-Ghazali.

Fase terakhir ini juga menjadi kesimpulan utama dalam pencarian kebenaran oleh Al-Ghazali dalam kitab ini. Wallahua’lam.

Disadur dari INSIST Saturday Forum (Insyaf) dengan tema “Imam Al-Ghazali dan Investigasi Kebenaran” oleh Dr. Akhmad Rofii Damyati, M.I.S.

https://youtu.be/UVJjfVt47-o diakses pada 14/04

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar