Santri Cendekia
Source: https://www.infoastronomy.org/
Home » Kalender dan Tradisi Interkalasi Bangsa Arab Silam

Kalender dan Tradisi Interkalasi Bangsa Arab Silam

Source: https://www.infoastronomy.org/

Dalam sejarah dan perjalanan kalender dunia, sistem penjadwalan waktu pada masa pra Islam–bahkan era Islam–pernah mengalami pergeseran sebagai akibat praktik interkalasi (an-nasī’) yang dilakukan bangsa Arab. Dalam perjalanannya pergeseran itu pernah menjadikan bulan Muharram tidak berada pada posisi sesungguhnya secara astronomis. Ada beberapa motivasi dan tujuan dari praktik an-nasī’ (interkalasi) ini dikalangan bangsa Arab, antara lain : (1) kebutuhan akan perang, diantaranya dengan mengundur bulan Muharram kepada bulan Safar, (2) untuk menyesuaikan selisih 11 hari antara tahun bulan dan tahun matahari, diantara konsekuensinya mengundur ibadah haji dari waktu sebenarnya, (3) untuk kepentingan perjalanan dan perdagangan menyesuaikan musim panen dengan perubahan musim.

Secara etimologi, an-nasī’ (interkalasi) bermakna “ta’khīr”, “ziyādah” dan “ta’jīl” yaitu mengundur, menambah, dan menangguh. Pada penerapan awalnya bangsa Arab silam menerapkan sistem interkalasi (an-nasī’) sebagai upaya menyesuaikan dua sistem kalender yaitu kalender bulan (qamarī) dan kalender matahari (syamsī). Konon, Mesir kuno adalah yang pertama menerapkan sistem interkalasi ini.

Diantara praktik interkalasi yang dipraktikkan bangsa Arab adalah menggabungkan selisih tahun bulan dan tahun matahari yang berjumlah sekitar 11 hari, dimana dalam masa 3 tahun terakumulasi menjadi 33 hari atau satu bulan lebih. Dalam praktiknya sisa 33 hari ini dijadikan sebagai bulan tersendiri selain 12 bulan yang sudah ada, artinya bilangan bulan pada waktu (tahun) itu berjumlah 13 bulan, bukan 12 bulan. Konsekuensi dari interkalasi ini adalah bulan Muharram yang sejatinya menempati posisi asalnya berubah menempati posisi bulan Zulhijah, konsekuensinya lagi tradisi ibadah haji pada waktu itu dilakukan pada bulan Muharram. Selain itu, bulan Safar yang sejatinya menempati urutan bulan kedua, secara yuridis dijadikan sebagai awal tahun. Dan masih ada banyak lagi konsekuensi logis dari praktik interkalasi (an-nasī’) ini pada zaman dahulu.

Baca juga:  Qurban dan Transformasi; Suatu Kajian Semiotik

Menurut sumber-sumber sejarah, pada dasarnya bangsa Arab tidak menyukai berperang pada bulan Muharram, namun ketika situasi sosio-politik berubah, tuntutan dan tradisi perang tidak dapat dihindari. Sebagai jalan keluar agar peperangan tidak dilakukan pada ‘bulan-bulan haram’, adalah dengan memanipulasi (mengganti) bulan-bulan haram (khususnya Muharram) dengan bulan Safar. Dengan demikian secara sepakat mereka dapat melakukan peperangan pada bulan itu. Praktik manipulasi (baca: interkalasi) ini kerap mereka lakukan setiap tahun, bahkan praktik ini masih terjadi hingga era Islam. Seperti dituturkan Al-Qurthūbī (w. 671/1272) dalam tafsirnya “al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān”, bahwa sahabat Abu Bakar Siddiq ra pada tahun 9/630 melaksanakan ibadah haji pada bulan Zulkaidah, bukan bulan Zulhijah, dimana pada tahun ini Nabi Saw tidak melaksanakan haji.

Lantas pada tahun berikutnya (tahun 10/631) Nabi Saw menunaikan ibadah haji yang merupakan haji wadak (haji perpisahan). Pada tahun itu (tahun 10/631) Nabi Saw melaksanakan haji tepat pada bulan Zulhijah dan berdasarkan penampakan hilal. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis, dalam khutbahnya Nabi Saw mengkritisi sekaligus merekonstruksi praktik interkalasi (an-nasī’) yang sudah mentradisi dikalangan bangsa Arab. Nabi Saw juga melarang dan menghentikan praktik interkalasi. Pelarangan ini secara tegas disebutkan dalam Q. 09: 37.

Selain itu, dalam Q. 09: 36 juga ditegaskan bahwa bilangan bulan di sisi Allah adalah berjumlah 12 bulan, dimana diantaranya terdapat empat bulan Haram: Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab. Penegasan ayat ini sekali lagi menegaskan pelarangan praktik interkalasi (an-nasī’) dan dimulainya era baru sistem kalender. Dengan demikian sejak saat itu, dan hingga kini, sistem penjadwalan waktu (kalender) telah teratur, yaitu berdasarkan peredaran faktual bulan dan atau matahari sesungguhnya. Dengan demikian pula, ritual ibadah haji (yang dalam beberapa waktu pernah dilakukan tidak pada bulan sesungguhnya) kembali dilakukan pada bulan sesungguhnya yaitu bulan Zulhijah. Nabi Saw bersabda : “sesungguhnya masa telah berputar seperti keadaannya sebagaimana pada hari Allah menciptakan langit dan bumi”.[]

Baca juga:  Bahaya Ulama Instan

* Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Medan Pos

Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar

Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar