Santri Cendekia
Home » Jebakan Rasionalisme (Al-Baqarah : 55)

Jebakan Rasionalisme (Al-Baqarah : 55)

Bismillahirrahmanirrahim

Subhanaka la ‘ilmalana illa ma’allamtana, innaka antal ‘alimul hakim

 

 Dan ingatlah ketika kamu (Bani Israil) berkata, “ya musa, kami tidak akan pernah beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas”.  Maka kamu disambar oleh halilintar, sedangkan kamu menyaksikan (Al-Baqarah : 55).

 

Cuplikan ayat ini, diambil dari kisah ketika Nabi Musa as mengajak 70 orang terbaik dari Bani Israil ikut dengannya untuk mendapatkan pengajaran. 70 orang ini adalah orang-orang yang kelak diharapkan dapat menjadi pemuka-pemuka sekaligus pendidik bagi kaumnya. Namun apa yang terjadi, dalam tafsir ibnu katsir, ketika mereka mendengar sebuah firman yang diberikan kepada Musa, mereka malah berkata, “ya musa, kami tidak akan pernah beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas”. Maka mereka pun mendapat adzab dari Allah berupa petir yang menyambar hingga matilah mereka satu persatu, di mana yang masih hidup menyaksikan kematian teman-temannya yang mendapatkan sambaran petir terlebih dahulu. “Sedang kamu menyaksikan”.

 

Allah hadirkan kisah macam ini, bukan hanya sekedar sebagai cerita pengantar tidur. Al qur’an yang 1/3 bagiannya terdiri dari kisah, memberikan pelajaran yang menginspirasi kita sebagai umat terakhir, agar belajar dari berbagai kesalahan umat di masa lalu dan dapat menjalani hidup sebagai muslim yang baik. Hatta ketika Allah hadirkan banyak kisah Bani israil di dalam qur’an, khususnya di ayat ini, bukan untuk membuat kita merasa tenang sambil bergumam, “ah ini kan Bani Israil, untung saya bukan Bani Israil”. Bukan! Bukan output seperti itu yang diharapkan oleh Qur’an. Bani israil banyak dihidangkan Qur’an dalam ayat-ayatnya karena Bani israil, adalah salah satu seburuk-buruk kaum, di mana banyak terdapat seburuk-buruk sifat manusia pada mereka. Maka pelajarilah Bani Israil dalam qur’an agar kita tahu sifat-sifat buruk manusia macam apa yang melekat pada mereka dan kita dapat mengenalinya hingga tentu dapat kita hindari semampunya. Salah satu sifat buruk yang ada pada Bani Israil dalam ayat ini adalah, paham RASIONALISME. Paham yang tidak mau menerima segala sesuatu non-empiris dan tidak masuk di dalam rasio kita. Sifat ini juga menjamur di jaman kita hidup sekarang bukan?

Baca juga:  Observatorium Sekolah dan Pesantren

 

Rasionalisme adalah sebuah sikap gagal memaknai definisi dan klasifikasi realita. Bani Israil tidak mau beriman kepada Allah, sebelum Musa dapat memperlihatkan wujud Allah kepada mereka untuk menuntaskan dahaga dari sikap rasionalisme kronis mereka. Padahal menurut Imam Al-Ghazali, realita (wujud) dibagi menjadi dua, empiris dan non-empiris. Contoh realita non-empiris seperti apa? Allah, Malaikat, Wahyu, Nubuwwah, hari kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Namun sayangnya, realita non-empiris ini tidak mudah dipahami sebagai mana realita empiris. Sehingga, terkadang, khususnya bagi barat, realita non-empiris tidak dapat disebut sebagai realita. Lalu bagaimana cara memukul telak logika para pengiman Realita – empiris? Sedikit penulis akan coba memberikan gambaran kepada pembaca di paragraf berikutnya.

 

Pernah suatu ketika seorang guru memerintahkan murid-muridnya untuk mencubit tangan masing-masing. Setelah itu sang guru bertanya kepada para murid apakah ada diantara mereka yang bisa menunjukan bentuk rasa sakit pada tangannya. Semua serentak menjawab, “bisa tad, ini merah kulitnya!”. Ternyata sang guru menyalahkan jawaban murid-muridnya. Sang guru menjelaskan bahwa kulit yang memerah bukan bentuk rasa sakit, melainkan bekas/tanda rasa sakit. Para murid pun berpikir keras lagi hingga akhirnya semuanya menyerah. Sang guru pun memberikan Hikmah dari perintahnya barusan.

Bahwa semua murid percaya dan bersaksi bahwa rasa sakit itu ada. Tapi mereka tidak bisa membuktikan bentuk empiris dari rasa sakit tersebut. Tidak semua yang tidak empiris berarti tidak ada dan bukan sebuah realita. Ada hal-hal yang eksis dan kadang memang kita belum atau tidak diberi kemampuan untuk mengenali bentuknya secara empiris. Tapi kita bisa mengetahui keberadaannya berdasarkan, bekas-bekas atau tanda yang ditinggalkannya.Sama seperti bagaimana kita mengenali Allah, meski tidak tampak Dzatnya di mata kita, ayat-ayat kauniyah dan qouliyahnya sudah cukup untuk kita meyakini bahwa Allah itu Dzat yang WUJUD.

MasyaAllah! Semoga Allah merahmati guru itu!!

Baca juga:  Meluruskan Tirto Soal Perang Badar

 

Begitupun kita, lancang kita ingin merasionalkan segala sesuatu, padahal begitu banyak hal-hal yang tidak empiris yang kita terima kehadirannya begitu saja tanpa kita banyak bertanya. Misalnya: perasaan marah, sedih, ambisi, syahwat, cinta, alam pikiran, dan sebagainya. Semua itu adalah hal-hal yang kita terima keadaannya tanpa kita harus melihat bentuk fisiknya. Kembali kepada Bani Israil, meskipun belum pernah melihat Allah, bukankah begitu nyata tanda-tanda Allah yang sudah Allah hadirkan dihadapan mereka? Laut terbelah dan diselamatkannya mereka dari fir’aun? Manna dan salwa? Naungan awan? Air yang memancar dari batu yang dipukul oleh Musa? Lalu apa urusan mereka tidak mau beriman sebelum melihat Dzat Allah? Sungguh sikap seperti Bani israil ini bukanlah sebuah sikap yang ilmiah dan kritis. Ini hanyalah sikap ingkar dari sebuah kaum yang dibodohi oleh ego pemikiran mereka sendiri. Dan dari kisah ini kita belajar, bahwa ketika kita menjadikan kepuasan indera kita sebagai syarat agar kita mau beriman, maka sungguh kita telah terjebak dalam sebuah logical fallacy.

 

Allahu a’lam bishshawab.

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar