Santri Cendekia
Home » Ketika Seorang Buddhis Amerika Membela Biksu Wirathu

Ketika Seorang Buddhis Amerika Membela Biksu Wirathu

Agama kerap tersedot ke dalam pasir hisap kekejaman, tidak terkecuali agama Buddha yang identik dengan para petapa pencari kedamaian dalam harmoni. Mencuatnya kasus pembantaian etnis Rohingya di Myanmar menjadi bukti konkrit dan Ashin Wirathu menjadi nama yang kerap disebut-sebut sebagai dalangnya. 
Wirathu adalah seorang  biksu penggagas gerakan 969, sebuah gerakan yang bertujuan menjaga Buddhisme tetap mekar di Myanmar. Ia takut “malapetaka” Islamisasi seperti Indonesia terjadi di negaranya ; ketika (menurutnya) Islam menyapu besih kebudayaan Buddha dan menjadikan kepulauan kaya ini negeri berpenduduk Muslim terbesar di seantero planet Bumi.  Misi ini berujung petaka bagi ratusan ribu etnis Rohingya. Mereka terusir dalam hina, terkatung-katung di lautan. 
dua wajah biksu di Burma
Tindakan teror terhadap minoritas Muslim di Myanmar ternyata berhasil juga menarik perhatian media Internasional. Tak pelak, Wirathu jadi selebritinya. Dengan tetap dalam balutan pakaian kebesarannya, ia ditampilkan di sampul majalah Time dengan caption besar berbunyi ;  The Face of Buddhist Terror. Ia bahkan mendapatkan julukan Bin Ladennya Myanmar. Singkatnya, sang Biksu dituding dunia sebagai dalang gerakan teroris. 
Terroris adalah kata yang sungguh kotor akhir-akhir ini, maka dituduh teroris betul-betul hal merepotkan. Wirathu dan pengikutnya pasti merasakan hal itu. Diasosiasikan pada terorisme rasanya memang menyakitkan, umat Buddha tentu tersinggung bila kejadian di Myanmar dijadikan representasi iman mereka. Sebuah perasaan yang sudah lama dialami umat Islam. Namun demikian, setidaknya Wirathu bisa sedikit lega sebab di langit negrinya tidak dijumpai dronedrone maut kiriman Washington seperti di langit Afghan ketika Osama mendapatkan tuduhan serupa. Sebaliknya, sebuah kampanye dukungan justru datang dari negri Paman Sam. Memang bukan langsung dari Gedung Putih seperti bingkisan buat para jendral jagal di Tel Aviv, tapi dari  warga negara biasa. 
Pemberitaan Time yang dianggap menyudutkan sang tokoh panutan menjadi pemicu bantuan itu. Artikel-artikel yang ditulis jurnalis Time seperti Hannah Beech dianggap sudah keterlaluan distortif dan penuh dengan kebohongan.  Akhirnya, pertengahan 2013 lalu, seorang warga Amerika pengikut Buddha mazhab Theravada memutuskan untuk membangun website khusus untuk gerakan 969. Lebih jauh, ia bahkan ingin membantu menluaskan jaringan gerakan Wirathu dalam bentuk NGO berbadan hukum. Dukungannya juga berupa pembukaan sebuah toko online untuk penggalangan dana. Sayanya terakhir kali kami cek, situsnya sudah diproteksi.
Bagian paling penting dari bantuan sang Budhis Amerika ini adalah usahanya yang sungguh-sungguh untuk “menjernihkan” berita-berita simpang siur seputar konflik Rohingya. Ia tidak segan-segan untuk menuduh media sekelas Time dan sederet nama jurnalis tingkat dunia telah memanipulasi berita. Meski sungguh ironis, sebab ia dengan gampangnya menenal bulat-bulat konstruksi media barat tentang Jihad. Ia misalnya menulis, “mempertahnkan diri melawan Jihad” sebagai alasan perempuan, anak-anak dan orang tua dibunuhi. Tentu retorika serupa justru mengingatkan kita pada gerombolan jendral sakau perang di Pentagon tinimbang biksu-biksu di vihara. 
Orang yang tidak menyebutkan identitasnya dengan jelas ini pun kadang berstatemen membingungkan. Ia menyebutkan bahwa umat Buddha di Thailand sedang dipersekusi oleh orang-orang Muslim. Entahlah, media apa yang dia percaya, yang jelas media itu pasti punya cara unik untuk membuat berita ; korban jadi pelaku dan pelaku jadi korban. Semacam maling teriak maling. Ia juga mengabaikan fakta bahwa konflik Thailand bukan murni agama tapi lebih pada kisruh politis, bahwa intervensi NGO Islam semcam Muhammadiyah toh membawa angin segar damai antara kaum Muslim di sana dan pemerintah. Belum lagi tentang universtias di Thailand, yang tentu kebanyakan stake holdernya adalah Buddhis,  justru membuka pusat studi makanan Halal yang terhormat. Intinya, ia menutup mata pada kenyataaan bahwa dibanyak tempat Muslim dan Buddhis bisa hidup damai. Seharusnya, biksu-biksu baik itulah yang ia bela, bukan orang-orang jahat di Myanmar yang kebetulan seiman dengannya. 
Akhirnya, ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari tindakan penganut Buddha yang membela biksu Wirathu ini.  Diantaranya pentingnya gerakan yang terkoneksi secara internasional untuk menguatkan posisi tawar umat Islam. Terutama di hadapan gempuran pemberitaan yang memang seringnya memojokan. Umat Islam harus cepat tanggap melakukan tabayyun bila ada saudaranya yang diberikan cap buruk oleh media sekuler. Seperti yang dilakukan orang Amerika itu pada Wirathu. Terlepas dari status Wirathu sendiri, sikap “ukhuwah” dan “tabayun” yang dikedepankan oleh saudara seimannya dari benua lain itu sungguh patut menjadi cermin bagi kita. Sayangnya, kita sering melihat bagaimana istilah-istilah yang awalnya berkonotasi buruk dan dibuat oleh “pengamat” atau media-media sebagai label buruk bagi umat Islam justru digunakan oleh muslim sendiri untuk menggebuk citra saudarnya.  

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar