Santri Cendekia
Home » Cara Kiyai NU dan Muhammadiyah Merangkul eks-PKI

Cara Kiyai NU dan Muhammadiyah Merangkul eks-PKI

Teladan Sang Mustafa

Semasa periode Mekah, terutama di tahun-tahun awalnya, Nabi Muhammad dan komnitas orang beriman yang tengah dibinanya mendapatkan persekusi bertubi-tubi. Dicampakan keluarga, diboikot secara ekonomi, diisolir secara sosial, bahkan dibunuh dengan cara keji. Puncaknya, mereka terusir dan harus berhijrah demi menjaga nyawa, iman, dan komitmen keumatan mereka. Namun kesabaran mereka pada akhirnya berbuah manis berupa nashrullahi wal fath. Pertolongan Allah dan kemenangan nyata. Hanya sedekade kemudian, mereka kembali ke Mekah sebagai penakluk berwibawa. Tanpa kekerasan, pasukan Madinah memasuki gerbang Mekah dengan panji-panji maaf dan rekonsiliasi. Selama tidak mengangkat senjata, harta dan nyawa penduduk Mekah terjamin. Termasuk mereka yang dulu dengan kejam memusuhi dan mengusir.

Maaf dan rekonsiliasi yang menjadi penanda penting Fathu Mekkah tidak berarti komporomi kepada akar kejahatan yang sejak awal dibasmi Rasulullah. Berhala-berhala yang mengotori kesucian tauhid di sekitar Kakbah dihanucrkan. Kemusyrikan, sebuah ideologi nan abstrak itu, dibasmi tanpa ampun. Sedangkan orang-orangnya, manusia-manusia dengan segala kedaifannya itu, diberi kesempatan bertaubat. Gabungan antara ketegasan kepada paham keliru dan kelembutan kepada pengembannya yang tak memusuhi ini menjadi ciri penting komunitas Muslim awal. Reputasi ini menjadi faktor penting penerimaan Islam oleh suku-suku Arab lainnya, lalu ia pun tersebar bak cahaya menyibak gelap ke setiap sudut bumi.

 Fastforward empat belas abad kemudian. Islam telah sampai di bumi Nusantara. Mengalami bangkit tersungkur, pasang surut, patah tumbuh. Salah satu ujian penting yang dialami komunitas umat Muhammad di petak bumi nan subur ini adalah hadirnya ideologi Marxis, mewujud partai komunis. Banyak dari  anggota partai ini aslinya adalah Muslim. Bahkan partai ini menemukan momentum kelahiran setelah sukses membajak salah satu organisasi Muslim  terpenting di masa tumbuhnya kesadaran anti-kolonial. Namun itu tidak memustahilkan terjadinya konfrontasi-konfrotnasi. Terjadinya teror, penculikan, pembunuhan oleh anggota partai komunis kepada umat Islam. Termasuk dan terutama ulama-ulamanya. Mereka yang bila di desa dicap Setan Desa yang tanahnya perlu dirampas. Sebagian lagi dicap musuh sebab terasosiasi dengan partai yang menyaingi langkah komunis di kancah politik nasional.

Sebuah peristiwa keji di akhir bulan September 1965 menjadi titik kisar penting dalam konfrontasi itu. Partai komunis yang elit-elitnya terbelit kudeta gagal, menjadi bula-bulanan militer anti-komunis, disapu bersih dari sejarah. Elitnya tertangkap diadili dan dieksekusi. Tapi akar rumpunya pun tak luput dari pembersihan. Banyak yang menggambarkan situasi tegang di sekitar 65 sebagai keadaan terbunuh atau dibunuh. Ketegangan antara kaum santri dan komunis benar-benar memuncak. Perbedaan ideologi menjadi sebab dehumanisasi. Jika orang lain bagimu telah kurang nilai manusianya, maka menjagalnya menjadi sesuatu yang ringan-ringan saja.

Para Kiyai yang memang pewaris para Nabi tidak melihat ini sebagai keadaan yang harus dilestarikan. Seperti dahulu Sang Mustafa yang bisa memberi maaf kepada eks-Musyrikin Mekah sembari tetap menekankan tahid memusuhi syirik, para kiyai ini dengan jernih melihat kaum akar rumput komunis sebagai saudara yang perlu dirangkul. Apalagi mereka juga aslinya masih Muslim, meskipun dalam istilah yang umum dipakai, mereka itu Muslim abangan. Ada dua Kiyai yang hendak disimak suluknya. Kebetulan keduanya mewakili dua corak berislam yang dominan di Indonesia; NU dan Muhammadiyah.

Kang Muh Menyapa Abangan dengan Jathilan

Tokoh  pertama adalah seorang cucu kiyai agung yang akrab disapa Kang Muh. Beliau cukup berperan dalam mengembalikan kerukunan antara kaum santri (NU) dengan kaum abangan baik dari PKI dan PNI pasca 1965. Kang Muh adalah adik dari Kyai Abdurrahman, putra Kyai Chudlori pimpinan pesantren Tegalrejo Magelang. Jalan maaf dan rekonsiliasi dibuka oleh Kang Muh melalui kesenian. Beliau mempelopori masuknya kesenian-kesenian kaum abangan seperti jathilan, wayang, reog dan kethoprak untuk ditampilkan di pesantren dalam acara perpisahan dengan santri-santri yang telah lulus dari pesantren.

Baca juga:  Khalid bin Walid dan Manajemen Isu SARA

Banyak pihak yang awalnya menolak gagasan Kang Muh ini, namun mereka tidak berani menanyakan langsung kepada Kang Muh, tetapi ke kerabatnya, Kyai Thoyib. Dengan bijak Kyai Thoyib mengutip sebuah kata-kata dari kitab Ihya’ Ulumuddin Imam karya Ghazali, ”Sebuah tai lalat di wajah seseorang akan mempercantik wajah itu, namun jika tai lalat itu lebih dari satu, wajahnya akan kelihatan buruk. Jadi pertunjukan kesenian ini menjadi lebih baik jika diadakan sekali setahun, di satu tempat saja.”. Mendengar jawaban itu, protes tidak dilanjutkan.

Sedangkan Kang Muh sendiri dengan gamblang menjelaskan strategi dakwahnya itu : ”Banyak orang masih heran kenapa saya mengundang begitu banyak rombongan jathilan untuk khataman. Ya, saya harus menerima, saya adalah seorang kyai jathilan” Begitu Kang Muh mengakui bahwa jalan dakwah yang ia sedang bangun itu tampaknya menuai rasa heran. Ini adalah momen tersendiri untuk mendidik santri-santrinya. Maka beliaupun menjelaskan lagi,

“Tapi, tolong, perhatikan kitab ini” Kang Muh menunjukkan sebuah kitab berbahasa arab yang sepertinya adalah al-Hikam karya Ibnu Athoillah. “Maksiat yang dengan cepat membawa orang kepada ketaatan jauh lebih baik daripada ketaatan yang disertai dan menggiring pada takabur. Bagi makhluk hidup, takabur adalah sifat buruk, akan tetapi berkenaan dengan ketidakterbatasan Tuhan, itu adalah sifat-Nya. Karena itu, jangan pernah berharap hanya kita yang melaksanakan sholat lima waktulah yang ditakdirkan masuk surga.”

“Mereka, yang sekarang bermain jathilan, mungkin juga ditakdirkan masuk surga, dan mungkin kita dilemparkan ke neraka karena dipenuhi sifat takabur. Saya ingin menyampaikan ini kepada kalian. Lebih baik mereka untuk menghabiskan uang pada jathilan ini daripada berjudi. Lebih dari itu, jika mereka mau bermain di lapangan pesantren siapa tahu hati mereka menjadi lebih dekat dengan pesantren. Apakah kalian tahu para hadirin dan hadirat, berapa banyak pemain jathilan yang saya undang beberapa tahun lalu sekarang menjadi santri ? Oleh karena itu, janganlah pernah mencela orang lain, akan tetapi berdo’alah kepada Allah. Semoga saudara-saudara kita menjadi seorang muslim yang baik suatu hari”.

Kang Muh memang tampil berbeda dengan kakaknya yang seorang kyai. Beliau sering memakai celana panjang dan kemeja, bukannya sarung dan peci, kadang-kadang beliau memakai jeans. Hiasan di rumahnya adalah dekorasi wayang. Di dalam pesantren, watak nyleneh pak Muh ini disebut khawariqul ’aadah (hal-hal yang berada di luar kebiasaan), yang biasanya jadi tanda kewalian seseorang. Pernah suatu ketika, Kyai Chudlori menyuruh puranya, Kang Muh untuk belajar membaca kitab, maka Kang Muh pun bertanya, kitab apa yang diinginkan ayahnya untuk dibacakan. Tenyata, kang Muh bisa membacakannya dengan lancar. Sejak saat itu Kyai Chudlori tidak pernah menyuruh Kang Muh belajar, karena ia yakin, putranya telah diberi ilmu laduni.

Bagi penduduk desa, jalan dakwah Kang Muh itu merupakan sebuah kejutan besar, karena selama ini di ranah kesenian ada garis demarkasi yang jelas antara seni pesantren dengan seni kaum abangan. Mbah Partogeni, mantan anggota PKI yang akhirnya membangun langgar dengan uangnya sendiri membandingkan Kang Muh dengan walisongo. Setelah tampilnya jathilan di acara khataman pesantren itu, banyak desa-desa abangan yang tadinya merupakan basis simpatisan PKI mengundang Kang Muh untuk memberi pengajian di desa mereka. Saat mengisi pengajian, Kang Muh menyampaikannnya dalam bahasa yang dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.

Baca juga:  Umat Islam Kurang Mempelajari Buddhisme: Wawancara dengan Profesor Imtiyaz Yusuf

”Hadirin dan hadirat yang berbahagia. Saya berani mengatakan, tempe lebih baik daripada daging yang mahal tapi sudah busuk (daging larang ning bosok). (hadirin tertawa). Baik. Hadirin sekalian (untuk menghentikan tawa yang masih bergemuruh). Karena itu, marilah kita menjadi orang baik seperti makanan yang baik, sehingga kita memperoleh tempat yang baik pula. Janganlah sekali-kali kita menjadi orang yang batinnya seperti daging busuk. Ketimbang jadi daging busuk, lebih baik kita menjadi tempe saja. Tak penting harganya murah, selama dia bersih dan tidak busuk.

Orang-orang yang jiwanya bersih mungkin hidup dalam kemiskinan karena mereka tidak ingin mencuri, merampok, menipu, korupsi. Itulah mengapa mereka sering berkata ”Apa yang akan dimakan besok ?” Sebaliknya, orang yang meletakkan kehidupan lahir di atas segala-galanya bisa jadi hidup dalam kekayaan yang melimpah. Namun, karena tujuannya hanya ingin menumpuk kekayaan dengan mengabaikan hukum Allah, mereka dengan melupakan tanggung jawabnya kepada Allah dan kehidupan akhirat. Kepala mereka dipenuhi pertanyaan ”Siapa yang akan saya makan besok ?” (Tertawa). Hadirin yang berbahagia !

Jika pertanyaan anda sehari-hari adalah ”Apa yang akan saya makan besok ?” dan bukan ”Siapa yang akan saya makan besok ?” maka jangan khawatir tapi berbanggalah. Karena berarti iman masih tertanam kuat di dalam batin anda. Jangan pernah lupa, keberhasilan jiwalah yang akan meninggikan posisi anda di mata Allah. Yang penting dan utama di mata Allah bukanlah kekayaan atau kebagusan tubuh anda. Apa yang penting bagi Allah adalah batin anda, bukan lahir anda. Isi, bukan wadah.”

Tipikal materi dakwah seperti ini jika direnungkan dengan empati kepada para mad’u yang wong cilik pasti terasa membesarkan hati. Di masa konfrontasi ideologis dulu, status mereka sebagai kaum akar rumput dieksploitasi agar muncul kemarahan revolusioner. Tak jarang murka itu berakhir pertumpahan darah. Oleh Kang Muh, jiwa mereka dibesarkan. Ekspersi kulural mereka dihargai, dijunjung tinggi, ditampilkan di pesantren. Sekat-sekat mental perlahan luruh. Toh dulu mereka menjadi “merah” dan marah bukan karena benar-benar meyakini sepenuh hati materialisme historis. Jauh di dalam sana, mereka tetaplah Muslim Jawa, produk dari apa yang oleh sejarawan disebut ‘sintetis mistik’ Islam di tanah Jawa. Apa yang dilakukan warga Tegalroso di bawah panji maaf dan rekonsiliasi Kang Muh memunculkan kembali sintesis Mistik Islam itu.

Pak AR, dan Dakwah Ramah di Kotagede

Langkah yang sama juga terjadi dengan intens di Kotagede. Sebuah daerah strategis di Yogyakarta yang memang menjadi pusat percaturan berbagai ideologi. Riset Mitsuo Nakamura bisa memberikan kita gambaran bagaimana dakwah kaum pembaharu Muhammadiyah di Kotagede mengembalikan saudara-saudara Muslim abangan mereka dengan purna ke pangkuan Islam. Hasil riset itu telah terbit dengan tajuk menarik “Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin,.“ Bulan Sabit di atas Pohon Beringin artinya unsur-unsur santri yang digambarkan dengan bulan sabit meninggalkan unsur-unsur abangan (pra Islam) yang digambarkan dengan pohon Beringin.

Kotagede adalah sebuah kota yang diperebutkan para pimpinan ideologi di masa lalu. Tercatat HOS. Cokroaminoto, KH. Samanhudi, KH. Ahmad Dahlan pernah mengadakan rapat akbar di sana. Di bagian sayap kiri para tokoh Komunis seperti Semaun, Muso dan Alimin juga terjun langsung ke Kotagede. Bahkan tercatat juga nama Ki Hajar Dewantara. Sebuah wlayah yang akhirnya mencatat separuh warganya menjadi PKI.

Namun apa komentar seorang guru Muhammadiyah yang diwawancarai Dr. Nakamura tentang fenomena Kotagede di masa lalu itu ? “Hampir separuh dari seluruh penduduk Kotagede ikut PKI sebelum 1965. Akan tetapi sesungguhnya mereka semua orang Islam dan putih (warna untuk orang Islam, khususnya orang Islam yang shalih) di dalam batinnya. Oleh karena itu, begitu keadaan meningkat, dan yang paling penting begitu Muhammadiyah lebih lanjut memperkuat kegiatan pendidikannya, bukan tidak mungkin mengharap bahwa kebanyakan bekas pendukung-pendukung PKI akan menjadi orang Islam sebenar-benarnya.

Baca juga:  Otoritas Dakwah yang Diperebutkan dalam Ruang Maya

Jika di Tegalrejo panji rekonsiliasi sosial ini dijiwai oleh dakwah hikmah Kang Muh, maka di Kotagede, KH. A.R. Fakhruddin adalah ruhnya. Ulama bersahaja yang lebih akrab disapa Pak AR ini adalah ketua Muhammadiyah dengan periode yang cukup lama. Masa kepemimpinan beliau melalui era pasca-65, ketika kaum komunis dikejar-kejar aparat. Di Kotagede yang dulunya basis PKI, Pak AR menekankan perlunya dakwah merangkul dan melayani. Pada 28 November 1971,beliau mewanti-wanti warga Muhammadiyah;

“Jadi, untuk bergaul secara baik dengan tetangga kamu, caranya harus betul. Bila tetangga mampir untuk ngobrol denganmu, sambutlah dia dan ngobrollah. Jika dia belum shalat, tidak apa-apa. Kamu jangan mengolok-olok dia. Kamu jangan mengejek dia. Jika dia jatuh sakit, tengoklah, jika dia dalam kesusahan, bantulah, jika dia masuk angin, supaya dikeroki. Baiklah terserah bagaimana kamu akan benar-benar membantu. Akan tetapi itulah yang disebut sesrawungan ingkang sae. Ibu-ibu Aisyiyah dan bapak-bapak Muhammadiyah harus bisa melaksanakan ini”

Pendekatan akhlak pak AR. Fakhruddin itu terbukti, dimana akhirnya Kotagede menjadi salah satu basis Muhammadiyah yang kuat. Kisah sukses seperti ini tidak hanya saya dengar di Kotagede saja, ada beberapa wilayah basis PKI yang kini penduduknya hidup secara santri. Tidak hanya di Jogja, saat saya berkesempatan diundang bersilaturahmi ke salah satu pesantren di Temanggung, beberapa ustadz disana bercerita tentang desa-desa merah yang kini lebih hijau dan religius dibanding desa-desa yang dimasa Orde Lama dulu adalah basis kaum santri.

Dakwah model Kang Muh dan Pak AR ini juga terjadi di banyak tempat. Sehingga, pada tahun 1980 an, terjadi proses santrinisasi abangan secara besar-besaran. Pada dasawarsa 1980-an, para anthropolog dan jurnalis mencatat bahwa Islam normatif yang sedang berkembang pesat di kubu-kubu yang dulunya dikuasai kaum nasionalis sekular, sementara kejawen (lebih pas nya kebatinan) mengalami kemerosotan. sebagaimana dicatat Ricklefs. Institusi-institusi Kejawen (kebatinan) mendapat pukulan amat telak. Di sebagian besar wilayah pedesaan, misalnya, ritual-ritual komunal hingar bingar (slametan desa) yang dirayakan oleh penganut kejawen di tempat yang diyakini sebagai ”rumah” roh pelindung desa (dhanyang), yang dengan begitu hidup, dipaparkan di dalam karya Clifford Geertz, yang berjudul Religion of Java, telah menghilang pada akhir dasa warsa 1990 an. Di tempat di mana berbagai ritual tersebut masih hidup, sebagian besarnya beroperasi di tataran privat dan tidak lagi mendapat sokongan dari otoritas setempat .

Proses peralihan gerak Islam dari Islamisme yang berorientasi pada penguasaan atas negara menjadi dakwahisme yang berorientasi pada kesalehan masyarakat terbukti efektif untuk membentengi umat Islam dari pemurtadan yang dilakukan oleh kalangan misionaris. Selain itu, dakwah yang berwajah kultural terbukti telah mampu untuk menjadi sarana mobilitas spiritual masyarakat Jawa untuk menjadi lebih Islam dibanding pada periode-periode sebelumnya. Untuk konteks pasca 65, dakwah model ini dimulai dari upaya sadar untuk merangkul orang-orang eks-PKI yang memang kebanyakan Muslim hanya saja masih abangan.

Dirangkai dari tulisan Ustaz Arif Wibowo (Pegiat Laboratorium Dakwah Ki Ageng Henis)

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar