Santri Cendekia
Home » Ketentuan Puasa dalam Mazhab Syafii dan Hambali

Ketentuan Puasa dalam Mazhab Syafii dan Hambali

Disclaimer: tulisan ini saya maksudkan sebagai bahan murajaah dari kajian bersama Syaikh Nur Fajri Romadhon. Kajian tersebut membahas tentang ketentuan-ketentuan puasa menurut pandangan Empat Mazhab. Karena kajian baru berjalan dua kali, yakni pada 1-2 Ramadan 1443 H/2-3 April 2022 M, maka di sini saya hanya akan merangkum ketentuan puasa menurut Mazhab Syafii dalam kitab Ghayah at-Taqrib karya Ahmad bin al-Husain Al-Syafii dan Mazhab Hambali dalam kitab Akhsharul Mukhtasharat karya Muhammad bin Badruddin Al-Hambaly.

Ketentuan Puasa dalam Mazhab Syafii

Syarat wajib puasa ada empat yaitu 1) Islam; 2) baligh; 3) berakal sehat; dan 4) mampu berpuasa. Adapun fardhu (rukun?) puasa ada empat yaitu 1) niat; 2) menahan diri dari makan dan minum; 4) jimak (hubungan intim); dan 4) sengaja muntah.

Hal-hal yang membatalkan puasa ada sepuluh yaitu 1) suatu benda yang sampai dengan sengaja ke dalam perut dan 2) kepala; 3) suntik ke salah satu dua jalan (kemaluan depan belakang); 4) muntah dengan sengaja; 5) hubungan intim (jimak/watik) secara sengaja di kemaluan perempuan; 6) keluar mani (sperma) sebab persentuhan; 7) haid; 8) nifas; 9) gila; dan 10) murtad.

Tiga hal yang disunnahkan dalam puasa yaitu 1) menyegerakan berbuka; 2) mengakhirkan makan sahur; dan 3) meninggalkan perkaatan buruk. Hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa yaitu hari raya idul fitri dan idul adha, dan hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah). Makruh hukumnya berpuasa pada hari di mana keberadaan hilal masih diragukan (29 Syakban), kecuali bila bertepatan dengan hari kebiasaan baginya (?).

Barangsiapa bersetubuh pada siang hari bulan Ramadan dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha’ dan membayar kafarat berupa memerdekakan budak mukmin. Jika tidak ada, wajib baginya berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, wajib baginya memberi makan kepada enam puluh orang miskin, untuk tiap orang satu mud (tarjih = 0,6 kg makanan pokok).

Baca juga:  Kontestasi Otoritas Keagamaan: Artis Hijrah vs Ulama

Jika orang yang memiliki utang puasa meninggal, maka wajib bayar puasanya dengan memberi makanan kepada orang miskin satu mud dari hartanya setiap kali meninggalkan puasa. Para sepuh yang tidak kuat berpuasa, boleh berbuka dan wajib baginya memberi makan kepada orang miskin untuk setiap meninggalkan puasa satu mud.

Perempuan hamil dan perempuan yang menyusui jika mereka merasa khawatir akan dirinya sendiri, boleh berbuka dan diwajibkan bagi keduanya untuk mengqadha. Jika keduanya khawatir akan terganggunya tumbuh kembang buah hatinya, maka boleh berbuka puasa dan wajib mengqadha’ serta membayar kafarat untuk tiap hari satu mud yaitu 1 1/3 rithl irak (berapa kg?). Orang sakit dan orang musafir yang bepergian jauh boleh keduanya berbuka dan harus mengqadha’.

Ketentuan Puasa dalam Mazhab Hambali

Wajib berpuasa jika: setiap muslim yang mukallaf dan mampu, melihat hilal bulan Ramadan walau dari satu orang saksi yang adil atau menggenapkan bulan sya’ban jadi 30 hari karena tertutupinya hilal baik oleh cuaca mendung maupun gunung atau selain keduanya. Apabila hilal terlihat pada siang hari, maka wajib puasa untuk esok harinya.

Apabila seseorang menjadi orang yang wajib puasa pada pertengahan hari (misalnya, seorang anak yang baru mimpi basah pada siang hari di bulan Ramadan), seorang musafir yang telah tiba di tempat tujuannya sebelum azan maghrib, dan seorang wanita haid yang keburu suci sebelum matahari terbenam, maka wajib bagi ketiga golongan ini agar mengikuti puasa hingga akhir dan wajib pula untuk mengqadhanya di kemudian hari.

Para sepuh dan orang sakit yang sulit sembuh boleh untuk tidak puasa, sebagai gantinya mereka harus memberi makan setiap hari kepada orang miskin. Disunahkan bagi orang yang sakit (sementara) dan orang yang sedang dalam perjalanan (sejauh dibolehkannya salat qashar) untuk tidak berpuasa, dan wajib mengqadha.

Baca juga:  Sekali lagi, Perempuan Haid tidak boleh Puasa!

Jika perempuan hamil dan perempuan yang sedang menyusui tidak berpuasa karena merasa khawatir akan dirinya sendiri, maka wajib mengqadha. Jika kekhawatirannya itu disertai juga dengan keadaan tumbuh kembang anaknya, maka selain mengqhada, orang yang memberi nafkah anak itu wajib memberi makan kepada orang miskin. Sementara orang yang pingsan dan gila sepanjang hari tidak sah puasanya, dan bila yang pingsan telah sadar, wajib baginya mengqadha.

Puasa wajib tidak sah bila tidak disertai dengan niat yang spesifik (mu’ayyanah) pada sebagian malam. Sementara puasa sunah boleh baru berniat di siang hari, selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

Hal-hal yang membatalkan puasa yaitu masuknya suatu benda ke dalam mulut atau lubang lain dalam tubuh seseorang—kecuali dubur, menelan dahak yang berada di mulut, berusaha muntah lalu muntah, mastrubasi, menyentuh pasangan (bukan kemaluannya) kemudian keluar sperma atau madzi, terus menerus memandangi pasangan kemudian keluar sperma, telah berniat membatalkan puasa, dibekam, membekam secara sengaja dan sadar dirinya sedang puasa.

Tidak membatalkan puasa jika memikirkan pasangan (tidak memandang) kemudian keluar sperma, tertelannya air wudhu ke dalam tenggorokan bekas kumur-kumur atau istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung)—meskipun cara wudhunya secara “dahsyat” dan lebih dari tiga kali.

Orang (laki-laki) yang bersetubuh pada siang hari di bulan Ramadan tanpa adanya udzur syabaq atau yang semisalnya, maka wajib baginya mengqadha dan membayar kafarat. Sementara bagi pasangan perempuannya, tidak ada kafarat dan hanya mengqadha, jika bersetubuhnya itu karena adanya udzur seperti sedang tidur, dipaksa pasangan, lupa, atau tidak tahu tentang hukum bersetubuh di bulan Ramadan. Adapun kafarat yang harus dibayar adalah memerdekakan budak, bila tidak ada wajib puasa selama dua bulan berturut-turut, bila tidak mampu wajib memberi makan kepada enam puluh orang miskin, bila tidak mampu maka batal kafaratnya alias tidak mengapa (rapopo).

Baca juga:  Puasa sebagai Latihan Lawan Oligarki

Makruh hukumnya bila mengumpulkan ludah lalu menelannya, mencicipi makanan, mengunyah ‘ilk yang tidak terurai namun bila ada rasanya maka batal, berciuman bagi orang yang mudah terpancing syahwatnya.

Haram hukumnya bila in dzanna inzilan, mengunyah ‘ilk yang terurai, berdusta, bergosip, mengadu domba, menghina, dan yang semisalnya dengan penekanan. Maksudnya di Ramadan perbuatan seperti berdusta, bergosip, mengadu domba, menghina dilarang lebih keras lagi.

Disunahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, mengucap apa-apa yang datang dari Nabi Saw ketika berbuka, dan menyegerakan qadha puasa secara langsung sebab haram hukumnya.

Begitulah ketentuan-ketentuan puasa dalam Mazhab Syafii dan Hambali. Kira-kira apa persamaan dan perbedaan di antara kedua mazhab ini?

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar