Santri Cendekia
Home » Keimanan Kepada yang Ghaib sebagai Pondasi Ketaqwaan

Keimanan Kepada yang Ghaib sebagai Pondasi Ketaqwaan

Di dalam pembuka surat Al Baqarah, setelah ayat muqotho’ah (alif lam mim), Allah ‘Azza wa Jalla melanjutkan ayat ini dengan pembicaraan tentang Al-Qur’an. Bahwa kita Al-Qur’an ini adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan merupakan petunjuk bagi muttaqin (orang orang bertaqwa).

Menurut definisi para Ulama, muttaqin adalah orang orang yang berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Baik perintah yang berkaitan dengan ibadah ibadah individual atau sosial.

Belum muttaqin orang yang rajin salat namun zalim terhadap sesama. Belum muttaqin juga orang yang bagus relasi sosialnya namun buruk pelaksanaan ibadah ibadah individual yang Allah ta’lifkan (bebankan) padanya.

Atau jika menurut Ubay bin Ka’ab ra ketika menjawab pertanyaan Umar bin Khattab ra, taqwa itu ibarat orang yang berhati hati berjalan di tempat penuh diri.

Jika menurut Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, secara etimologis (bahasa), Taqwa merupakan derivasi dari kata wiqooyah (وقاية) yang artinya adalah penjagaan, pemeliharaan, pencegahan, tameng.

Karena Al-Qur’an tidak akan bermanfaat bagi mereka yang membacanya tanpa ketaqwaan atau tanpa tujuan mendapatkan ketaqwaan. Itu mengapa dari sekian banyak orientalis, tetap berada di dalam kekafiran meski mereka mempelajari Al-Qur’an. Atau tidak sedikit yang mendalami Al-Qur’an malah untuk mendekonstruksi tafsir tafsirnya dengan tafsiran yang bathil dan menggelincirkan orang banyak.

Lalu Allah lanjutkan di ayat setelahnya dengan penjelasan bahwa orang bertaqwa adalah mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, menginfaq’an sebagian rizqi dari yang Allah berikan kepada-Nya, beriman kepada Risalah Kenabian Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dam kepada Nabi Nabi sebelumnya.

Menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam tafsir Al Munirnya, 4 hal tersebut merupakan sifat bagi orang-orang bertaqwa yang mengambil manfaat dari Al-Qur’an.

Baca juga:  Pemuda, Masa diantara 2 Kelemahan (Ar-Rum 54)

Yang menarik, keimanan terhadap yang ghaib menjadi kriteria pertama yang disebutkan sebelum kriteria yang lainnya.

Kita perlu ingat, bahwa rukun iman kita, semua terkait dengan hal hal yang ghaib.

  1. Iman kepada Allah, Allah itu ghaib
  2. Iman kepada malaikat Allah, malaikat itu ghaib
  3. Iman kepada Kitab Allah, wahyu itu ghaib
  4. Iman kepada Rasul Allah, meski Nabi adalah basyar (manusia yang bersifat jasmaniyyah), namun kerasulan, risalah yang datang pada beliau adalah Ghaib
  5. Beriman kepada Hari kiamat, Hari kiamat itu ghaib. Meski ketika ia terjadi ia bersifat empiris, namun khabar tentangnya dan asbab utamanya adalah ghaib.
  6. Beriman kepada Qadha’ dan Qadar, takdiq itu ghaib.

Sehingga tanpa keimanan terhadap yang ghaib, maka pondasi keimanan dan amal amal seorang muslim akan berantakan.

Orang tak mungkin memiliki motivasi beramal sholih jika bukan karena keimanan terhadap yang ghaib seperti pahala dan surga. Orang tidak mungkin punya motivasi kuat meninggalkan maksiat jika bukan karena keimanan kepada yang ghaib seperti dosa dan neraka. Orang akan takut zalim terhadap sesama, atau pemimpin akan takut berbuat zalim kepada rakyat jika ia beriman terhadap yang ghaib seperti yaumul hisab dan yaumul jaza’.

Para khulafaur rasyidin, dan pemimpin pemimpin sholeh sepanjang lembar peradaban islam, menorehkan kisah kisah cemerlang dan pribadi pribadi yang luar biasa juga tidak pernah terlepas dari sebab keimanan mereka terhadap berbagai hal yang bersifat ghaib (metafisik).

lembaran kisah jihad muslimin di sepanjang jaman, dimotivasi oleh hal hal yang ghaib, seperti pahala syahid dan masuk surga tanpa hisab.

Bahkan yang membedakan kualitas dan nilai amal kita adalah hal yang ghaib bernama niat.

Baca juga:  Umat Islam Kurang Mempelajari Buddhisme: Wawancara dengan Profesor Imtiyaz Yusuf

Semoga Allah berikan kita kekuatan dan kemudahan untuk menghayati berbagai hal hal yang ghaib yang bisa menuntun kita kepada ketaqwaan. Khususnya di bulan ramadhan ini.

 

Allahu a’lam

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar