Santri Cendekia
Home ยป KH. Hasan Abdullah Sahal Tentang Hakikat Ulama dan Pesantren (2)

KH. Hasan Abdullah Sahal Tentang Hakikat Ulama dan Pesantren (2)

Bismillah.. tulisan ini adalah lanjutan dari pesan-pesan KH. Hasan Abdullah Sahal tentang ulama dan pesantren. Silakan baca bagian sebelumnya di situ .. klik >>>di sini <

Sosok kiyai yang mengayomi.

Kiyai Sebagai Pusat Spritual Dinamika Pesantren
Pesantren didirikan dan dirawat oleh kiyai. Misalnya ada yayasan, maka ia berada di bawah kontrol kiyai. Pondok pesantren fungsinya untuk mendidik, bukan dididik (didikte pihak luar). Pesantren pada hakikatnya adalah sebuah benteng moral dan iman. Gedungnya bisa dibakar, kiyai, santri dan ustad bisa dibunuhi, pesantren tidak akan mati. Di pondok, jiwa yang penting bukan badannya, nilai yang penting bukan institusi fisiknya.   
Olehnya, intervensi pihak luar yang tidak punya pemahaman atas jiwa dan nilai itu hanya akan berujung kerusakan. Hal ini sudah dibuktikan oleh pesantren-pesantren di Indonesia yang tetap stabil meski sistem pendidikan penuh gonjang ganjing. Pesantren tidak akan menganggu sehingga jangan diganggu. Struktur dan tubuh pesantren harus dipertahankan dari intervensi luar. Bahkan intervensi yang katanya untuk kebaikan, untuk reformasi dan sebagainya.   
(di sini Kiyai Hasan mengaku heran dengan keributan K13. Kurikulum pesantren telah ada beradad-abad sebelum Indonesia merdeka, dan buktinya lulusan-lulusan pesantren berkontribusi besar bagi bangsa ini)
Kiyai adalah figur sentral di pesantren. Kekuasaan mutlak ada ditangannya. Kiyai yang berada di bawah naungan organisasi akan ambruk. Namun demikian, ia tentu saja tahu diri sehingga ia tetap dihormati warga pesantren. Kiyai menghormati santrinya, ummatnya, begitu pula sebaliknya. Kehormatan yang diterimanya adalah buah dari kepribadiannya. Ia jujur tanpa pengawasan KPK, polisi dan semacamnya. Konsistensi dan independensi kiyai ini tercermin juga pada santri dan pesantren secara umum. Sebab kyai mewariskan dan menularkan nilai-nilai kebaikan kehidupan. Pesantren harus menjadi miniatur kehidupan.
Kiyai mengarahkan dan mengawasi dinamika pondok secara terbina dan konsisten. Setelah itu, dinamika itu akan berjalan di dalam kebersamaan dengan tiga energi ; ihlas, ridha, berkah. Setiap anggota masyarakat pondok memberi dan menerima dengan ihlas. Dengan tiga semangat ini berjalan dinamika yang sakral. Mulai dari makan, tidur, hingga belajar adalah pekerjaan-pekerjaan sakral. Suasana itu tercapai karena semuanya dilakukan demi mencapai ridah Allah. Dinamika ini jalan di atas syariat.  
Kedekatan dengan santri, berbuah kasih sayang dan rasah hormat
Namun demikian, semua tatanan tadi akan hancur bila disusupi penyakit-penyakit pesantren :  egoisme keduniaan. Sesungguhnya Islam mengajarkan kita untuk individualis dan egois sebab di akhirat kelak semua orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan tetapi hidup sendiri, egois, individualistis tidak mau bersosialisasi di dunia sangat dikutuk. Egoisme merusak pesantren sebab mematikan amar maโ€™ruf. Ia bisa merasa kaya, merasa pintar, merasa cukup sehingga interaksi yang sakral dalam keridaan dan keihlasan hancur. Ia merasa memiliki kelebihan sehingga menganggap orang lain lebih rendah.   Orang egois juga mementingkan kejayaan diri sehingga menjadi oportunis yang licik.
KH. Hasan Abdullah Sahal bersama peserta PKU VIII, saya yang paling cerah mukanya hehe
Pesan Terakhir
Saya tidak mendidik sebaik yang diinginkan oleh Allah. Tapi kita akan terus berusaha menjadi lebih baik. Jadilah kalian pendidik. Kalian akan tarik-menarik dengan penajajah yang juga terus mendidik manusia. penjajah mendidik manusia menjadi 3B ; boneka, babu, budak. Sedangakan Kalian mendidik mereka menjadi manusia bebas yang hanya menghamba kepada Allah.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar