Santri Cendekia
Home » Mengapa Orang Pandai pun Bisa Keselek Klepon?

Mengapa Orang Pandai pun Bisa Keselek Klepon?

Beberapa orang berpenddikan tinggi ternyata termasuk yang keselek isu klepon. Ada apa ini?

Jadi tidak perlu saya ceritakan panjang-panjang soal kelpon itu ya. Kronologi kejadiannya sudah diketahui semua. Apa yang membuat isu ini begitu konyol sepertinya juga sudah mafhum. Atau belum? Baiklah. Awalnya yang membuatnya begitu aneh bin konyol adalah isi dari gambar itu sendiri; klepon vs kurma, toko yang ngiklan tapi tidak memasang alamat tokonya, dan seterusnya. Belakangan, satu hal yang paling lucu menurut saya adalah, justru bocah-bocah wibu shitposter yang bisa kritis pada poster itu, sedangkan beberapa pi eij di jebolah kampus-kampus terhormat malah memakan klepon itu mentah-mentah.

Padahal, tampaknya kue klepon ini hanyalah hidangan terbaru (dan sepertinya bukan yang terakhir) dari rangkaian menu outrage news yang tersaji di linimasa kita. Santricendek pernah menurunkan dua artikel terkait eksploitasi kemarahan dan outrage addiction. Dua fenomena yang bisa dikatakan komponen penting dalam mengukus hoax atau misinformasi yang enak dan digemari banyak orang.

Jadi beigni, sebagai efek dari begitu cepatnya informasi datang dan pergi. Kita jadi matirasa pada nuansa kebaruan (new) dari  berita (news) yang dalam media tradisional merupakan bumbu yang membaut sebuah informasi menggairahkan untuk dicerna. Maka saat ini, sensasi yang menggantikan gairah itu adalah sensasi menjadi pihak yang benar sedangkan seseorang yang lain ada di posisi moral yang lebih rendah.

Kita menunggu seseorang viral karena kebodohan, kejahatan, ucapan kontroversial, dan hal-hal buruk lainnya agar kita bisa ber-outrage ria. Dalam kasus bakul korma anti-klepon ini, tentu syaraf kemarahan yang dirangsangnya adalah yang paling cepat mleduk di Indonesia ini; agama dan nasionalisme. Ia secara eksplisit anti-pangan lokal yang tentu memancing kemarahan kaum nasionalis. Wajarlah, mereka ini nasionalis dan aktivis pangan lokal. Pastinya, selama ini mereka sudah marah-marah sebab kebijakan ekspor-impor pangan kita terbukti menyusahkan petani kecil. Pastinya.

Ditambah lagi, ia menolak klepon sebab menganggapnya tidak Islami! Sebagai alternatif dia menjual korma! Gila. Di sini saja ada tiga dosa besar yang tentu akan membuat sobat open-minded akan marah-marah sembari bersarkas-sarkas ria. Saya kira bagian inilah yang membuat banyak orang tiba-tiba mengalami PTSD teringat pada buasnya onta dan kadal gurun.

Baca juga:  Politik Citra dalam Pertempuran Israel dan Palestina

Mereka-mereka yang terprovokasi pun banyak yang terburu-buru menanggapinya. Namun sebagai orang-orang open-minded, kiranya mereka sudah merevisi tesis mereka setelah direview oleh superhero persosmedan kita, Pak Ismail Fahmi lewat ajian Drone Empritnya. Intinya, itu poster tidak jelas darimana mau kemana. Purbasangka banyak orang yang awalnya marah-marah kepada segala spesies kadal dan onta ternyata harus mereka telan bulat-bulat. No pun intended.

Tentu bisa ditebak, fenomena yang kiranya sudah berulang berkali-kali ini tidak ada bagus-bagusnya bagi kita. Hal paling merugikan adalah kehilangan daya kritis dan ketenangan menalar. Tidak main-main, tensensi outrage addiction pernah begitu menjamur di dunia permedsosan orang Amrik di musim pemilu yang lalu. Hasilnya, banyak yang terpengaruh dan memilih Trump.

Bagi umat Islam, saya kira inilah pentingnya memiliki fikih media sosial yang lebih komprehensif. Fikih media sosial tidaklah melulu soal saring sebelum sahring, atau tabayyun. Fikih Informasi yang digagas Majelis Tarjih Muhammadiyah membahas pula soal nilai komersial dari informasi. Saat ini, informasi adalah komiditas ekonomi, sehingga orang-orang akan mengeksploitasi sisi-sisi “tak rasional” kita agar info yang mereka jual bisa laku. Sisi-sisi ini adalah kecendrungan untuk empati, bersedih, mengutuk sambil ngamuk dan sejenisnya.

Namun ada satu prinsip bermedsos yang belum dicover oleh Fikih Inforamsi ala Muhammadiyah itu, padahal al-Qura’an sangat menekankannya, yakni mewaspadai lingkaran pertemanan dan informasi yang tersirkulasi di dalam lingkaran pertemanan kita itu (QS. Al-Zukhruf: 67/QS. Al-Furqon: 28).  Berada di dalam lingkaran pertemanan di medsos, bisa mempengaruhi apa yang dipikirkan dan bagaimana kita memikirkannya. Ibu Jose Van Dijk kontributor jurnal Social Media + Society dari Univ of Amsterdam menyebutnya sebagai salah satu social media logic. Yakni programability dan popularity.  Jadi meski awalnya media sosial diprogram oleh manusia, tapi pada akhirnya sosial media bisa memprogram para penggunanya.

Baca juga:  Tiga Perempuan Penyelamat Peradaban Islam

Karena kasus semacam ini sepertinya akan terus terulang, kiranya perlu untuk mengingat petuah seorang filsuf tanah Jawa, “Aku mundur alon-alon mergo sadar aku sopo”. Mari kita mundur pelan-pelan, melihat diri kita ini siapa; warganet yang rawan dimanipulasi berbagai isu. Perlu pula untuk memeriksa lebih dalam lagi; apa benar kita mau begitu outrage karena sebuah poster, membuatnya trending dan dibahas dimana-mana (terutama oleh media abal-abal penghamba klik kayak situs ini), padahal beberapa isu penting slip begitu saja?

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

1 komentar

Tinggalkan komentar