Santri Cendekia
Home » Kejahatan Seksual; Refleksi Bagi Aktivis Muslim

Kejahatan Seksual; Refleksi Bagi Aktivis Muslim

Dengan adanya kasus kejahatan seksual yang menyeret nama aktivis dakwah, saya jadi introspeksi diri dengan keislaman saya. Semacam harus ada kesepaduan antara elmu dan laku.

Oleh: Kamil Akbar*

Dengan adanya kasus IM dan DT, saya jadi introspeksi diri dengan keislaman saya. Semacam harus ada kesepaduan antara elmu dan laku. Seolah Allah sedang menegur saya, “Masihkah kau merasa aman dan memperturutkan hawa nafsumu, hai hamba-Ku? Padahal dua hal itu sudah cukup membuatmu binasa!” Maka saya setelahnya berusaha kembali membaca ad Daa’ wad Dawaa’, juga mencari-cari kajian Risalatul Mu’awanah sebelum naik ke Minhajul Abidin dan Ihya’ Ulumuddin.

Di titik ini saya seolah disadarkan kembali, bahwa sebelum menghafal Qur’an, sebelum membahas Manhaj, adalah harga mati untuk belajar dan menerapkan penyucian jiwa!  Pun, saya sadar siapapun yang sudah menisbatkan diri pada gerakan dakwah, atau sudah mengafirmasi bahwa dirinya adalah bagian dari jama’ah pergerakan dakwah, harus siap menerima kritik. Dimana kritik itu dibutuhkan, untuk memperbaiki diri. Karena saya pribadi menganggap kritik yang baik adalah nasihat.

Nasihat tentu disampaikan penyampai nasihat karena si penyampai ingin kebaikan wujud dalam diri kita. Sekalipun itu dalam bentuk jotosan, jejekan, atau sirah ditatapke ning lawang itu adalah bentuk sayang teman kepada kita. Agar kita berubah. Maka hadapilah, jangan denial (menyangkal), lakukan introspeksi lalu perbaiki. Memang sakit, tapi itu demi kebaikan kita sendiri. Hal ini akan relevan bagi kaum adam yang sudah ngaji, ketika menghadapi fitnah seperti pada kasus yang saya sebutkan sebelumnya.

Mulailah ubah dari cara pandang kita terhadap wanita. Karena tak sedikit saya dapati, di dunia maya dan dunia nyata yang kaum adamnya sudah ngaji, menjadikan poligami sebagai bahan candaan. Dengan membicarakan ukhti ini atau ukhti itu (bahkan sampai membagikan biodatanya segala) untuk dijadikan candaan, seperti, “Wah siap nambah nih pak?” atau, “Gas kang, sebelum diambil yang lain”. Atau kalau di kajian lain yang lebih umum, membicarakan seputar janda montok yang nggak sengaja papasan di tempat kajian. Maka, saya pribadi berusaha menghindari bahasan itu.

Baca juga:  Meninjau Ulang Gagasan Waris Satu Banding Satu (Bagian 2)

Sukakah engkau jika yang dijadikan bahan candaan itu adalah anakmu, saudarimu, atau ibumu? Badalah, apa yang ada di pikiran kaum Adam cuma itu? Saya haqqul yaqin, wanita yang masih sehat akalnya tak akan merasa nyaman jika dibegitukan. Dan, mohon maaf, jika masih ada yang seperti ini muru’ah lelaki sudah tidak ada di mata saya.

Belum lagi ada salah satu tokoh ormas Islam perempuan bilang begini, bahwa KDRT terjadi karena laki – laki saat ini kebanyakan sedang mengalami krisis maskulinitas. Kalau dalam bahasa Qur’an adalah Qawwamah. Berdasarkan paparan beliau, ini bisa dilihat dari berapa banyak anak laki – laki yang saat ini menjadi juara kelas di sekolah – sekolah. Sangat sedikit!

Bisa dibayangkan ketika si anak konstan dengan kondisinya, lalu saat dewasa ia menikah dengan wanita yang lebih cerdas dan lebih besar penghasilannya, maka kepemimpinan rumah tangga akan bergeser ke istri. Dan bagi suami yang sudah nggak cerdas, dan penghasilannya lebih kecil kalau tidak sabar, akan cenderung menjadi temperamen jika istrinya yang memutuskan segala hal. Maka, rumah tangga itu akan terbakar dengan kobaran api amarah suami, yang akan menelan si suami sekaligus si istri, KDRT pun terjadi.

Kalau sudah begini, mana itu visi keluarga muslim yang jelas tergambar di QS. al-Furqan ayat 74? Maka, buyar saja bermimpi untuk membangun rumah tangga yang benar dan menghasilkan pemimpin orang-orang yang bertaqwa jika kondisi laki-lakinya sudah suka memperturutkan hawa nafsu, lemah qawwamah nya, juga anti kritik.

Pokoknya yang salah adalah wanita. Padahal, wahai laki – laki, kitalah yang lemah! Kelemahan kita karena kurangnya ilmu dan prioritas hidup yang jelas. Kelemahan ini menyebabkan kita berkali-kali jatuh dalam kubangan dosa dan maksiat yang sama, juga membuat kita masih sempat – sempatnya melakukan perbuatan yang melalaikan. Maka, penting bagi kita, para laki – laki untuk bermujahadah.

Baca juga:  Meninjau Gugatan Feminisme terhadap Institusi Rumah Tangga dari Perspektif Islam

Bersungguh – sungguhlah dalam menyucikan jiwa. Karena ia adalah panglima bagi tubuh kita. Dan jika kita hendak bermaksiat, jangan lihat seberapa besar maksiatnya. Tapi ingatlah kepada siapa engkau bermaksiat! Yang mana maksiat telah membinasakan kaum – kaum terdahulu. Maukah engkau binasa juga?

Siapkah engkau berperang dengan Allah, sementara jiwamu ada dalam genggaman-Nya dan tak ada tempat berlindung selain-Nya? Maka, jangan dianggap enteng perkara kajian penyucian jiwa, dosa, dan maksiat. Karena kelalaian kita yang menganggap, bahwa kajian ini adalah kajian remeh dan sampingan sehingga pembahasan kita langsung meloncat ke negara dan hal – hal luaran lainnya. Padahal, tidaklah ada ancaman musuh dari luar melainkan kita yang lemah di dalam. Maka saudaraku, saatnya kita terus memperbarui tobat kita, teruslah menyucikan jiwa kita, waspadailah pos – pos dimana musuh kita yang paling nyata akan masuk, dan teruslah menuntut ilmu untuk memperbarui keimanan kita.

*pernah aktif di InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya)

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar