Santri Cendekia
Home » Ketika Seorang Santri Google Quasi-Wahabi Memimpin Yasinan-Tahlilan

Ketika Seorang Santri Google Quasi-Wahabi Memimpin Yasinan-Tahlilan

Terakhir kali ikut yasinan adalah dulu pas ikut kakak kelas di Makassar, dan waktu itu motivasi kami semacam pragmatisme transendental (jangan tanya artinya apa); kita cuma ke situ baca quran trus makan gratis, perbaikan gizi, dapat uang, dan jika beruntung bisa lirik-lirik cewek ABG yang juga melirik balik malu-malu? Tentu saja saya mau! Dari pengalaman ini, tentu bisa dimaklumi jika saya sama sekali tidak punya sedikit pun clue tentang tata cara dan run down yasinan – tahlilan yang baik.

Saya merasa baik-baik saja dengan itu, karena memang tidak ada niat memimpin yasinan atau tahlilan. Sampai akhirnya takdir memaksa saya melakukannya. Oh boy, takdir memang unik. Setelah TPA hari ini di Indonesian Islamic Community London, alias rumah kos-kosan di pinggiran London ini, jamaah meminta saya memimpin yasinan bagi kerabat yang meninggal. Tentu saya bingung, dan respon saya langsung to the point;

“Maaf bu, saya tidak tahu cara yasinan. Saya Wahabi”

Semua yang mendengar tertawa. Lucu ya, biasanya mengaku wahabi itu beresiko kena boikot, ini malah diketawain. Tapi respon mereka lebih lucu lagi ; Saya tetap dipersilakan memimpin. Padahal di antara mereka ada orang-orang yang lebih baik shalatnya, alumni pesantren dan bahkan ustadz. Aneh. Paling aneh adalah respon seorang ibu yang keliatannya periang ramah lagi murah senyum ;

“Mas, ilmu itu harus diamalkan lo.. jangan disimpan-simpan”

Wut? Saya baru saja bilang kalo saya ini wahabi dan nggak tau cara yasinan – tahlilan, malah disuruh ”mengamalkan ilmu”? Haha, menurut teori Peter McGwat (atau siapalah), inilah defenisi sebuah humor ; kontradiksi yang tak berbahaya, logika tak linear yang menyenangkan. Saya suka hidup di alam humor, dimana kontradiksi dan perbedaan malah menjadikan kita tertawa, maka saya pun menceburkan diri sekalian. Tugas memimpin yasinan saya ambil alih.

Baca juga:  Pikiran yang Berganti Kiblat

Untunglah di rak buku ada buku yasinan, saya baca sekilas dan lihat urut-urutan doanya. Kesimpulan saya dari pembacaan hermeneutis selama kurang dari dua menit itu ; oh, intinya baca surat yasin lalu mendoakan mayit. Ok, ini gampang, apalagi saya kenyang baru saja makan gratis. Maka, setelah salam, syukur, dan shalawat..

“Ehm, maaf bapak ibu, saya tidak tahu tata cara yasinan yang biasanya. Tapi kita berkumpul di sini untuk mengingat-ingat kematian dan mendoakan almarhumah.. siapa tadi bu?”

“Encum Kulsum bin Supeni”

“Itu perempuan kan?”

“Oh.. pake binti berarti ya..”

“Oiya, bu Encum Kulsum binti Supeni, kita akan mulai dengan mebaca al-Fatihah bersama lalu nanti dilanjut surat Yasin…”

Sore itu, terjadilah acara ”yasinan” secara literal; kami hanya menghatamkan surat Yasin dengan niat masing-masing. Saya sendiri berniat mendekatkan diri pada Allah, dan sebagai pembuka bagi doa yang kami ucap bersama-sama di akhir acara. Mungkin bagi yang lain itu diniatkan sebagai ”hadiah kiriman” bagi almarhumah; saya kira debat ini sudah deadlock. Masih ingat kasus Teuku Wisnu jaman dulu itu kan?

Setelahnya, saya senyum-senyum sendiri, mengingat bahwa beberapa minggu yang lalu saya juga diminta memimpin maulidan. Waktu itu acara maulidan kembali jadi literal saja ; kami mengingat-ingat Rasulullah, membaca shalawat bersama-sama. Heck, hari itu bahkan bukan hari maulid Nabi. Jamaah ibu-ibu hanya ingin mengekspresikan cinta mereka pada sang junjungan.

Nah, itulah sekelumit pengalaman saya memimpin yasinan dan tahlilan. Mungkin bagi banyak orang itu biasa saja, bagian dari tradisi dan amalan mereka. Tapi tidak bagi saya sebagai santri google tanpa sanad yang quasi-wahabi, karena juga belum khatam buku-buku akidah karangan Syaikh Ibnu Abdil Wahhab, dan sering mengantuk di pelajaran akidah. Ini pengalaman yang unik bagi saya. Dan jika ada yang kurang berkenan, ya gimana lagi, sudah terjadi. Mohon dimaafkan.

Baca juga:  Rihlah Ilmiah Syaikh Yusuf al-Makassari dan Dedikasinya Terhadap Islam (2)

Saya tahu, ini cerita yang jayus dan membosankan… so, dari pada itu, ada hal urgen yang ingin saya sampaikan. Komunitas  Muslim Indonesia  di London sekarang sedang kesulitan dana, mereka sudah 20 tahun lebih memimpikan mendirikan Masjid Indonesia di London ini, dan belum jua terwujud. Tentu ini kesempatan ladang amal buat anda. Jika ingin kegiatan ibu-ibu pengajian IIC London tetap hidup, jika anda senang bila anak-anak Muslim Indonesia yang ikut orang tua mereka merantau mencari penghidupan tetap bisa akrab dengan al-Qur’an, segeralah berdonasi. Caranya mudah, semua ada di situsnya IIC

 

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar