Santri Cendekia
Home » Konflik Palestina-Israel bukan Perang tapi Pembersihan Etnis

Konflik Palestina-Israel bukan Perang tapi Pembersihan Etnis

Penulis: Illan Pappe*

Artikel ini membuka tabir di balik pengusiran sistematis lebih dari 750.000 penduduk asli Palestina dari wilayah yang kini menjadi negara Israel pada tahun 1948. Artikel ini merinci konteks dan dinamika politik dan diplomatik pada periode tersebut, dengan fokus pada proyek “Berkas Desa/Village file”.

Proyek multi-tahun ini (1940–47) melibatkan penyusunan sistematis peta dan intelijen untuk setiap desa Arab di wilayah tersebut, yang dijalankan oleh “kaukus” internal di bawah arahan kurang dari sepuluh orang pimpinan David Ben-Gurion. Ini adalah bagian dari serangkaian rencana militer yang puncaknya adalah Rencana Dalet, pedoman Zionis untuk aksi 1948.

Di akhir artikel ini, saya akan mengajukan argumen utama saya: kita perlu merangkul ethnic cleansing (pembersihan etnis) sebagai paradigma baru dalam memahami peristiwa 1948, menggantikan paradigma ‘perang’ yang selama ini menjadi dasar penelitian dan debat publik tentang peristiwa tersebut.

Pada Rabu sore yang dingin, 10 Maret 1948, sebelas pemimpin Zionis veteran dan seorang perwira militer Yahudi muda, menyelesaikan rencana untuk pembersihan etnis Palestina. Pada malam yang sama, perintah militer dikirimkan ke unit-unit lapangan untuk mempersiapkan pengusiran sistematis warga Palestina dari sebagian besar wilayah negara tersebut. Instruksi tersebut meliputi metode rinci untuk pengusiran paksa: intimidasi massal, pengepungan dan pengeboman desa-desa dan pusat penduduk, pembakaran rumah dan properti, pengusiran penduduk, perusakan rumah, dan penanaman ranjau di reruntuhan untuk mencegah pengungsi kembali. Setiap unit diberikan daftar desa-desa dan lingkungan yang ditargetkan sesuai dengan rencana utama.

Rencana ini, yang diberi kode nama Rencana D (Dalet dalam bahasa Ibrani), adalah versi keempat dan terakhir dari serangkaian rencana yang sebelumnya lebih samar mengenai nasib penduduk asli Palestina. Tiga rencana sebelumnya hanya secara samar-samar menjelaskan bagaimana kepemimpinan Zionis berencana untuk menghadapi masalah keberadaan penduduk Palestina di tanah yang mereka incar. Rencana keempat dan terakhir ini menegaskan dengan jelas dan tanpa keraguan: penduduk asli Palestina harus dihilangkan.

Rencana ini, yang mencakup baik pedesaan maupun perkotaan Palestina, adalah konsekuensi logis dari ambisi ideologis Zionisme untuk menciptakan negara eksklusif Yahudi di tanah Palestina. Rencana tersebut juga merupakan respons Zionis terhadap perkembangan di lapangan setelah keputusan Inggris pada Februari 1947 untuk mengakhiri Mandatnya atas Palestina dan menyerahkan masalah tersebut ke PBB. Bentrokan dengan milisi Palestina setempat, terutama setelah resolusi pemisahan PBB pada November 1947, memberikan pembenaran yang sempurna untuk melaksanakan visi ideologis membersihkan Palestina dari etnis non-Yahudi.

Setelah rencana tersebut diselesaikan, dibutuhkan enam bulan untuk mengimplementasikannya. Ketika semuanya berakhir, lebih dari setengah populasi asli Palestina, lebih dari 750.000 orang, telah terusir, 531 desa telah hancur, dan 11 area urban telah dikosongkan penduduknya. Rencana yang diputuskan pada 10 Maret 1948, dan terutama pelaksanaannya secara sistematis dalam bulan-bulan berikutnya, adalah contoh jelas dari operasi pembersihan etnis menurut kriteria yang sekarang dikenal.

Memahami Ethnic Cleansing

Pembersihan etnis sekarang ditetapkan oleh hukum internasional sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan para pelakunya akan diadili. Pengadilan internasional khusus telah dibentuk di Den Haag untuk mengadili mereka yang dituduh melakukan pembersihan etnis di wilayah bekas Yugoslavia. Pengadilan serupa dibentuk di Arusha, Tanzania, untuk menangani kasus Rwanda. Fenomena pembersihan etnis telah lama ada, dan telah dilakukan sejak zaman Alkitab hingga zaman modern, termasuk pada masa puncak kolonialisme dan pada Perang Dunia II oleh Nazi dan sekutunya. Namun, peristiwa di negara-negara bekas Yugoslavia menjadi pendorong upaya untuk mendefinisikan konsep ini dan seringkali dijadikan sebagai prototipe pembersihan etnis.

Sebagai contoh, dalam laporan khususnya tentang pembersihan etnis di Kosovo, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mendefinisikan istilah tersebut sebagai “pemindahan sistematis dan paksa anggota kelompok etnis tertentu dari suatu komunitas untuk mengubah komposisi etnis di suatu wilayah tertentu.” Laporan tersebut kemudian mendokumentasikan berbagai kasus yang memenuhi kriteria ini, termasuk aksi depopulasi dalam waktu dua puluh empat jam di kota Pec di Kosovo barat pada musim semi 1999, yang hanya dapat dicapai melalui perencanaan yang canggih dan eksekusi sistematis.

Sebelumnya, Laporan Kongres yang disusun pada Agustus 1992 untuk Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat telah menggambarkan “proses pemindahan penduduk yang bertujuan menghilangkan populasi non-Serbia dari wilayah Bosnia-Herzegovina,” mencatat bahwa serangan tersebut “secara substansial mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan wilayah yang dihuni secara eksklusif oleh orang Serbia. Tujuan ini dicapai dengan cara mengusir penduduk Muslim yang sebelumnya merupakan mayoritas yang dominan.” Menurut laporan ini, dua elemen utama dari pembersihan etnis adalah, pertama, “penggunaan secara sengaja artileri dan penembak jitu terhadap populasi sipil di kota-kota besar,” dan kedua, “pemindahan paksa populasi sipil [melibatkan] penghancuran sistematis rumah, perampokan properti pribadi, pemukulan, pembunuhan terpilih dan acak serta pembantaian massal.”

Deskripsi serupa ditemukan dalam laporan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCHR) tahun 1993, yang disusun sebagai tindak lanjut terhadap Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1993 yang menguatkan “kecaman terhadap semua pelanggaran hukum humaniter internasional, khususnya praktik ‘pembersihan etnis.'” Laporan ini menunjukkan bahwa keinginan suatu negara untuk memberlakukan aturan etnis tunggal di daerah yang pada dasarnya memiliki etnis beragam secara langsung akan berakibat pada tindakan pengusiran dan kekerasan. Laporan tersebut menggambarkan bagaimana proses pembersihan etnis dilakukan; pria dipisahkan dari wanita dan ditahan, upaya perlawanan akan dibalas dengan pembantaian, desa-desa dibom. Rumah-rumah yang tersisa kemudian dihuni kembali oleh kelompok etnis yang mengusir itu.

Selain Amerika Serikat dan PBB, para akademisi juga menggunakan bekas Yugoslavia sebagai titik awal untuk studi fenomena ini. Dražen Petrović telah menerbitkan salah satu studi paling komprehensif tentang pembersihan etnis, yang ia gambarkan sebagai “kebijakan yang jelas dari kelompok tertentu untuk secara sistematis menghilangkan kelompok lain dari suatu wilayah berdasarkan asal agama, etnis, atau nasional. Kebijakan tersebut melibatkan kekerasan dan seringkali terkait dengan operasi militer.” Petrović menciptakan korelasi antara pembersihan etnis dengan nasionalisme, pembentukan negara-negara baru berdasarkan etnis, dan perjuangan nasional, yang menunjukkan hubungan yang erat antara pemimpin politik dan militer dalam pelaksanaan kejahatan tersebut. Meski tidak ada rencana sistematis atau instruksi eksplisit yang diberikan oleh para politisi, namun tidak diragukan lagi bahwa tujuan akhir yang jelas telah ditetapkan bagi eksekutor operasi militer.

Deskripsi ini dengan sangat akurat mencerminkan apa yang terjadi di Palestina pada tahun 1948. Rencana D adalah contoh konkret dari metode pembersihan etnis yang diuraikan dalam berbagai laporan mengenai Yugoslavia. Bahkan, menurut saya, jika kita belum pernah mendengar tentang peristiwa di bekas Yugoslavia pada tahun 1990-an dan hanya mengetahui kasus Palestina, kita mungkin akan berpikir bahwa berbagai definisi dan deskripsi pembersihan etnis yang telah kita diskusikan sebelumnya sebenarnya terinspirasi oleh peristiwa Nakba 1948.

Namun, ketika membahas pengusiran yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina pada tahun 1948, ada jurang yang dalam antara apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana peristiwa tersebut digambarkan. Hal ini cukup membingungkan dan sulit untuk dipahami; bagaimana mungkin suatu peristiwa yang terjadi di era modern dan disaksikan oleh reporter asing serta pengamat PBB bisa sistematis diingkari, bahkan tidak diakui sebagai fakta sejarah, apalagi diakui sebagai kejahatan yang harus dilawan, baik secara politis maupun moral. Tidak ada keraguan bahwa pembersihan etnis pada tahun 1948, sebuah peristiwa penting yang membentuk sejarah modern Palestina, hampir sepenuhnya dihapus dari memori kolektif global dan dihilangkan dari kesadaran dunia.

Membongkar Konstruksi Ethnic Cleansing di Palestina

Pemerintah Israel secara resmi tetap mengejek segala bentuk akuntabilitas atas peristiwa tahun 1948, dengan tegas mengklaim bahwa penduduk lokal “sukarela” meninggalkan. Bahkan jika sebagian tanggung jawab Israel atas hilangnya separuh populasi Arab Palestina diakui, alasan standarnya adalah bahwa kepergian mereka merupakan efek samping yang tidak diinginkan, insiden tak terduga, atau bahkan “keajaiban,” seperti yang diumumkan oleh presiden Israel pertama, Chaim Weizmann. Namun, jauh berbeda dengan penjelasan tersebut, Nakba 1948 adalah produk dari perencanaan yang detail dan panjang.

Konsep bahwa orang-orang Yahudi akan suatu saat mengambil alih tanah Palestina dan mengusir penduduk aslinya sudah ada dalam tulisan para pendiri Zionisme, seperti yang kemudian ditemukan oleh para sarjana. Namun, baru pada akhir 1930-an, dua dekade setelah janji Inggris pada tahun 1917 untuk menjadikan Palestina sebagai rumah nasional bagi orang Yahudi (janji yang menjadi bagian dari Mandat Inggris atas Palestina pada tahun 1923), para pemimpin Zionis mulai menerjemahkan visi mereka tentang eksklusivitas Yahudi menjadi rencana yang lebih konkret. Peluang baru dibuka pada tahun 1937 ketika Komisi Kerajaan Peel Inggris merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara. Meski wilayah yang ditujukan untuk negara Yahudi jauh lebih kecil dari ambisi Zionis, para pemimpinnya merespons secara positif. Mereka menghargai pengakuan resmi Inggris terhadap prinsip kedaulatan negara Yahudi di sebagian wilayah Palestina.

Baca juga:  Sebelum Membahas Agnez, Mari Mundur Alon-Alon

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1942, strategi yang lebih ambisius untuk memperluas wilayah Israel diadopsi ketika pemimpin Zionis David Ben-Gurion, dalam pertemuan di Hotel Biltmore di New York, menuntut pendirian Persemakmuran Yahudi di seluruh wilayah Palestina yang saat itu berada di bawah mandat Inggris. Dengan demikian, wilayah geografis yang diidamkan oleh gerakan ini berubah sesuai dengan situasi dan peluang, tetapi tujuan utamanya tetap sama: pembentukan negara khusus untuk orang Yahudi di Palestina, baik sebagai tempat perlindungan bagi orang Yahudi maupun sebagai tempat kelahiran nasionalisme Yahudi yang baru. Negara ini harus secara eksklusif Yahudi, tidak hanya dalam struktur sosial-politiknya tetapi juga dalam komposisi etnisnya.

Para pemimpin teratas sangat menyadari implikasi eksklusivitas ini, seperti yang jelas dalam perdebatan internal mereka, catatan harian, dan korespondensi pribadi. Misalnya, Ben-Gurion menulis dalam surat kepada putranya pada tahun 1937, “Orang-orang Arab harus pergi, tetapi kita memerlukan waktu yang tepat untuk mewujudkannya, misalnya dalam perang.” Berbeda dengan sebagian besar rekan-rekannya yang masih berharap bahwa dengan membeli tanah dan rumah secara masif mereka akan dapat mencapai tujuan mereka, Ben-Gurion telah lama memahami bahwa ini tidak akan pernah cukup. Dia menyadari sejak awal bahwa negara Yahudi hanya bisa dimenangkan dengan kekuatan fisik, tetapi perlu menunggu momen yang tepat untuk melancarkan aksi militer untuk mengatasi realitas demografis di lapangan: keberadaan mayoritas penduduk asli non-Yahudi.

Gerakan Zionis, di bawah kepemimpinan Ben-Gurion, dengan cepat mempersiapkan diri untuk potensi pengambilan tanah dengan cara paksa jika diplomasi gagal. Persiapan ini melibatkan pembentukan organisasi militer yang efektif dan pencarian sumber daya keuangan yang lebih besar (yang mereka peroleh dari Diaspora Yahudi). Pembentukan korps diplomatik juga menjadi bagian penting dari persiapan global ini, semuanya ditujukan untuk mewujudkan negara Yahudi di Palestina melalui kekuatan militer.

Organisasi paramiliter utama komunitas Yahudi di Palestina didirikan pada tahun 1920 terutama untuk melindungi orang-orang Yahudi yang mendirikan koloni di antara desa-desa Palestina. Namun, dengan bantuan perwira Inggris yang simpatik, organisasi ini berubah menjadi kekuatan militer yang akhirnya mampu mewujudkan rencana Zionis untuk mengambil alih Palestina melalui kekuatan militer dan melakukan pembersihan etnis terhadap penduduk asli. Perwira khusus, Orde Wingate, bertanggung jawab atas transformasi ini. Ia membuat para pemimpin Zionis lebih memahami bahwa gagasan kedaulatan negara Yahudi harus erat kaitannya dengan militer dan tentara, tidak hanya untuk melindungi jumlah koloni Yahudi yang terus bertambah di Palestina, tetapi juga—yang lebih penting—karena tindakan agresi bersenjata efektif sebagai pencegah potensi perlawanan oleh penduduk Palestina setempat.

 

Ditugaskan ke Palestina pada tahun 1936, Wingate berhasil menghubungkan pasukan Haganah dengan pasukan Inggris selama Pemberontakan Arab (1936–39), memungkinkan orang Yahudi untuk menerapkan taktik serangan yang telah diajarkan kepada mereka di pedesaan dan belajar lebih efektif apa yang seharusnya dilakukan dalam “misi punitif” ke desa-desa Arab. Haganah juga mendapatkan pengalaman militer berharga selama Perang Dunia II, ketika banyak anggotanya menjadi sukarelawan Inggris. Sementara itu, yang lainnya yang tetap di Palestina, terus memantau dan menyusupi sekitar 1.200 desa Palestina yang telah berdiri di pedesaan selama ratusan tahun.

Proyeksi Pendataan Desa-Desa Arab

Gerakan Zionis, dipimpin oleh Ben-Gurion, tidak membuang waktu dalam menyiapkan aksi pengambilan tanah secara paksa jika diplomasi gagal. Persiapan ini mencakup pembangunan organisasi militer efisien dan pencarian sumber daya keuangan yang lebih besar (yang diperoleh dari Diaspora Yahudi). Selain itu, pembentukan korps diplomatik juga menjadi bagian penting dari persiapan yang ditujukan untuk mewujudkan negara Yahudi di Palestina melalui kekuatan militer.

Pada tahun 1940, seorang sejarawan muda dari Universitas Hebrew bernama Ben-Zion Luria, yang saat itu bekerja di departemen pendidikan Agensi Yahudi, badan pemerintah Zionis di Palestina, menyarankan perlunya melakukan pendataan rinci terhadap semua desa-desa Arab. Untuk mewujudkan hal ini, ia menyarankan Jews National Fund (JNF) untuk melaksanakan proyek tersebut. “Pendataan tersebut akan sangat membantu dalam proses pembebasan (baca; perampasan) tanah ini!” tulisnya dalam surat yang ia tujukan pada JNF. JNF, yang didirikan pada tahun 1901 dalam Kongres Zionis kelima, adalah alat utama Zionis untuk kolonisasi Palestina.

Meskipun berusaha keras, JNF belum sepenuhnya berhasil mencapai tujuannya, yakni pengadaan tanah untuk orang Yahudi. Sumber daya keuangan yang terbatas, perlawanan Palestina yang sengit, dan kebijakan Inggris menjadi penghalang. Akibatnya, pada akhir Mandat pada tahun 1948, gerakan Zionis hanya mampu membeli tidak lebih dari 5,8 persen tanah di Palestina. Namun, Yossef Weitz, kepala departemen pemukiman JNF dan seorang kolonialis Zionis sejati, merasa gembira ketika mendengar tentang ide pendataan desa-desa Arab yang ditawarkan oleh Luria.

Sejumlah besar berkas terperinci secara bertahap dikumpulkan hingga meliputi setiap desa di Palestina. Pada akhir tahun 1940-an, “arsip” tersebut hampir lengkap. Detail yang akurat dicatat tentang lokasi topografis setiap desa, akses jalannya, kualitas tanahnya, dan banyak lagi.

Salah satu kategori penting dalam pendataan ini adalah indeks “hostilitas” (terhadap proyek Zionis). Hostilitas ini misalnya ditentukan oleh tingkat partisipasi desa dalam Pemberontakan Arab 1936–39. Kenyataan bahwa pendataan ini bukan sekadar kegiatan akademis dirasakan betul oleh anggota reguler Haganah yang dipercayakan untuk mengumpulkan data dalam misi “rekognisi” ke desa-desa orang Arab.

Tantangan dalam “bekerja dengan informan” dan membangun sistem kolaborasi dengan mereka yang disebut “orang primitif” yang “menikmati kopi dan makan nasi dengan tangan mereka” telah didokumentasikan dalam berbagai berkas desa. Namun, pada tahun 1943, berdasarkan ingatan Pasternak, pihak Zionis mulai merasa optimis bahwa akhirnya mereka telah membentuk jaringan informan yang efektif. Pada tahun yang sama, berkas desa diatur ulang untuk menjadi lebih sistematis, sebuah inisiatif yang sebagian besar adalah hasil kerja keras Ezra Danin, yang nantinya akan memainkan peran penting dalam pengusiran etnis Palestina.

Rekrutmen Ezra Danin, seorang petani jeruk yang sukses, membantu meningkatkan efisiensi operasi intelijen dan organisasi berkas desa. Berkas setiap desa yang dikumpulkan pasca-1943 mencakup deskripsi rinci tentang peternakan, budidaya, jumlah pohon di perkebunan, kualitas setiap kebun buah (bahkan setiap batang pohon!), luas kepemilikan tanah rata-rata per keluarga, jumlah mobil, nama pemilik toko, anggota bengkel, serta nama pengrajin dan keterampilan mereka.

Selanjutnya, detail cermat ditambahkan tentang setiap klan dan afiliasi politiknya, stratifikasi sosial antara bangsawan dan petani biasa, dan nama pegawai negeri sipil di pemerintahan Mandatory. Kerja keras dalam pengumpulan data menciptakan momentum sendiri, dan sekitar tahun 1945, detail tambahan mulai muncul seperti deskripsi masjid desa, nama imam mereka (dengan karakterisasi seperti “dia adalah orang biasa”), dan bahkan catatan akurat tentang interior rumah tokoh.

Tidak mengherankan, saat berakhirnya Mandat mendekat, informasi menjadi lebih terfokus pada aspek militer: jumlah penjaga di setiap desa (sebagian besar tidak memiliki) dan jumlah serta kualitas senjata yang tersedia bagi penduduk desa (umumnya kuno atau bahkan tidak ada). Danin merekrut seorang Yahudi Jerman bernama Yaacov Shimoni, yang kemudian menjadi salah satu Orientalis terkemuka Israel, dan menempatkannya sebagai kepala “proyek khusus” di desa-desa, terutama untuk mengawasi pekerjaan para informan.

Satu informan, yang diberi julukan “bendahara” (ha-gizbar) oleh Danin dan Shimoni, menjadi sumber informasi bagi para pengumpul data dan mengawasi jaringan kolaborator atas nama mereka hingga tahun 1945, ketika dia terungkap dan dibunuh oleh militan Palestina. Rekan kerja lainnya yang bekerja dengan Danin dan Shimoni adalah Yehoshua Palmon dan Tuvia Lishanski, yang juga terlibat dalam persiapan pengusiran etnis Palestina. Lishanski sudah sibuk pada tahun 1940-an mengatur kampanye untuk mengusir paksa penyewa yang tinggal di tanah yang dibeli oleh JNF dari pemilik tanah saat ini atau yang tidak ada.

Baca juga:  Untuk apa Sekolah Lagi?

Tidak jauh dari desa Furiedis dan pemukiman Yahudi “veteran,” Zikhron Yaacov, di mana sekarang ada jalan yang menghubungkan jalan raya pantai dengan Marj Ibn Amr (Emeq Izrael) melalui Wadi Milk, terletak sebuah desa muda bernama Shefeya. Di sini, pada tahun 1944, unit khusus yang dipekerjakan oleh proyek berkas desa menerima pelatihan mereka, dan dari tempat ini mereka pergi dalam misi pengintaian mereka. Shefeya tampak sangat mirip dengan desa mata-mata dalam Perang Dingin: orang Yahudi berkeliling sambil berbicara bahasa Arab dan berusaha meniru apa yang mereka percayai sebagai adat dan perilaku orang Palestina di pedesaan.

Banyak tahun kemudian, pada tahun 2002, salah satu rekrutan pertama ke basis pelatihan khusus ini mengingat misi pengintaian pertamanya ke desa terdekat Umm al-Zaynat pada tahun 1944. Tujuannya adalah untuk menyurvei desa dan membawa kembali detail tentang tempat tinggal mukhtar, lokasi masjid, tempat tinggal orang-orang kaya desa, siapa yang aktif dalam pemberontakan 1936–39, dan lainnya.

Misi ini tidak berbahaya, karena para infiltrator tahu mereka bisa memanfaatkan kode keramahan Arab tradisional dan bahkan menjadi tamu di rumah mukhtar sendiri. Karena gagal mengumpulkan semua data yang mereka cari dalam satu hari, mereka meminta diundang kembali. Untuk kunjungan kedua mereka, mereka diinstruksikan untuk memastikan mendapatkan gambaran yang baik tentang kesuburan tanah, yang kualitasnya tampaknya sangat mengesankan mereka: pada tahun 1948, Umm al-Zaynat dihancurkan dan semua penduduknya diusir tanpa provokasi dari pihak mereka sama sekali.

Pembaruan terakhir dari berkas desa dilakukan pada tahun 1947. Ini difokuskan pada membuat daftar orang “dicari” di setiap desa. Pada tahun 1948, pasukan Yahudi menggunakan daftar ini untuk operasi pencarian dan penangkapan yang mereka lakukan segera setelah mereka menduduki sebuah desa. Artinya, pria di desa-desa yang diduduki dibariskan lalu mereka yang namanya tercantum dalam daftar akan diidentifikasi, seringkali oleh orang yang sama yang telah memberi tahu tentang mereka pada awalnya, tetapi sekarang mengenakan karung kain di atas kepalanya dengan dua lubang yang dipotong untuk matanya agar tidak dikenali. Pria yang terpilih seringkali ditembak di tempat.

Di antara kriteria orang-orang yang dimasukkan dalam daftar ini adalah terlibat dalam aksi melawan Inggris dan Zionis, keterlibatan dalam gerakan nasional Palestina dan memiliki hubungan dekat dengan pemimpin gerakan, Mufti Haj Amin al-Husayni, atau memiliki afiliasi dengan partainya. Seiring dominasi Mufti dalam politik Palestina sejak Mandat didirikan pada tahun 1923, dan peran prominennya di dalam Komite Tinggi Arab yang menjadi embrio pemerintahan Palestina, pelanggaran semacam itu juga menjadi umum. Alasan lain untuk dimasukkan dalam daftar adalah tuduhan seperti “diketahui pernah pergi ke Lebanon” atau “ditangkap oleh otoritas Inggris karena menjadi anggota komite nasional di desa.” Hasil pemeriksaan berkas tahun 1947 menunjukkan bahwa desa-desa dengan sekitar 1.500 penduduk biasanya memiliki 20–30 tersangka semacam itu.

Yigael Yadin mengingat bahwa pengetahuan yang sangat rinci tentang setiap desa Palestina memungkinkan komando militer Zionis pada November 1947 untuk menyimpulkan dengan percaya diri bahwa “Arab Palestina tidak memiliki orang yang dapat mengorganisir mereka dengan baik.” Satu-satunya hambatan serius adalah Inggris: “Tanpa kehadiran Inggris, kita bisa meredam kerusuhan Arab [dalam menentang Resolusi Pembagian PBB tahun 1947] dalam satu bulan.”

Bersiaplah untuk Pertempuran

Ketika gema Perang Dunia II mulai meredup, gerakan Zionis menemukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana mewujudkan aspirasi negara mereka. Pada tahap ini, jelas bahwa Palestina bukan lagi hambatan yang signifikan bagi ambisi Zionis. Meski Palestina masih mewakili mayoritas populasi di wilayah tersebut, mereka bukan lagi sebuah ancaman militer. Inggris telah memadamkan kepemimpinan dan kemampuan pertahanan Palestina pada tahun 1939 selama Pemberontakan Arab, memberikan gerakan Zionis waktu yang cukup untuk merancang langkah mereka berikutnya.

Pemimpin Zionis juga melihat dengan jelas sikap ambivalen dari negara-negara Arab terhadap situasi Palestina. Dengan demikian, setelah ancaman invasi Nazi ke Palestina hilang, pemimpin Zionis menyadari bahwa satu-satunya rintangan yang tersisa dalam merebut tanah ini adalah kehadiran Inggris. Selama Inggris masih berperang melawan Jerman Nazi, tekanan tidak mungkin dilakukan. Namun, dengan berakhirnya perang dan munculnya pemerintahan Buruh pasca-perang yang mencari solusi demokratis untuk Palestina, jelas bahwa Inggris harus pergi.

Tentara Inggris sebanyak 100.000 orang tetap berada di Palestina pasca perang. Dalam konteks populasi kurang dari dua juta orang, keberadaan mereka merupakan penghalang yang signifikan, bahkan setelah Inggris mengurangi kekuatannya sedikit setelah serangan teroris Yahudi terhadap Hotel King David. Hal ini mendorong Ben-Gurion untuk menyimpulkan bahwa menerima kurang dari 100% dari apa yang diminta dalam program Biltmore 1942 sudah cukup untuk memungkinkan gerakan Zionis memenuhi impian dan ambisinya.

Pada hari-hari terakhir Agustus 1946, Ben-Gurion mengumpulkan pemimpin gerakan Zionis di Royal Monsue Hotel di Paris. Dia meyakinkan anggota yang lebih radikal bahwa 80 hingga 90 persen dari Mandat Palestina sudah cukup untuk menciptakan negara yang layak, asalkan mereka dapat memastikan dominasi Yahudi. Beberapa bulan kemudian, Jewish Agency menerjemahkan pandangan Ben-Gurion ke dalam peta yang didistribusikan kepada pihak yang berwenang untuk menentukan masa depan Palestina.

Dalam agenda Zionist tahun 1946, perjuangan melawan Inggris mendapat titik terang ketika Inggris memutuskan pada Februari 1947 untuk meninggalkan Palestina dan mentransfer masalah Palestina ke PBB. Inggris tak punya banyak pilihan: setelah Holokaus, mereka tidak akan pernah dapat mengatasi pemberontakan Yahudi yang mengintai seperti yang mereka lakukan dengan pemberontakan Arab pada tahun 1930-an. Selain itu, terkait dengan keputusan Partai Buruh untuk meninggalkan India, Palestina kehilangan daya tariknya yang sebagian besar. Pada akhirnya, Inggris mundur dengan tergesa-gesa, tanpa penyesalan.

Seiring berakhirnya tahun 1946, Ben-Gurion, bahkan sebelum keputusan resmi Inggris, telah memahami bahwa Inggris akan segera meninggalkan Palestina. Dengan bantuan timnya, ia mulai merancang strategi yang dapat diaplikasikan terhadap penduduk Palestina segera setelah Inggris meninggalkan wilayah tersebut. Strategi ini kemudian dikenal sebagai Rencana C, atau Gimel dalam bahasa Ibrani.

Rencana C merupakan versi revisi dari dua rencana sebelumnya, Rencana A dan Rencana B. Rencana A, juga dikenal sebagai “Rencana Elimelech,” dinamai sesuai dengan Elimelech Avnir, komandan Haganah di Tel Aviv. Pada tahun 1937, atas permintaan Ben-Gurion, dia merancang petunjuk awal tentang bagaimana mengambil alih Palestina jika Inggris memutuskan untuk mundur. Rencana B dirancang pada tahun 1946, dan tidak lama setelah itu, kedua rencana tersebut digabungkan untuk membentuk Rencana C.

Rencana C, seperti rencana sebelumnya, bertujuan untuk mempersiapkan komunitas Yahudi untuk kampanye serangan yang akan mereka lakukan terhadap Palestina pedesaan dan perkotaan setelah kepergian Inggris. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk “mencegah” penduduk Palestina dari menyerang pemukiman Yahudi dan membalas serangan terhadap rumah-rumah, jalan, dan lalu lintas Yahudi.

Rencana C secara spesifik menyebutkan tindakan pembalasan yang bisa diambil, termasuk menyerang kepemimpinan politik, pendukung keuangan, dan mereka yang bertindak melawan Yahudi serta menyerang perwira senior Arab. Selain itu, rencana ini juga mencakup penyerangan terhadap transportasi Palestina, merusak sumber mata pencaharian, dan target ekonomi vital.

Namun, Rencana C kurang spesifik dalam hal operasional, dan dalam beberapa bulan, rencana baru digarap, yaitu Rencana D (Dalet). Rencana ini adalah yang menentukan nasib penduduk Palestina di wilayah yang dipilih oleh pemimpin Zionist sebagai tanah bagi negara Yahudi di masa depan. Berbeda dengan Rencana C, Rencana D secara langsung merujuk pada parameter geografis negara Yahudi di masa depan dan nasib satu juta penduduk Palestina yang tinggal di wilayah tersebut.

Memasuki akhir tahun 1946, Ben-Gurion telah mempersiapkan strategi tindakan terhadap penduduk Palestina segera setelah Inggris meninggalkan wilayah tersebut. Strategi ini dikenal sebagai Rencana C, atau Gimel dalam bahasa Ibrani. Rencana ini mencakup serangkaian operasi yang melibatkan penghancuran desa-desa, baik melalui pembakaran, peledakan, atau penanaman ranjau di reruntuhan, terutama di pusat-pusat penduduk yang sulit dikendalikan secara permanen. Alternatif lain adalah operasi penyisiran dan pengendalian, yang melibatkan pengepungan desa-desa dan pencarian di dalamnya.

Baca juga:  Kahanisme dan Pandangan Orang Israel terhadap Bangsa Arab-Palestina

Perintah ini berlaku untuk semua desa dalam area operasi, tanpa memandang posisinya atau tingkat perlawanan yang diharapkan. Ini merupakan rencana utama untuk pengusiran semua desa di Palestina pedesaan. Instruksi serupa juga diberikan untuk tindakan yang ditujukan pada pusat-pusat perkotaan Palestina.

Perintah yang diberikan kepada unit di lapangan lebih detail. Negara ini dibagi menjadi zona sesuai dengan jumlah brigade. Setiap komandan brigade menerima daftar desa atau lingkungan di zona mereka yang harus diduduki, dihancurkan, dan penduduknya diusir, dengan tanggal yang ditentukan. Beberapa komandan menambahkan lokasi lain seiring berjalannya operasi mereka. Tetapi sebaliknya, beberapa perintah terlalu ambisius dan tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal.

Tak lama setelah Rencana D ditulis, itu didistribusikan ke komandan dua belas brigade yang sekarang menjadi bagian dari Haganah. Setiap komandan menerima daftar, disertai dengan deskripsi rinci desa-desa di wilayah operasinya dan nasib dekat mereka—pendudukan, penghancuran, dan pengusiran. Dokumen-dokumen Israel yang dirilis dari arsip IDF pada akhir tahun 1990-an menunjukkan bahwa Rencana Dalet diberikan kepada para komandan brigade bukan sebagai panduan yang samar, melainkan sebagai perintah operasional yang jelas.

Instruksi dan daftar desa yang diterima oleh para komandan militer tidak memberikan batasan tentang bagaimana tindakan penghancuran atau pengusiran akan dilaksanakan. Tidak ada ketentuan tentang bagaimana desa-desa dapat menghindari nasib mereka, misalnya, melalui penyerahan tanpa syarat, sebagaimana dijanjikan dalam dokumen umum. Ada perbedaan antara draf yang diberikan kepada politisi dan yang diberikan kepada para komandan militer: draf resmi menyatakan bahwa rencana tersebut tidak akan diaktifkan hingga setelah Mandat berakhir, sementara para perwira di lapangan diperintahkan untuk mulai melaksanakannya dalam beberapa hari setelah diadopsinya. Dichotomy ini merupakan ciri hubungan yang ada di Israel antara militer dan politisi hingga saat ini—militer seringkali memberikan informasi yang keliru kepada politisi tentang niat sebenarnya mereka.

Versi politik dari Rencana Dalet dan direktif militer memiliki tujuan yang sama dalam skema ini. Artinya, bahkan sebelum instruksi langsung diterima di lapangan, pasukan sudah memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang diharapkan dari mereka. Shulamit Aloni, seorang perwira yang juga merupakan pejuang hak sipil Israel yang terkenal dan berani, mengingat bagaimana perwira politik tertentu akan turun tangan dan secara aktif memicu pasukan dengan menggambarkan Palestina sebagai ancaman dan menggunakan Holokaus sebagai acuan untuk operasi yang akan datang, sering kali rencananya akan dilaksanakan sehari setelah proses indoktrinasi telah selesai.

Paradigma Ethnic Cleansing

Dalam buku yang sedang saya siapkan, saya berkeinginan untuk mengeksplorasi proses pengusiran etnis yang terjadi pada tahun 1948, serta sistem pemikiran yang telah membiarkan dunia melupakan dan pelaku untuk menyangkal kejahatan yang dilakukan oleh gerakan Zionis terhadap rakyat Palestina.

Saya berusaha mendukung pandangan bahwa paradigma pengusiran etnis harus menggantikan paradigma perang sebagai landasan untuk penelitian ilmiah dan diskusi publik tentang tahun 1948. Saya percaya bahwa tidak adanya paradigma pengusiran etnis hingga saat ini merupakan salah satu alasan mengapa penyangkalan terhadap bencana tersebut masih terus berlangsung. Bukan karena gerakan Zionis, dalam proses pembentukan negara mereka, melakukan perang yang “tragedi namun tak terhindarkan” yang menghasilkan pengusiran “sebagian dari penduduk asli”. Sebaliknya, tujuan utamanya adalah pengusiran etnis dari tanah yang mereka idamkan untuk negara baru mereka, dan perang adalah hasil dan alat untuk mewujudkannya.

Bagi banyak orang, gagasan untuk mengadopsi paradigma pengusiran etnis sebagai dasar a priori untuk narasi tahun 1948 mungkin terdengar seperti sebuah tuduhan. Dan pada kenyataannya, ini adalah tuduhan saya sendiri terhadap politisi yang merancang pengusiran etnis dan para jenderal yang menjalankannya. Mereka adalah pahlawan perang kemerdekaan Yahudi, dan nama-nama mereka akan sangat dikenal oleh sebagian besar pembaca. Daftar ini dimulai dengan pemimpin tak terbantahkan dari gerakan Zionis, David Ben-Gurion, di rumah pribadinya di mana semua bab dari skema pengusiran etnis dibahas dan disempurnakan.

Dia dibantu oleh sekelompok kecil orang yang saya sebut “Konsultan,” yaitu persekongkolan ad hoc yang dibentuk hanya untuk merencanakan pemiskinan rakyat Palestina. Dalam salah satu dokumen langka yang mencatat pertemuan badan ini, itu disebut sebagai Komite Konsultan—Haveadah Hamyeazet; dalam dokumen lain sebelas nama komite muncul. Meskipun nama-nama ini semuanya dihapus oleh sensor, telah dimungkinkan untuk merekonstruksinya. Kaukus ini mempersiapkan rencana pengusiran etnis dan mengawasi pelaksanaannya sampai tugas mengusir setengah dari penduduk asli Palestina selesai. Itu termasuk terutama perwira peringkat tertinggi dari angkatan bersenjata negara yang akan datang, seperti Yigael Yadin dan Moshe Dayan yang legendaris. Mereka bergabung dengan figur yang kurang dikenal di luar Israel tetapi kuat dalam etos lokal, seperti Yigal Alon dan Yitzhak Sadeh, diikuti oleh komandan regional seperti Moshe Kalman, yang membersihkan wilayah Safad, dan Moshe Carmel, yang mencabut akar sebagian besar Galilea.

Yitzhak Rabin beroperasi baik di al-Lyyd dan Ramleh, maupun di daerah Yerusalem yang lebih besar. Shimon Avidan membersihkan selatan; bertahun-tahun kemudian Rehavam Ze’evi, yang berjuang bersamanya, berkata dengan kagum bahwa dia “membersihkan barisannya dari puluhan desa dan kota.” Juga di front selatan adalah Yitzhak Pundak, yang memberitahu Ha’Aretz pada tahun 2004, “Ada dua ratus desa [di front] dan mereka hilang. Kami harus menghancurkannya, jika tidak kita akan memiliki orang Arab di sini [yaitu di bagian selatan Palestina] seperti yang kita miliki di Galilea. Kami akan memiliki satu juta Palestina lagi.”

Para perwira militer ini berinteraksi dengan apa yang sekarang kita sebut sebagai “Orientalis”: para ahli yang memiliki pengetahuan luas tentang dunia Arab pada umumnya, dan Palestina khususnya, baik karena mereka berasal dari tanah Arab atau karena mereka adalah sarjana di bidang studi Timur Tengah. Beberapa di antara mereka adalah perwira intelijen di lapangan selama periode krusial ini. Mereka bukan hanya pengumpul data tentang “musuh,” namun juga perwira intelijen ini memainkan peran penting dalam persiapan pembersihan etnis. Bahkan, beberapa di antara mereka secara pribadi terlibat dalam beberapa kejahatan terburuk yang menjadi bagian dari pemiskinan sistematis orang Palestina. Mereka memiliki wewenang akhir untuk menentukan desa mana yang akan dihancurkan dan warga desa mana yang akan dieksekusi.

Dalam memori para korban selamat Palestina, mereka adalah orang-orang yang, setelah sebuah desa atau lingkungan diduduki, menentukan nasib para petani atau penduduk kota, yang bisa berarti penahanan atau kebebasan, atau bahkan menentukan antara hidup dan mati. Operasi mereka pada tahun 1948 diawasi oleh Issar Harel, yang kemudian menjadi kepala pertama Mossad dan Shin Bet, layanan rahasia Israel.

Meski saya menyebut nama-nama mereka, bukan berarti tujuan saya adalah untuk mengadili mereka secara anumerta. Sebaliknya, tujuan saya, baik di sini maupun dalam buku saya, adalah untuk memberikan dimensi kemanusiaan pada para pelaku kejahatan sekaligus para korban: saya ingin mencegah kejahatan yang dilakukan Israel diatributkan pada faktor-faktor abstrak seperti “keadaan,” “tentara,” atau sebagaimana dikatakan oleh Benny Morris, “la guerre comme la guerre,” dan referensi samar lainnya yang membebaskan negara-negara berdaulat dari tanggung jawab dan memberikan individu hati nurani yang jelas.

Saya menuduh, tetapi saya juga bagian dari masyarakat yang dihukum. Saya merasa bertanggung jawab dan bagian dari cerita ini. Namun, seperti banyak orang lain di masyarakat saya, saya percaya bahwa perjalanan menyakitkan ke masa lalu adalah satu-satunya jalan ke depan jika kita ingin menciptakan masa depan yang lebih baik bagi kita semua, baik rakyat Palestina maupun Israel.

*Diterjemahkan oleh Ayub dan ‘Aabidah Ummu ‘Aziizah dari artikel yang ditulis Illan Pappe.

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar