Santri Cendekia
Home » Kesehatan Wanita: Titik Temu Feminisme dengan Islam?

Kesehatan Wanita: Titik Temu Feminisme dengan Islam?

Wabah corona tidak menyurutkan perbincangan isu-isu perempuan dan anak. Aktivis perempuan dan anak mengingatkan pemerintah serta masyarakat untuk tetap memperhatikan pemenuhan hak anak termasuk melindungi mereka dari penyakit serta gizi buruk (stunting). Pemenuhan hak gizi ini dimulai sejak dalam kandungan yang berimplikasi juga terhadap problem lainnya yaitu penekanan laju Angka Kematian Ibu dan Anak.

Isu-isu tersebut menjadi perhatian bersama yang terus dipantau dalam kondisi wabah seperti sekarang ini. kesamaan isu tersebut bisa kita sebut kalimatun sawa dengan berbagai motifnya. Kalimatun sawa disinggung dalam ayat al qur’an di bawah ini;

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekuktukanNya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “saksikanlah bahwa kami adalah orang Muslim (QS Ali Imran : 64)

Kalimatun sawa, istilah ini memungkinkan untuk menjadi titik temu dari pluralitas antar agama, negara, budaya dan lainnya. Kalimatun sawa bisa diibaratkan sebagai sebuah jalan besar bagi muslim untuk menjalankakan misi Islam rahmatan lil ‘alamiin. Selayaknya jalan di Indonesia yang seringkali mengalami kemacetan dan tersesat, kita (muslim) perlu panduan agar tetap selamat dalam menjalankan misi hingga akhir kelak.

Panduan itu ialah Worldview. Islamic Worldview yang bersandar pada sumber primer umat islam : Al Qur’an dan as-Sunnah yang penjelasannya kita gali dari ulama/ilmuwan muslim otoritatif. Pada akhir ayat tersebut dipertegas untuk bersaksi bahwa kita adalah muslim. Saksi bermakna melihat realitas kalimatun sawa dalam pandangan Islam. Jadi, meskipun terlihat sama atas kalimatun sawa yang disepakati, tapi tetap ada perbedaan mendasar yang kita sepakat untuk tidak sepakat.

Kalimatun sawa antar negara di dunia tertuang dalam konsesus kesepakatan Sustainable Development Goals dengan 17 tujuan yang saling berhubungan satu sama lain. Indonesia yang merupakan negara mayoritas muslim turut serta dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan tersebut.

Sebenarnya, jika kita ingin bersaksi dengan identitas muslim kita dalam melihat makna pembangunan itu sendiri, sudah bermasalah sejak dari tataran konsepnya. Tapi, berlapang dadalah kita dalam kerja-kerja kemanusiaan sembari berusaha memberi tawaran konstruksi pandangan kita sebagai muslim dalam melaksanakan tujuan SDGs tersebut dalam bingkai keislaman.

Saya sebagai muslim sekaligus perempuan, calon ibu (insya Allah) dan profesional kesehatan ingin menyoroti permasalahan dimana tiga hal tersebut saling berkelindan. Perempuan, kesehatan dan anak terangkum dalam tujuan SDGs ke-3 yang berbunyi: “memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk seluruh usia”.

Tujuan tersebut memiliki penjabaran 9 poin, dimana 2 poin awal ialah “Pada tahun 2030, mengurangi rasio angka kematian ibu menjadi kurang dari 70 per 100.000 kelahiran dan mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan balita, dimana setiap negara menargetkan untuk mengurangi kematian neonatal setidaknya menjadi kurang dari 12 per 1000 kelahiran dan kematian balita menjadi serendah 25 per 1000 kelahiran.”

Sebelum saya membahas kondisi Angka Kematian Ibu dan Anak (AKIA) di Indonesia, saya ingin kembali mengingatkan bahwa dalam sebuah redaksi hadits disebutkan nikmat sehat ini seringkali dilalaikan oleh manusia. Nikmat sehat ini bukan semata-mata untuk produktif demi loyalitas pembangunan negara yang sangatt materialistis dan memperlihatkan sisi Homo Economicusnya, tetapi produktivitas manusia sebagai khalifah fil ardh dipersembahkan untuk loyalitas tertinggi kita ialah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT dalam makna yang luas.

Selain itu, ikhtiar kita dalam menekan AKIA juga hendaknya diniatkan sebagai manifestasi QS Al Ma’idah ayat 32: Lalu bagaimana kondisi negara mayoritas muslim yaitu Indonesia dalam ‘memelihara kehidupan seorang manusia’ yang konteksnya Angka Kematian Ibu dan Anak ?

Angka kematian ibu di Indonesia mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 dan angka kematian bayi mencapai 15 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2017. Dengan data tersebut, Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan jumlah kematian ibu dan neonatal tertinggi.

Banyak orang mengira bahwa angka kematian ibu terjadi pada fase melahirkan, padahal studi tindak lanjut sensus penduduk 2010 menunjukan bahwa angka kematian tertinggi ada pada fase pasca melahirkan sebesar 57%, sedangkan angka kematian ibu pada masa kehamilan sebanyak 22% dan meninggal pada masa persalinan sebesar 15% dari total kematian ibu dalam satu tahun.

Baca juga:  Ade Armando dan Kualitas Ibadah Haji

Ketika menyoal isu apapun yang menyangkut hajat perempuan, teman-teman feminis dengan berbagai alirannya tidak pernah luput dalam membangun narasi budaya patriarki dan ketimpangan gender sebagai sebab primer dari setiap permasalahan termasuk tingginya angka kematian ibu dan anak. Analisis mereka yang mengamini ketidaksetaraan gender dalam kesehatan terjadi ketika ada pembatasan otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan, yang mempengaruhi akses mereka terhadap layanan kesehatan. Keputusan tentang hak reproduksinya sendiri, seperti menggunakan kontrasepsi atau menentukan untuk menunda mempunyai anak lagi, masih didominasi para suami, sekali pun istri yang baginya akan menderita segala risiko kehamilan.

Apapun alirannya, telunjuk feminis tetap tertuju mengambinghitamkan sistem patriarki tanpa berpikir lebih radikal lagi. Bagi mereka, Sistem patriarkilah yang membuat perempuan tidak berdaya untuk memutuskan apa yang terbaik untuk kesehatan mereka, bahkan mungkin akan merugikan kesehatan mereka. Perempuan didorong untuk menerima berbagai tanggung jawab sebagai kewajiban dan bukan sebagai hak fundamental mereka.

Konsep kesehatan reproduksi wanita mulai berdengung ramai ketika disahkan dalam ICPD tahun 1994 di Kairo. Mesikpun disahkan di Kairo yang identik dengan negara mayoritas Muslim, tapi tidak serta merta membuat kita menganggap itu compatible dengan konsep dasar Islam tanpa perlu dikritisi.

Jika kita membacanya menggunakan mata hati bukan hanya mata inderawi, maka kita akan semakin menegaskan bahwa worldview yang digunakan dalam konsep kesehatan reproduksi mengacu pada Barat. Konsep kesehatan reproduksi tersebut menekankan pada kebebasan penuh wanita untuk mengatur berbagai persoalan terkait kesehatan reproduksinya tanpa campur tangan pihak lain, termasuk campur tangan Tuhan (Allah).

Hal ini menegaskan bagaimana definisi kesehatan reproduksi yang ditetapkan tidak mengakui sama sekali unsur pernikahan, atau kehalalan dalam melakukan hubungan seksual. Titik acuan bahwa hak otonomi wanita harus didahulukan dibanding alasan apapun berkesesuaian dengan pandangan yang dimiliki oleh kelompok feminis liberal.

Konsep dasar kebebasan yang mereka (feminis liberal) gunakan sebenarnya sudah problematis. Kebebasan seringkali disepadankan dengan kata ikhtiar. Asal katanya khayr (baik). Satu kata saja sudah memiliki implikasi logis yang cukup panjang dan berbeda sejak dari tataran konsep yang mengandung nilai-nilai keyakinan dasar.

Semua aliran feminis terlibat dalam penyusunan konsep kesehatan reproduksi ini. Tapi peletak dasar hukum agar persamaan hak antara pria dan wanita dapat terjamin pelaksanaannya dibawa oleh geng feminis liberal.

feminis liberal adalah golongan yang terjun di dunia politik dengan tujuan perubahan undang-undang dan hukum. Golongan feminis liberal adalah golongan yang paling dominan dan menjadi dasar teori modernisasi dan pembangunan. Meskipun golongan yang paling dominan, tapi ia juga dibantu pengumpulan data-data lapangan oleh saudara-saudaranya dari aliran feminis lainnya.

Acuh terhadap nilai agama yang berujung pada dekontruksi syari’at dan menegasikan realitas Tuhan (Allah) telah terjadi semenjak penetapan definisi kesehatan reproduksi dalam ICPD, titik tekannya berada pada hak wanita untuk mengontrol kehidupan seksual dan reproduksi, hak bebas dari diskriminasi, dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi.

Sejak itu, definisi tersebut dijadikan acuan mengenai berbagai persoalan kesehatan reproduksi di seluruh dunia. Pragmatis, dan lain sebagainya. Perbedaan worldview ini yang kemudian membawa CEDAW kepada solusi-solusi pragmatis dari persoalan tingginya AKI/AKB.

Pembahasan mengenai persoalan kematian ibu termaktub dalam pasal 12.1 International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights (1966), yang menyebutkan bahwa kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas, sangat penting dalam pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak asasi yang wajib dipenuhi. Secara singkat jika kita memandang pengembangan potensi pembangunan berdasarkan pemenuhan kesehatan reproduksi dan seksualitas, maka sesungguhnya kita masih berada pada tataran nafs al-hayawaniyah.

Islam bukan menegasikan pentingnya kesehatan reproduksi tapi haruslah dipandu dengan nafs an-natiqah agar tidak terjadi kezhaliman terhadap diri sendiri maupun orang lain. Nafs yang merupakan entitas inti dari diri manusia juga satu kesatuan dengan Aql, Qalb, Ruh yang kesemuanya harus digunakan dengan optimal agar terwujud kemajuan yang hakiki sesuai dengan yang Islam inginkan.

Dengan memahami bahwa setiap insan laki-laki atau pun perempuan merupakan nafs an-natiqah maka ia akan memahami hakikat dirinya dalam menunaikan hak dan kewajibannya sebagai laki-laki ketika berperan sebagai suami/ayah.

Konsep kesehatan reproduksi wanita dalam CEDAW berangkat dari worldview Barat modern yang digunakan dalam menganalisasi tingginya AKI/AKB. Islam sebagai bangunan worldview, terdiri dari bangunan-bangunan konsep, seperti konsep Tuhan, konsep manusia, konsep alam, konsep wahyu, konsep Nabi, konsep Ilmu, konsep Agama, konsep Syariat, dan lain-lain tentunya mampu memberi tawaran yang lebih komprehensif dan tawhidi. Inferioritas kita dalam memandang Barat, bisa jadi disebabkan keengganan kita menggali mutiara khazanah para ulama yang membahas topik tersebut.

Baca juga:  Atom dan Aksiden dalam Renungan al-Ghazali

Reproduksi adalah salah satu potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, sebagaimana dianugerahkan pula kepada makhluk hidup yang lain. Al-Qur`an, surah an-Nisa’ ayat pertama:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. [QS. AN-Nisā’: 1]

Dari satu ayat di atas saja kita bisa memahami bahwa pembahasan mengenai fungsi reproduksi ini diawali dengan seruan luhur umat manusia untuk bertakwa kepada Allah.

Kalangan feminis mengklaim bahwa program-program kesehatan ibu selama ini terkesan terlalu “feminin”. Berfokus pada peran perempuan dan kurang melibatkan kaum laki-laki dalam setiap upaya promosi dan edukasi tentang kesehatan ibu dan bayinya. Sebuah studi juga menyebutkan pengetahuan, sikap dan perilaku suami secara signfikan mempengaruhi kesehatan istri mereka. Kemampuan perempuan untuk dapat memutuskan hal yang berkaitan dengan hak reproduksi sangat dipengaruhi oleh sikap suami dan keluarga mereka.

Dari ayat di atas dapat diambil setidaknya dua nilai tentang reproduksi manusia. Pertama, ajaran bahwa reproduksi manusia merupakan satu dari tiga cara Allah dalam menciptakan manusia. Pembahasan kesehatan reproduksi dalam islam berbeda dengan barat. Dalam hal ini kita sudah bisa menilai bahwa sekalipun kalimatun sawa pada kerja-kerja dakwah lapangan memiliki kemiripan dengan feminis yaitu ‘kesehatan reproduksi’ tapi seharusnya kita tidak pernah melepaskan pembahasan konsep dasar kita ; Tuhan, Manusia, alam dan lainnya. Kedua, reproduksi dalam konteks ini merupakan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh yang dibekali dengan berbagai modal Aql, Qalb, Ruh, Nafs. Sebuah tugas kemanusiaan yang melilbatkan tiga elemen : Allah, suami dan istri.

Meskipun proses reproduksi umat manusia tidak bisa terlaksana tanpa keterlibatan suami istri secara bersama, tapi istrilah yang Allah berikan kelebihan kepada istri dalam peranan amanah rahim dalam fungsi reproduksi tersebut dan sebagian besar organ-organ reproduksi lainnya.

Al-Qur`an menggambarkan bagaimana beratnya tugas kemanusiaan ini dalan surah al-Ahqaf, ayat 14, sebagai berikut:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. [QS. Al-Ahqāf: 14]

Dalam ayat lain bahkan tugas ini disebut sebagai tugas berat di atas berat:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. [QS. Luqmān: 14]

Karena tugas yang sangat berat itulah Rasulullah dalam banyak sabdanya mengangkat derajat ibu (istri). jika kemudian kenyataannya posisi ibu (istri) menjadi tertindas di hadapan suami, itu bukan kesalahan ajaran, melainkan kesalahan memahami ajaran dan yang merasa paling punya otoritas terhadap ajaran. Tertindas di hadapan suami yang seringkali dijadikan legitimasi feminis untuk melanggenkan narasi budaya patriarki.

Ketertindasan itu sebuah realita, tapi untuk menuju titik ideal kehidupan bukanlah dengan menggunakan kacamata feminis. Tapi, Iqra’ bismirrabika. Bacalah realitas dengan menyebut nama TuhanMu. Bismirabbikalladzi khalaq. Tuhan yang menciptakanmu. Bukan tuhan-tuhan semu lainnya. Bukan juga menggunakan kacamata mereka yang tidak bertuhan dalam memandang realitas permasalahan. Akhirnya, demi kemaslahatan umat manusia perempuan sebagai pengemban utama tugas reproduksi harus mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan, jaminan kesejahtraan, dan jaminan ikut mengambil bagian dalam menentukan proses-proses reproduksi..

Memang benar bahwa proses reproduksi yang paling utama adalah mengandung, melahirkan, dan menyusui, sebagaimana tercantum dalam kedua ayat di atas. Namun bila dicemati, sesungguhnya, proses reproduksi bagi perempuan yang perlu mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan adalah mulai dari menstruasi, memilih dan menentukan pasangan, hubungan seks, mengandung, melahirkan, nifas, menyusui, dan merawat anak. Jaminan ini sebenarnya telah diberikan oleh fikih Islam, Ketika perempuan sedang menstruasi dan nifas, misalnya, mereka diberi cuti reproduksi –meminjam istilah Masdar- seperti cuti salat, cuti puasa, dan lain-lain demi menjaga kondisi kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. [as-Syarbini al-Khatib, al-Iqna`, vol. I, hlm. 87] Jaminan-jaminan tersebut terlindungi dalam nafkah lahir bathin dari seorang pemimpin keluarga maupun pemimpin masyarakat.

Baca juga:  Pandangan Edward Said tentang Orientalisme (Bagian I)

Kembali pada Surat Annisa ayat 1 tadi yang mengisyaratkan bahwa ketika umat manusia menjalankan fungsi reproduksinya dalam bingkai syari’at tidak bisa dilepaskan dari unsur ketakwaan kepada Allah. Jika diurai lebih radikal lagi, Angka Kematian Ibu dan Anak yang dihubungkan dengan kegagalan dalam menjaga kesehatan reproduksi dalam konteks ketakwaan tersebut diakibatkan karena lalainya dari sikap adil.

“wahai orang-orang yang beriman ! jadilah kamu sebagai penegak keadilan, karena Allah, ketika menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” [QS Al Ma’idah ayat 8]

Adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan ketika sudah mampu berlaku adil itulah yang disebut beradab. Keadilan itu dapat terwujud dengan dilandasi ilmu. Mengenai makna keadilan, ilmu dan adab,  Prof Naquib Al Attas dalam bukunya Risalah Untuk Kaum Muslim menuliskan :

“Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu; dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya. Dan adab terhadap ilmu itu iaitu mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang terencana pada ilmu, nescaya dapat menghasilkan dalam diri pencapaian yang seksama terhadap meramukan, menurut taraf keperluannya, pelbagai macam ilmu yang membina keadilan dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan haknya pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta pengakuan akan ilmu yang bersumberkan wahyu, yang menyesuai hak diri jua, dan yang dengannya dapat menjelmakan akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya dunia akhirat.”

Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa semua bentuk ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah adalah buah dari ilmu. Takwa adalah puncak ketika islam, iman dan ihsan sudah menjadi satu kesatuan yang utuh dalam jiwa manusia.

Dengan berbagai uraian tersebut, maka seharusnya upaya preventif utama dalam menangani kasus tingginya Angka Kematian Ibu dan Anak ini bukanlah dengan pendidikan tentang kesetaraan gender dan hak reproduksi yang dilaksanakan sejak usia dini dalam keluarga, dan masuk dalam kurikulum pendidikan formal seperti yang disarankan dalam forum Evidence Summit bulan Maret tahun lalu. Bukan pula dengan solusi pragmatis legalisasi aborsi. Tapi, seharusnya yang diajarkan sejak usia dini dan kurikulum pendidikan formal adalah proses penanaman adab (ta’dib) yang berdasarkan fitrah-fitrah dasar manusia, terutama fitrah keimanan yang menjadi fondasi dasarnya. Fitrah yang tumbuh dan berkembang dengan baik akan memudahkan kita bersikap adil dalam setiap laku kehidupan termasuk kehidupan berkeluarga.

Menekan angka kematian ibu dan anak dapat terwujud dalam bingkai keluarga sakinah. keluarga sakinah tidak akan berdiri tegak tanpa dilandasi ilmu. Maka, pesan yang mendalam untuk kita generasi muda untuk membekali diri dengan ilmu yang benar dan baik dalam membangun keluarga. Salam ta’zhim untuk seluruh pegiat dakwah keluarga yang begitu terlihat massif sekali dalam sekolah-sekolah pra-nikah dengan berbagai materinya yang ciamik wa bil khusus untuk ‘rumah besar’ persyarikatan ini, Ibunda Aisyiyah dengan Program MAMPU salah satunya Balai Sakinah Aisyiyah dan Rumah Gizi.

Think thank Muhammadiyah a.k.a Majelis Tarjih juga menaruh perhatian penuh terhadap isu-isu perempuan dengan pembahasan yang mendalam tertuang dalam berbagai produk pemikiran berupa fatwa, putusan dan lainnya. Isu-isu perempuan dan kesehatan yang diangkat oleh Majelis Tarjih juga terbingkai dalam perspektif Bioetik Islam berani head to head dengan perspektif Bioetik Barat. Maqashid syari’ah yang menjadi acuan dalam bioetik kesehatan Islam juga sangat menarik untuk kita pahami secara mendalam.

Terakhir, jangan merasa inferior di hadapan Barat. Barangkali jika perasaan minder itu masih tertanam kuat dalam jiwa disebabkan keengganan kita menggali kesempurnaan diinul islam ini dengan berbagai konsepnya yang sangat kokoh untuk membangun peradaban terbaik. Perlukah mendaku diri mendaku diri sebagai feminis muslim? identitas Muslimah itu lebih dari cukup.

*Alumni Universitas Aisyiyah Yogyakarta 

Mina Rizqina

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar