Santri Cendekia
Home » Kembali Fitri Setelah Pandemi

Kembali Fitri Setelah Pandemi

Bulan Ramadhan adalah bulan yang dimuliakan dalam Islam. Di dalamnya tidak sekedar ibadah puasa yang disyariatkan. Banyak amalan sunnah lainnya yang mendapati kelipatan ganjaran pahala. Ada Tilawah Al-Qur’an, I’tikaf, hingga shalat-shalat nawafil. Semua mendapatkan balasan berlimpah, yang tak kan di dapatkan di luar bulan ini.

Ramadhan tahun ini, ummat Islam tidak hanya diajarkan untuk payahnya menahan dahaga dan lapar. Tidak sekedar menahan emosi buruk dan nafsu tercela. Tahun ini, Allah juga sertakan makhluk-Nya yang tak kasat mata. Untuk turut serta ‘mengajarkan’ ummat Islam khususnya. Tentang makna puasa yang sebenarnya. Setelah hampir ummat Islam melupakannya. Wa iyyadzu billah.

Interpretasi makna Idul Fitri.

Kata I’ed dalam literatur Arab terambil dari kata āda-ya’ūdu. Dalam lisān al-’Arab karangan Ibn Manzhur, Al-Azhari berkata “Wa al-‘īd ‘inda al-‘Arab al-Waqt alladzī ya’ūdu fīhi al-Farh wa al-Hazn”. Kurang lebih artinya “dan (kata) ‘īd menurut bahasa Arab adalah waktu yang berulang kesenangan dan kesedihan di dalamnya”. Seakan memperinci maksud ‘’īd’, Ibn al-A’rabiy -masih dalam halaman yang sama-mengatakan “sumiyya ‘īd ‘īdan liannahu ya’ūdu kulla sanah bi farh mujaddad” (dinamakan ‘īd karena berulang setiap tahun dengan kesenangan yang diperbarui).

Sedangkan kata fitri memiliki banyak interpretasi makna. Salah satunya yang berkaitan dengan kata fitrah. Ibn Manzhur menjelaskan makna fitrah sebagai “mā fathara Allahu ‘alayhi al-Khalq min al-Ma’rifah bih” (segala ciptaan yang Allah ciptakan dari pengetahuan-Nya). Abu al-Hasyīm mengatakan “al-Fithrah al-Khalqah allatī yukhlaqo ‘alayha al-Maulūd fī bathni ummihi” (fitrah adalah ciptaan yang diciptakan Allah dan dilahirkan dalam perut ibu). Seperti firman Allah swt “illa alladzī fatharanī fahuwa sayahdīn” yang artinya “Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia yang memberi hidayah kepadaku” (Al-Zukhrūf: 27).

Sejurus kemudian, Ibn Manzhur mengartikan kata fitrah sebagai “al-Kalimah yasīru biha al-‘Abd musliman wa hiya syahadah an lā ilāha illa Allah wa muhammad rasūlullah jāa bi al-Haqqi min ‘indih fatilka fithrah li al-Dīn”. Hal ini sebagaimana Ibn Manzhur menyandarkannya pada hadits Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam “annahu ‘allama rajulan an yaqūla idzā nāma wa qāla: fainnaka in mutta min laylatika mutta ‘ala al-Fithrah[1]. Maka dapat dipahami disini bahwa makna fitrah adalah keadaan seseorang berislam (Muslim).

Akan tetapi yang patut kita ketahui bersama bahwa keadaan fitrah, sebenarnya sudah ada pada setiap manusia. Seperti Firman Allah dalam Qs. Al-A’rāf ayat 172 yang berbunyi: “Wa idz akhada rabbuka min banī Ādam min dhuhūrihim dzurriyatuhum wa asyhadahum ‘alā anfusihim alastu bi rabbikum qālū balā syahidnā….” (Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian mereka terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “betul (Engkau Tuhan kami,) kami menjadi saksi…).

Ayat di atas memberikan kejelasan bahwa sebenarnya manusia sejak dalam alam azalinya dalam keadaan fitrah (beriman kepada Allah swt). Namun, karena orang tuanyalah manusia berganti keyakinan seperti sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam berikut: “kullu maulūdin yūladu ‘ala al-Fithrah faabawāhu yuhāwidāni aw yunāshirāni aw yumājisāni” (Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka karena kedua orang tuanyalah menjadikannya Yahudi atau Nashrani atau Majusi).

Adapun makna fitri yang kedua diambil dari kata afthara-yufthiru yang berarti ‘berbuka puasa’. Pada konteks kata ini, Ibn Manzhur mengatakan “ wa al-Fithru: nuqbidhu al-Shawm” (adapun (makna) fithr yang lain adalah menghentikan puasa). Oleh sementara kalangan di ummat Islam saat ini, pendapat kedua ini dirasa lebih sesuai dalam mengartikan hari raya ‘idul fithri’. Oleh karenanya, idul fithri bukan bermakna ‘kembali dalam keadaan suci (Islam)’, melainkan ‘kembali berbuka’ karena perayaan hari raya idul fithri sendiri yang berada di akhir bulan Ramadhan; sebagai penanda bulan puasa telah berakhir.

Baca juga:  Khutbah Idul Fitri 1441 H: Reuni di Surga Bersama Keluarga

Walaupun begitu, hemat penulis tak mengapa bila makna fitri dipahami sebagai fitrah karena masih ada kesamaan makna dalam literatur bahasa Arab. Tergantung nanti adanya latar belakang yang berlaku. Maka menetapkan arti yang pas tak terlepas dari konteks yang dimaksud.

Puasa: Jalan Kembalinya Ummat Manusia

Dalam kitab Minhaj al-Muslim karangan Syeikh Abu Bakr Jābir al-Jazāiriy, menyebutkan pengertian Shawm (puasa) secara etimologis (kebahasaan) sebagai al-Imsāk (menahan). Sedangkan secara terminologi (syar’an), puasa berarti al-Imsāk bi niyyati al-Ta’abudi ‘an al-Akli wa al-Syurbi wa gisyyān al-Nisā’, wa sāiri al-Mufthirāt min thulū’i al-Fajr ilā ghurūb al-Syams (menahan dengan niat beribadah kepada Allah ta’ala dari makan, minum, bersenggama dengan wanita, dan seluruh hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari).

Setelah melihat pengertian di atas, sebenarnya syariat ibadah puasa tidak hanya melingkupi dari menahan dahaga haus maupun lapar keroncongan. Ada nafsu-nafsu hayawani dalam tubuh manusia yang juga harus ditahan. Seperti nafsu seks kepada pasangan. Atau nafsu amarah, berkata kotor, menggunjing saudara, hingga menyebarkan berita hoaks. Semua adalah bentuk penjagaan diri untuk tidak jatuh ke dalam tabiat kebinatangan.

Di sinilah esensi berpuasa terpendam. Dengan menjaga manusia -khususnya ummat Islam yang menjalankan- dari tabiat kebinatangan, maka puasa dapat menjaga manusia dari hakikat aslinya. Sebagai hamba yang dilahirkan ke dunia ini dengan papa. Setelah apa yang dilakukan manusia –tak terkecuali ummat Islam di dalmnya- telah melampauhi batasan-batasannya.

Dalam hal ini, Allah swt telah menjelaskan keruskan-kerusakan diakibatkan ulah sikap manusia. “Zhahara al-Fasāda fī al-Barri wa al-Bahri bimā kasabat aydi al-Nās li yudzīqa hum ba’dha ‘amilū la’alla hum yarji’ūn ”. Yang artinya: “Telah jelas kerusakan di daratan maupun di lautan disebabkan ulah tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Qs. Al-Rūm: 41).

Manusia saat ini tak menyangka, apa yang selama ini diperbuat adalah kerusakan, kerusakan, dan kerusakan. Selama ini, manusia mengira bahwa apa yang mereka lakukan di atas muka bumi ini adalah bentuk islah (perbaikan). Hal tersebut tercermin dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat kesebelas yang berbunyi “Wa idza qīla lahum lā tufsidū fī al-Ardhi qālu innama nahnu muslihūn * alā innahum hum al-Mufsidūna wa lakin lā yasy’urūn” (Dan apabila dikatakan kepada mereka “jangalah kalian melakukan kerusakan di muka bumi” mereka berkata “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang melakukan perbaikan” * Ingatlah sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang melakukan kerusakan dan akan tetapi mereka tidak menyadarinya).

Belajar dari Pandemi

Di saat ummat Islam sedang khusyuk-khusyuknya menjalankan ibadah puasa, rupanya tak cukup sampai di situ Allah swt menguji keimanan ummat Islam. Pada tahun ini, tidak ada yang menduga bahwa Allah swt menurunkan makhluk-Nya yang tak kasat mata sebagai batu loncatan ummat Islam dalam menjalani bulan Ramadhan di tahun ini. Makhluk tersebut bernama Covid-19 atau yang akrab di sapa sebagai virus Corona. Virus ini sudah menjadi wabah internasional, sampai-sampai WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa wabah virus covid-19 ini layak disebut pandemi global.

Baca juga:  Agama, Sains, dan Mimpi-mimpi Liar Umat Manusia

Terlepas dari keganasan virus ini, rupanya Allah swt selipkan hikmah di dalamnya. Dimana penyebaran virus ini yang masuk di bulan Ramadhan. Tak henti-hentinya Allah swt mengajarkan manusia supaya ingat siapa dirinya yang sesungguhnya. Manusia dewasa ini sudah merasa telah menjadi “Tuhan” di dunia, harus takluk dengan makhluk mikroskopis yang nyaris tak bisa dilihat dengan telanjang mata. Sungguh, manusia dibuat ketar-ketir olehnya.

Tak ayal, manusia harus berpikir secara keras untuk menghentikan penyebaran virus ini yang sangat massif. Mulai dari skema Lock down hingga testing massal, semua diterapkan. Namun belum ada tanda-tanda virus ini akan menyudahi kengeriannya. Bahkan ada isu yang beredar bahwa pemerintah akan bertekuk lutut; berdamai dengan virus.

Virus covid-19 mengajari manusia akan kodrat yang sebenarnya. Bahwa manusia diciptakan dalam keadaan yang tidak memiliki apa-apa. Tak ada kuasa dan lemah tak berdaya guna. Semua adalah bentuk kelemahan pada diri manusia. Mungkin jika Allah swt tak menurunkan wabah ini kepada manusia, bisa jadi manusia tak sadar. Sembari mempertegas narasi di atas, berapa banyak kerusakan yang telah diperbuat manusia hingga saat ini ?. Tentu, pertanyaan ini bukan untuk dijawab. Karena pertanyaan ini adalah pertanyaan retoris, maka orang pandir saja yang mau menjawabnya.

Ada satu contoh kongkret virus ini mengajari manusia. Jika dihari-hari biasa, kota-kota besar seperti Jakarta dipenuhi dengan kendaraan ramai sesak di jalan. Maka tak ayal jika, kota metropolitan seperti Jakarta saja tergolong sebagai kota berpolusi akut. Kadar kekotoran di udara begitu tinggi. Akibatnya, banyak yang mengalami penyakit pernapasan. Ekosistem seakan timpang, di sebabkan tindakan manusia yang terlampau batas.

Berbeda 180 derajat ketika virus covid-19 datang ke muka bumi. Persis ketika PSBB (Pembatas Sosial Berskala Besar) resmi diberlakukan. Jalanan menjadi senggang, kendaraan tak banyak lalu lalang. Maka bukan barang mustahil jika polusi semakin berkurang. Kualitas udara semakin membaik. Lingkungan kembali sehat. Melihat gambaran kotradiksi semacam ini, maka nalar kritis netizen mulai mencuat. Apakah manusia adalah virus yang sebenarnya di muka bumi ini?.

Saatnya Mengingat Daratan

Idul Fitri sebagai puncak ibadah puasa, adalah bentuk pengejawantahkan latihan ‘mengingat daratan’. Manusia yang semula telah terbang tinggi di atas langit, yang lupa dimana dirinya berpijak. Takabbur dan merasa ‘paling’ sendiri yang sudah menyatu dalam kebiasaan. Sudah saatnya untuk kembali menginsyafi diri sebagai makhluk yang hina dan bergantung kepada Zat yang adidaya dan lebih berkuasa daripadanya.

Mengenai sifat sombong pada diri manusia, Allah ta’ala telah memperingatkan sifat tercela tersebut dalam Al-Qur’an surah Luqman ayat delapan belas. “Wa lā tusha’ir khaddaka li al-Nās wa lā tamsyi fī al-Ardh marakhā inna Allah lā yukhibbu kulla mukhtālin fakhūr”. Artinya berbunyi “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan akuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

‘Alā kulli hāl, Ramadhan kali ini amatlah mengena di hati mereka yang bergelar Ūli al-Albāb (orang yang dapat mengambil pelajaran). Mengapa? Singkatnya seperti ini. Puasa sebulan penuh, idealnya telah mengajari manusia arti kepayahan. Tidak makan dan tidak minum adalah manifestasi dari kesengsaraan mereka, al-Masākīn wa al-Fuqārā’. Dan dengan berpuasa, ummat Islam diajarkan untuk merasakan penderitaan kaum yang ‘termarginalkan’ secara sistem maupun kebudayaan. Istilah kerennya ‘Manunggaling Ing Rasa’ (menyatu dalam rasa keprihatinan).

Selain itu, dimensi berpuasa tidak sekedar menahan makan dan minum. Ada nafsu-nafsu duniawi lagi hayawani yang dijeruji di saat bulan Ramadhan. Emosi berlebihan, suka mengaduh, nggosipin tetangga, berdusta, dan masih banyak lagi. Semua dicegah dengan berpuasa supaya manusia dapat menjadi insan hakiki sepenuhnya. Merasa seperti terlahir ke dunia ini sesuai fitrahnya.

Baca juga:  Axelle Despiegelaere dan Hipokrisi Humanisme Barat

Tidak hanya itu, Allah jalla wa ‘ala menurunkan satu makhluknya untuk membersamai ibadah puasa. Virus covid-19 adalah bentuk kelemahan manusia dihadapan Sang Penciptanya. Dan disinilah ujian yang sebenarnya. Bagi mereka yang sedari awal skeptis terhadap Sang Pencipta, wabah covid-19 menurut mereka adalah bentuk ketiadaan Sang Maha Kuasa. Bagi mereka jika Tuhan benar-benar ada, bukan hak-Nya untuk menimpali manusia sebuah wabah yang menyengsarakan manusia. Alhasil, hati mereka pun bertetapan ingkar atas iradat dan wujud Tuhan yang benar.

Lain padang, lain ilalang. Berbeda halnya dengan mereka yang memiliki iman. Walaupun lemah, cukup kemelaratan berpuasa dan wabah covid-19 menjadi pengingat atas ke-daif-an manusia. Mereka yang ingat, lantas akan kembali ke jalan Tuhannya. Namun, bagi mereka yang berputus asa, Allah swt telah mengingatkannya.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (سورة الزمر: 53).

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Qs. Al-Zumar: 53).

Manusia yang cenderung selalu berhasrat lebih, seringkali melewati batasan yang telah Allah swt tetapkan. Merekalah yang termasuk dzālimun lī nafs (zalim terhadap diri sendiri). Berpulang adalah jalan yang harus ditempuh, bagi para pelampau batas. Maka sudah semestinya, momen Idul Fitri adalah jalan pertaubatan manusia –khususnya ummat Islam- untuk kembali menapaki jalan fitrahnya. Kembali untuk mengenali diri sendiri secara benar dan holistik. Tidak lagi tertipu daya dengan kegemilangan kelebihan yang dipunya. Karena sesungguhnya semua yang kita miliki saat ini di dunia adalah sebatas titipan-Nya. Dan kelak, semua yang kita pergunakan akan dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya.

WaAllahu a’lam bisshowab.[]

[1] Hadis lengkapnya berbunyi:

7488 – حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ الهَمْدَانِيُّ، عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَا فُلاَنُ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَقُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ، فَإِنَّكَ إِنْ مُتَّ فِي لَيْلَتِكَ مُتَّ عَلَى الفِطْرَةِ، وَإِنْ أَصْبَحْتَ أَصَبْتَ أَجْرًا ”  (رواه البخاري).

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Musadad telah menceritakan kepada kami Abu al-Akhwash telah menceritakan kepada kami Ishaq al-Hamdaniy dari al-Barra’ ibn ‘Azib berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Fulan, apabila kamu mendatangi kasurmu (hendak tidur) maka bacalah doa “allahumma aslamtu nafsī ilayka, wa wajahtu wajhī ilayka, wa fawwadhtu amrī ilayka, wa alja’tu zhahrī ilayka, raghbatan wa rahbatan ilayka, lā malja’a wa lā manjā minka, āmantu bi kitābika alladzī anzalta, wa nabiyyika alladzī arsalta” Maka jika engkau mati pada malam tersebut, engkau mati dalam keadaan fitrah, dan jika engkau mendapati waktu pagi, engkau mendapatkan pahala. (HR. Bukhari no. 7488).

Muhammad Azzam Al Faruq

Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019. Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar