Santri Cendekia
Home » Islamic Brotherhood Atas Dasar Takwa

Islamic Brotherhood Atas Dasar Takwa

Oleh: Jamal Bakarisuk*

Entah mengapa akhir-akhir ini saya melihat percekcokan, permusuhan dan saling membenci di antara kaum Muslim sendiri. Terutama, hal itu disebabkan oleh teman yang tega menikam temannya sendiri. Tentu itu membuat kita sedih. Saya sendiri pada akhirnya lebih suka memilih diam dan merenung sesaat. Lalu saya mengambil kitab suci dan membacanya.

Saya terhenti di Surat al-Furqan, terutama ayat 27-29. Disebutkan bahwa, “Dan ingatlah hari ketika orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.’”

Kisah Persahabatan Uqbah dan Ubai

Tentu ayat ini dalam benak hati saya, kuat sekali dan mengesankan. Tapi kita perlu tahu bagaimana latar belakang historisnya. Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitabnya Aissar Tafasir li Kalam al-Ali al-Kabir, menjelaskan, suatu ketika Rasulullah Saw. diundang dalam sebuah jamuan makan oleh Uqbah bin Abi Muith, salah seorang pedagang yang tersohor di kalangan Quraisy.

Sebenarnya Rasulullah enggan memakan makanan dari jamuan tersebut. Namun Uqbah memaksa memakan hidangan yang disediakan. Rasulullah mau memakan makanan tersebut, namun dengan syarat. Yakni, Uqbah harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Lantas tidak lama kemudian, dengan terpaksa pula, Uqbah akhirnya mengucapkan syahadatain yang diminta Rasul.

Kabar tentang masuk Islamnya Uqbah, sampai juga ke telinga sahabat karibnya, Ubai bin Khalaf. Mendengar hal itu, Ubai terkaget seakan petir menyambar di siang bolong. Ubai menampakkan amarahnya, “Bagaimana bisa, sahabat karibnya beriman kepada agama Rasulullah yang sangat dibencinya?” Seketika itu, Ubai bersumpah akan memutus persahabatannya dengan Uqbah. Ia juga berteguh hati bahwa akan selalu menolak ajakan apapun dari sahabatnya itu.

Baca juga:  Keteladanan tentang Mawas Diri dan Tawadhu' di Perang Mu'tah

Suatu ketika, Uqbah berkepentingan dengan Ubai. Ubai menolak keras dan menghardiknya. Ia berkata, “Keluarlah dari agama Muhammad dan ludahi wajahnya, maka aku akan menerimamu sebagai saudaraku.” Kemudian Uqbah melakukan apa yang diperintahkan Ubai, lalu kembali menjadi sahabat karibnya.

Uqbah datang kepada Rasulullah dan meludahi wajah beliau. Tentu Rasulullah tersinggung atas perkara ini. Dengan nada tinggi, kemudian Rasulullah berkata, “Kita akan bertemu kembali di luar kota Makkah dan kamu akan terbunuh wahai Uqbah bin Abi Muith.” Tampaknya sejarah memihak Rasulullah. Benar bahwa Uqbah terbunuh dalam perang Badar.

Hikmah yang Tergali

Kisah persahabatan kelam ini, diabadikan di dalam al-Qur’an surat al-Furqan 27-29. Hikmahnya adalah penting kiranya kita memilih teman dan membina persahabatan. Persahabatan yang terbaik, terikat oleh tali kecintaan kita kepada Allah dan Rasulullah.

Sebenarnya, kebutuhan manusia akan seorang teman adalah fitrah. Manusia makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Untuk melakukan aktifitas sehari-hari, kita masih sangat membutuhkan peran orang lain.

Sebagian kalangan memahami bahwa “teman baik” adalah seseorang yang dapat dipercaya dan menjadi tempat untuk menceritakan semua rahasia. Sementara yang lain, meyakininya sebagai orang yang setia, yang siap menemani ketika susah maupun senang.

Kedua pendapat tersebut mungkin benar. Namun, sejatinya masih terdapat makna yang lebih sempurna. Peran dari teman baik adalah mendorong kita lebih dekat kepada Allah. Teman baik membuat kita menjadi lebih patuh kepada ajaran-ajaran Islam yang mulia, serta memberi keuntungan positif dunia dan akhirat.

Islamic Brotherhood

Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam juga tak lepas dari peran para sahabatnya yang setia menemani beliau dalam kondisi apapun. Begitu pula dengan kita, tentu membutuhkan seorang teman. Hal ini penting karena kita bisa berbagi di kala suka maupun duka, di kala lapang maupun sempit dan seorang teman, bisa menjadi penunjuk jalan menuju surga.

Baca juga:  Antara Islamis dan Sekularis; Objektifikasi Sebagai Jalan Tengah?

Rasulullah pernah bersabda, “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk, ibarat penjual parfum dan pandai besi. Penjual parfum boleh jadi akan menghadiahkan parfumnya kepadamu, atau kamu membeli darinya, atau kamu mendapatkan bau wanginya. Sedangkan pandai besi, bisa saja membakar bajumu, atau kamu akan mendapatkan bau tidak sedap darinya.”(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).

Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Tazkiyatun Nafs, mengatakan bahwa, “Teman yang baik, ibarat nutrisi bagi tubuh yang memberikan manfaat. Tatkala duka menimpa, ia datang memotivasi agar kita tetap tegak berdiri. Sebaliknya, ketika kita dalam keadaan lapang, teman yang baik selalu mengingatkan kita untuk selalu bersyukur. Teman yang baik adalah suatu keuntungan di atas keuntungan. Hal ini sebagaimana ungkapan Umar bin Khattab, ‘Genggamlah teman yang baik seperti orang pelit yang menggenggam hartanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham.’”

Dalam sebuah puisi, disebutkan bahwa, “Apabila engkau berdiri di tengah kerumunan, pilihlah teman yang baik. Janganlah bersanding dengan orang hina, atau engkau akan terhina bersamanya. Jika engkau ingin bertanya, siapa sesungguhnya temanmu itu, jangan bertanya tentang dirinya, tetapi siapa teman-temannya. Sesungguhya, setiap orang cenderung meniru prilaku temannya.”

Mencari teman yang saleh atau salehah telah menjadi kebiasaan generasi awal Islam. Para sahabat mencari teman yang kata-katanya adalah hikmah, memberi kesejukan, membuka kesadaran, menguatkan iman, mempertajam pikiran dan melembutkan hati.

Abu Darda Ra. menuturkan bahwa, “Teman yang salih, lebih baik dari pada menyendiri. Dan menyendiri, lebih baik dari pada bergaul dengan teman yang buruk. Seseorang yang mengajak kebaikan, lebih baik dari pada orang yang diam. Dan orang yang diam, lebih baik dari pada teman yang mengajak kepada keburukan.”

Baca juga:  Umat Islam Di Antara Isu PKI dan Isu Agraria

Orang yang berakal, tentu tidak akan membiarkan dirinya terbenam dalam ikatan pertemanan yang merugikan. Teman yang buruk akan melahirkan keresahan, dalam pengertian yang negatif. Kita mungkin tidak merasakan dampaknya secara langsung dari teman-teman kita.

Tidak jarang, kita mengklaim bahwa kita memiliki karakter dan kepribadian kuat. Namun, pertemanan yang kurang baik, tidak menutup kemungkinan akan meruntuhkan karakter dan kepribadian kita.

Karena itulah, penting kiranya kita memilih teman secara bijaksana. Pertemanan inilah yang bisa mengubah hidup kita secara keseluruhan. Rasulullah pernah bersabda, “Seseorang itu tergantung kualitas keagamaan temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi).

Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, sebenarnya syarat pertemanan dalam Islam adalah diikat oleh tali ketakwaan. Allah SWT menjamin pertemanan yang baik tersebut, akan kekal sampai di akhirat nanti. Demikianlah yang dimaksud dengan pertemanan dalam Islam (Islamic brotherhood). Allah berfirman, “Teman-teman akrab pada hari itu (akhirat) akan saling bermusuhan kecuali orang-orang yang bertakwa” (QS al-Zukhruf 67).

*Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar