Santri Cendekia
Home » Ironi Jilbab TNI ; Apakah UUD 45 Hanya Berlaku di Aceh?

Ironi Jilbab TNI ; Apakah UUD 45 Hanya Berlaku di Aceh?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
MESKI negeri tercinta ini dalam keadaan damai, sebagian serdadu TNI ternyata masih harus terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan mereka. Ironisnya, lawan mereka dalam perang tersebut bukanlah pasukan asing, melainkan aturan kesatuan mereka sendiri. Di dalam tubuh pasukan yang telah berjasa merebut kemerdekaan dari penjajah ini ternyata masih ada aturan yang menghalangi prajuritnya menikmati kemerdekaan tersebut, yakni kemerdekaan menjalankan kewajiban mengenakan jilbab bagi tentara Muslimah.
Berbakti pada Negara, taat pada Agama
Isu jilbab tentara sesungguhnya bukanlah isu yang benar-benar baru. Tuntutan ini telah bergulir lama, awalnya dua institusi keamanan negara yakni POLRI dan TNI dihujani kritik serupa, agar membolehkan anggotanya berjilbab. Namun bagi POLRI soal jilbab ini telah tuntas. Lewat Keputusan Kapolri yang dikeluarkan 25 Maret 2015 lalu, Polwan muslimah di seluruh Indonesia dibolehkan mengenakan jilbab. Mereka terbebas dari maksiat mengumbar aurat. Otomatis, semua mata kini tertuju pada TNI, publik menunggu kebijakan serupa.
Sayangnya, harapan publik ini ditampik oleh pernyataan  Panglima TNI, Jendral Moeldoko bahwa aturan kebolehan berjilbab bagi prajurit wanita hanya berlaku di Aceh. Dus, jika tetap ingin berbakti kepada negara sembari mematuhi agamanya maka setiap prajurit muslimah dipersilakan pindah tugas ke provinsi di ujung Sumatera itu. Di satu sisi, keputusan ini melegakan sebab ternyata tidak ada larangan berjilbab, tapi di sisi lain aturan ini menyisakan pertanyaan besar ; apakah setiap prajurit muslimah yang taat pada Tuhan yang Maha Esa, seperti amanah Pancasila, hanya boleh bertugas di Aceh?
Ketentuuan tersebut cukup ironis bila mengingat tugas pokok TNI yang diamanahkan oleh undang-undang. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa tugas pokok Tentara Nasional Indonesia adalah, “…mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indinonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.. ”
Kalimat yang perlu digaris bawahi adalah bahwa negara yang dilindungi oleh TNI adalah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Bagi seorang muslimah, berjilbab adalah konsekuensi langsung dari sila pertama. Berjilbab bukanlah urusan prefernsi, melainkan kewajiban dari Allah, Tuhan yang Maha Esa. Seorang muslimah “berketuhanan” adalah dia yang taat pada perintah Tuhannya, termasuk untuk memakai pakaian menutup aurat. Kewajiban tersebut dapat dijalankan dengan bebas dimanapun di bumi Pertiwi sebab UUD 45 Pasal 28 dan 29 UUD 45 telah lama menjaminnya. Lalu, mengapa hanya di Aceh?
Di dalam perinciannya pada pasal 7, amanah konstitusi di atas memang tidak membebankan bagi TNI untuk memberikan hak berjilbab bagi prajurit muslimah. Namun demikian, keadaan aman dari gangguan asing tentu terasa hambar bila hak dasar untuk mematuhi keyakinan tidak terpenuhi. Ironi semakin terasa sebab kesatuan yang seharusnya menjaga hak-hak tersebut  justru enggan memberinya secara penuh kepada anggotanya sendiri.  Wajar apabila sejumlah kalangan mulai dari Komanas HAM, tokoh agama, dan elemen sipil lainnya mempertanyakan sikap tersebut.
Loyalitas dan bhakti TNI secara umum dan sang Panglima secara khusus tentu tidak diragukan lagi. Setiap kalimat amanah undang-undang yang disebutkan tadi pun tentulah telah diketahui dengan jelas. Publik hanya menunggu semua itu diewajantahkan dalam persoalan jilbab ini. Dengan mengijinkan prajurit muslimahnya berjilbab, TNI telah memenangkan pertempurannya ; memastikan bahwa setiap anak bangsa merdeka dibawah naungan Pancasila dan UUD 45. Semoga Jendral Moeldoko dan jajarannya tidak menunda-nunda lagi untuk meraih kemenangan ini.
tulisan ini telah di muat di Islampos, dimuat di sini untuk kepentingan dakwah.
Baca juga:  Inkar As-Sunnah Dalam Konsep Dekonstruksi Syari’ah (Studi Terhadap Definisi Sunnah Muhammad Syahrur)

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar