Santri Cendekia
Home » Kekayaan dan Kemiskinan hanyalah Ujian (Al-Fajr : 15-16 end)

Kekayaan dan Kemiskinan hanyalah Ujian (Al-Fajr : 15-16 end)

Bismillahirrahmanirrahim

Subhanaka la ‘ilmalana illa ma’allamtana, innaka antal ‘alimul hakim

 

 Maka adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya nikmat, maka ia berkata, “Tuhanku sedang memuliakanku”. Namun apabila  Tuhannya mengujinya dengan membatasi rizkinya, maka ia berkata, “Tuhanku sedang menghinakanku” (Al-Fajr : 15-16).

 

Jika kemarin kita membahas soal istidraj dan bagaimana tertipunya kita dalam memandang sebuah kesuksesan, maka sekarang kita harus menyempurnakan pembahasan ini dengan bagaimana cara kita memandang musibah dan ‘kemiskinan’. Maka sungguh, manusia bila sedang mendapatkan ujian berupa kemiskinan atau rizqi yang dibatasi oleh Rabbnya, dengan mudahnya mengambil kesimpulan bahwa Allah sedang menghinakannya. Lupakah kita dengan sabda-sabda Rasulullah di bawah ini?

 

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik maka ditimpakan musibah (ujian) kepadanya.” (HR. Bukhari)

 

Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang mukmin walaupun berupa duri, melainkan dengannya Allah akan mencatat untuknya satu kebaikan atau menghapus satu kesalahannya. (HR. Muslim)

 

Tidak ada satu pun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim, melainkan dosanya dihapus oleh Allah Ta’ala karenanya, sekalipun musibah itu hanya karena tertusuk duri. (HR. Muslim)

 

Terkadang Allah menghadirkan ujian kemiskinan dan kesulitan untuk seorang hamba justru karena Allah menghendaki kebaikan dan kenaikan derajat terhadap hamba-Nya tersebut. Ingatkah kita salah satu dari 3 misi besar islam yang disampaikan oleh Rib’i bin Amir terhadap rustum sang panglima Persia?

 

“ALLAH MENGUTUS KAMI UNTUK MENGAJAK MANUSIA DARI SEMPITNYA DUNIA MENUJU LUASNYA AKHIRAT”

 

Menuju dan merasakan luasnya akhirat tidak harus menunggu mati, namun dengan merubah mind set kita yang senantiasa dunia-oriented menjadi akhirat-oriented. Maka ketika kita sudah menjadi akhirat-oriented, sungguh dada kita akan terasa lapang, sudut pandang kita menjadi luas, parameter-parameter kesusksesan kita pun berubah. Urusan dunia, kita kejar sekuat apapun , pasti kelak akan ada mentoknya. Namun urusan amal soleh, sungguh bahkan maut pun kadang tidak bisa menghentikannya (baca 3 hal amalan yang tidak putus meskipun kita sudah wafat). Ali bin Abi thalib ra, beliau adalah salah satu dari 10 orang yang dijamin masuk surga, masuk islam semenjak masih kecil, menjadi khalifah ke-4, menjadi orang dan sepupu terdekat Rasulullah. Dengan segala keutamaannya tersebut, beliau memiliki kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Namun itu tidak merubah dan menggeser kemuliaan beliau barang sedikit. Salman Al-Farisi ra, di akhir-akhir hayatnya, setiap hari hanya berpenghasilan sebanyak 3 dirham. 1 dirham ia gunakan untuk membeli bahan baku anyaman, 1 dirham ia gunakan untuk menafkahi keluarganya, dan 1 dirham ia gunakan untuk sedekah. Tentu dengan semua kondisi ekonominya yang begitu minim, namanya tetap menjadi kisah dan teladan besar untuk kaum muslimin di setiap jaman.

Baca juga:  Kebijakan Antimonopoli Umar bin Khattab

 

Kekayaan dan kemiskinan, semua hanyalah ujian yang perlu kita sikapi dengan sikap yang paling tepat menurut syariat. Dua-duanya bisa mengantarkan kita menuju surga atau neraka. Semoga Allah ‘azza wa jalla senantiasa membimbing langkah-langkah kita.

 

Allahu a’lam bishshawab.

 

 

 

 

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar