Santri Cendekia
khilafiyyah
Home ยป Memahami Hal Ihwal Khilafiyyah

Memahami Hal Ihwal Khilafiyyah

Sebagian orang mengira bahwa dalam persoalan khilafiyyah, seseorang boleh mengambil atau mengikuti pendapat mana saja yang ia kehendaki, atau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dalam semua persoalan, tanpa ada hajat terhadap hal tersebut. Ini adalah sebuah kekeliruan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Dari beberapa pendapat ulama yang berbeda (khilaf tadhad) dalam satu persoalan, ada pendapat yang benar, dan ada pendapat yang keliru.

Karena itu, ketika Imam Malik ditanya tentang ikhtilaf yang terjadi di antara shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Ada yang salah, ada yang benar.”

Jadi, realita adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang pendapat-pendapat tersebut saling meniadakan (khilaf tadhad), tentu ada pendapat yang benar, dan ada pendapat yang salah. Tidak kita katakan, semua pendapat itu benar, dan boleh kita ambil/pakai sesuka kita.

2. Bagi seorang alim yang mampu melakukan tarjih (artinya: ia sudah memiliki keahlian untuk berijtihad, meskipun baru ijtihad juz’i), ia perlu melakukan tarjih antar pendapat yang ada, untuk mengetahui pendapat mana yang terkuat MENURUT DIRINYA.

Artinya, jika seorang alim di masa sekarang misalnya, memilih menguatkan pendapat Imam Abu Hanifah dalam satu persoalan, dibandingkan pendapat Imam Asy-Syafi’i, maka MENURUT DIRINYA, pendapat yang rajih adalah pendapat Abu Hanifah. Konsekuensinya, sang alim ini harus beramal dengan pendapat yang terkuat menurut hasil kajiannya.

Namun, ia tak boleh memaksa orang lain, apalagi sesama ulama, untuk mengikuti hasil tarjih-annya. Karena, bisa jadi, ulama lain -berdasarkan hasil kajiannya- menganggap pendapat Asy-Syafi’i yang lebih kuat.

3. Bagi orang-orang yang belum mampu melakukan tarjih (dan mayoritas umat Islam berada pada posisi ini), tentu ia tak bisa melakukan tarjih dari sisi argumentasi masing-masing ulama. Orang buta tak akan mampu membedakan mana warna merah dan mana warna biru.

Baca juga:  Tadabbur Asma'ul Husna (Al-Mushawwir)

Lalu apa yang harus dilakukan muqallidun ini? Yang bisa dilakukannya adalah melakukan tarjih terhadap pribadi ulama mujtahid yang akan ia taqlidi. Misal: ia lihat mana ulama yang lebih alim (atau: lebih masyhur kealimannya), atau mana yang lebih wara’, dan seterusnya.

Tarjihnya bukan pada dalil, karena ia tak mampu melakukan itu.

Dalam Al-Muwafaqat dikatakan: “Dua orang mujtahid di hadapan seorang yang awam, itu seperti dua dalil di hadapan seorang mujtahid. Maka, sebagaimana wajib atas seorang mujtahid untuk melakukan tarjih atau tawaqquf, maka demikian pula untuk seorang muqallid.”

Artinya, seorang muqallid sekalipun, tidak boleh asal ambil pendapat sesuka hatinya. Ia tetap perlu melakukan tarjih, namun bukan tarjih dalil, melainkan memilih pendapat dari ulama yang ia anggap lebih alim, lebih wara’, dan semisalnya.

4. Terkait poin nomor 3, itu kalau ia harus berhadapan dengan dua pendapat ulama yang berbeda, atau mendapatkan fatwa dari dua mufti yang berbeda.

Jika tidak, maka ia tinggal mengikuti fatwa dari mufti yang ada di negerinya, atau yang mudah diaksesnya.

5. Lalu, toleransinya bagaimana? Toleransinya adalah: Kita menghormati pendapat yang berbeda dengan yang kita ikuti (meskipun pendapat itu kita anggap lemah), kita hormati ulama yang mengeluarkan pendapat tersebut, kita hormati juga orang-orang yang mengikuti pendapat tersebut.

Jika pun ingin mendiskusikan perbedaan pendapat ini (jika ia memiliki kemampuan), harus dilakukan secara santun dan di forum ilmiah khusus, bukan di tempat umum, yang diperhatikan oleh orang yang paham maupun tidak paham.

6. Perbedaan pendapat ini harus disadari sebagai perbedaan pendapat yang biasa terjadi di kalangan ulama, dan tak perlu dijadikan landasan permusuhan antar sesama muslim. Selama perkara ushul agama yang qath’i, kita masih sama, berarti kita masih bersaudara dalam iman dan Islam.

Baca juga:  Surat Cinta untuk Sang Pedang Allah

Wallahu a’lam.

Bahan Bacaan:
1. Al-Asas Fi Fiqhil Khilaf, karya Dr. Abu Umamah Nawwar bin As-Syali, cet. Darussalam Mesir.
2. Kitab-kitab lainnya.

Muhammad Abduh

Peminat Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman. Alumni S1 Syariah (Ta'lim 'An Bu'd) Universitas Islam Imam Muhammad bin Su'ud, Saudi Arabia.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar