Santri Cendekia
Home » Keteladanan tentang Mawas Diri dan Tawadhu’ di Perang Mu’tah

Keteladanan tentang Mawas Diri dan Tawadhu’ di Perang Mu’tah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Perang Mu’tah itu memang cukup berat bagi muslimin. Bagaimana tidak, 3000 pasukan muslimin berhadapan dengan 200.000 pasukan romawi. Ketiga panglima perang yang ditugaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk memegang panji pun sudah gugur satu per satu. Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua sudah menjalankan tugas dengan baik sebagai panglima perang sekaligus sebagai seorang mukminin. Sahabat hanya bisa berlinang air mata mendengar penuturan kondisi di medan perang dari Rasulullah.

Ketika pemegang bendera terakhir, Abdullah bin Rawahah ra sudah tumbang dan menemui kesyahidan, dengan cepat seorang sahabat bernama Tsabit bin Arqam ra menuju bendera perang tersebut, lalu membawanya dengan tangan kanan dan mengangkatnya tinggi-tinggi di tengah pasukan islam agar barisan mereka tidak kacau balau, dan semangat pasukan tetap tinggi. Ia memacu kudanya dengan cepat menuju ke arah Khalid bin Walid ra sambil berkata, “ambillah panji ini wahai Abu Sulaiman!”.

Khalid yang merasa baru masuk islam merasa dirinya tidak layak memimpin pasukan yang di dalamnya terdapat orang-orang muhajirin dan anshor yang terlebih dahulu masuk islam darinya. “Tidak! aku tidak akan mengambil panjit itu darimu. Engkaulah yang lebih berhak karena engkau lebih tua, dan engkau juga mengikuti perang badar.”.

Tsabit menjawab, “ambillah! sebab engkau lebih ahli dalam peperangan daripada aku. Demi Allah, aku tidak mengambil panji ini kecuali untuk menyerahkannya kepadamu!” kemudian ia berseru kepada seluruh pasukan muslimin yang terdekat darinya, “Ya Muslimuun! Bersediakah kalian berperang di bawah kepemimpinan Khalid?”, mereka menjawab, “Setuju!”. Akhirnya Khalid mengambil panji itu dan memulai kisah besarnya sebagai seorang yang ber-laqab “Saifullah Al-Maslul” (Pedang Allah yang terhunus).

Baca juga:  Suatu Hari tentang Pragmatisme dan Politik Oligarkis-Aristokratis Bani Israil.

MasyaAllah, kita belajar sebuah keteladanan dari secuplik kisah indah di perang mu’tah ini. Sebuah keteladanan sikap mawas diri dan tawadhu dari Tsabit bin Arqam dan Khalid bin Walid. Sebuah sikap yang hampir hilang di tengah-tengah kita, karena hati yang sulit ikhlas berjuang di jalan Allah. Sikap mawas diri dan tawadhu’ hanya mungkin lahir dari orang-orang yang hatinya bersih dari kepentingan-kepentingan duniawi.

Khalid ikhlas berislam. Berislam tanpa ada hajat di hati ingin menjadi seorang yang memiliki pengaruh dan posisi tinggi di tengah-tengah muslimin. Sehingga ketika Tsabit datang membawa panji islam untuk diserahkan kepadanya, Khalid menolak. Khalid merasa tak pantas, karena ia baru masuk islam. Khalid merasa bahwa orang-orang yang ada disekitarnya jauh lebih mulia dan pantas ketimbang dirinya. Sedangkan hampir semua tahu, siapa Khalid dan bagaimana reputasinya. Nasabnya tinggi, karakternya mantap, Akalnya tajam, keahliannya di medan perang pun tidak ada yang meragukan. Bahkan kita ingat Rasulullah pun pernah menyebut-nyebut bahwa Khalid akan diberikan tempat yang utama ketika masuk islam. Namun Khalid tak peduli semua itu, Khalid hanya ingin berjihad dan menebus semua dosanya di masa lalu.

Lalu Tsabit, seorang ahli badar. Kita semua tahu bagaimana istimewanya ahli badar, hingga Allah menggambarkannya dengan singkat tapi mendalam dalam perkataan-Nya kepada ahli badar, “berbuatlah sesuka kalian! Karena sesungguhnya aku telah mengampuni kalian!”. Hingga bahkan jibril pun bercerita kepada Rasulullah, malaikat-malaikat yang berperang bersamanya di perang badar pun memiliki posisi yang mulia di tengah-tengah kumpulan malaikat di langit. Ditambah lagi usianya yang lebih tua dari Khalid. Tapi hal ini tak membuatnya merasa lebih dari Khalid. Tak membuatnya merasa lebih pantas untuk memegang panji muslimin. Yang Tsabit pikirkan hanya bagaimana muslimin mendapatkan panglima terbaik yang pantas memegang panji, demi kebaikan muslimin. “Aku tidak mengambil panji ini kecuali untuk memberikannya kepadamu!”, sebuah perkataan yang mengangkat jiwa Khalid dan menggambarkan betapa tulusnya Tsabit.

Baca juga:  Perbedaan Fatwa dan Ijtihad di antara Mujtahid Generasi Sahabat

Hendaknya kita tertampar mendengar kisah ini. Dimana sekarang ini, muslimin sulit bangkit karena kita sulit tulus dan ikhlas berjuang saling memberi ruang dan panggung kepada saudara-saudara seiman. Semua berkata ikhlas berjuang untuk Allah, namun hati begitu tamak ingin membangun panggung dan kisah masing-masing. Entah itu kisah individu, hingga kisah golongannya masing-masing. Kita tidak peduli dan tidak lagi mawas diri apakah kita memang punya kapasitas untuk berdiri di atas panggung atau tidak.

Hanya karena merasa paling tua, kita mantap mengajukan diri menjadi imam salat setiap saat. Tidak peduli di sekitar kita masih banyak orang-orang yang lebih baik bacaan salatnya dan lebih banyak hafalan Qur’annya. Hanya karena merasa memiliki titel yang lebih tinggi, kita enggan menerima ilmu dari orang lain yang bertitel rendah dari kita. Meski mereka lebih berilmu dari kita. Hanya karena merasa paling banyak berkontribusi untuk pembangunan masjid, kita ingin semua instruksi kita dilaksanakan DKM meski kita sama sekali tidak menguasai ilmu tentang mengurus masjid. Hanya karena modal sekolah di luar negeri, kita merasa paling berpikiran paling maju hingga berani melabrak syariat yang kita anggap kuno. Hanya karena memiliki ilmu lebih dibanding orang-orang, kita berani menjawab segala macam pertanyaan akan sesuatu yang tidak kita miliki ilmunya. Aduhai, kita memang tak tahu diri!

 

Allahu a’lam bishshawab

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar