Santri Cendekia
Home ยป Konsep Mitigasi Bencana dalam Kisah Nabi Yusuf as

Konsep Mitigasi Bencana dalam Kisah Nabi Yusuf as

Kita tentu tidak berekspektasi terlalu tinggi bahwa negara kita memiliki seorang menteri atau penasehat presiden yang memiliki keahlian tafsir mimpi seperti seorang Yusuf as. Tapi setidaknya, di dalam kisah Nabi Yusuf as, kita memahami bahwa mitigasi bencana yang efektif akan tercipta ketika ada cross function yang baik antara kelompok cerdik cendekia/ intelektual/ seorang pakar dengan para birokrat sebuah negara.

Meski mungkin kebanyakan pembaca sudah mengetahui kisah ini, namun akan saya review sedikit kisah Nabi Yusuf as yang akan kita ambil ibrohnya.

Kita tahu, salah satu sebab Nabi Yusuf as di bebaskan dari penjara kerajaan Mesir adalah ketika beliau berhasil menafsirkan mimpi raja yang membuat raja gelisah.

Raja bermimpi melihat 7 sapi gemuk dimakan oleh 7 sapi kurus, dan raja juga melihat 7 bulir gandum yang hijau dan 7 bulir gandum yang kering. Para peramal kerajaan menganggap mimpi tersebut hanya sekedar mimpi. Namun raja tak puas, hingga akhirnya seorang pelayan raja yang dulu pernah dipenjara bersama Yusuf as pun teringat dengan keahlian Yusuf as.

Raja pun memerintahkan untuk memanggil Yusuf as, dan Yusuf as menafsirkan bahwa mimpi raja tersebut artinya bahwa kerajaan mesir akan mengalami 7 tahun masa subur, yang diikuti dengan 7 tahun masa paceklik. Oleh karena itu, ketika masa subur datang, Yusuf as berpesan agar raja mengajak rakyat untuk tidak berfoya foya dan mempersiapkannya untuk 7 tahun masa paceklik di depan.

Raja mempercayai tafsir mimpi Yusuf as, dan mengeluarkan kebijakan untuk mencegah terjadinya bencana di masa paceklik tersebut. Akhirnya Yusuf as diangkat menjadi bendaharawan Mesir, dan Mesir pun dapat melalui bencana kekeringan tersebut dengan baik.

Dari kisah ini kita bisa mengambil hikmah, bahwa peran seorang cerdik cendekia seperti Yusuf as, dan peran sigap dan mitigatif seorang birokrat seperti Raja Mesir diperlukan sebuah negara untuk menghadapi berbagai bencana di masa depan yang terprediksi dengan pendekatan pendekatan disiplin ilmu tertentu.

Baca juga:  Epistemologi Pendidikan Pancasila Menurut Adian Husaini

Jika kita qiyaskan di jaman ini, peran Yusuf as diibaratkan peran para saintis dan pakar di bidangnya. Berbagai pertimbangan dan prediksi para saintis dan pakar itu penting sebagai titik tolak pengambilan kebijakan tertentu oleh para birokrat yang memimpin sebuah negara.

Musibah akan terjadi jika para birokrat enggan mendengarkan masukan masukan para saintis dan pakar di bidangnya. Seperti yang baru hangat ini, musibah wabah Covid-19 yang terjadi di negeri ini.

Ketika dunia diguncang oleh wabah covid-19, dan pakar epidemiologi sudah mengingatkan bahwa indonesia tak mungkin “zero case” dengan berbagai pertimbangan keilmuan, sebagian besar birokrat yang harusnya bersikap sigap, mitigatif, dan antisipatif malah bersikap lalai, meremehkan, dan mengambil kebijakan kebijakan yang kontraproduktif seperti mengekspor masker besar besaran, mempromosikan wisata, dan tak menutup lajur keluar masuk negara. Ditambah lagi dengan gestur gestur yang tak pantas dan malah berkelakar soal wabah Covid-19 ini yang masuk ke dalam rekam digital. Kita semua pun tahu dan merasakan bagaimana imbasnya sekarang. Yang terakhir kita malah mendengar anggaran kemenristek dipangkas dari 42 triliyun menjadi 2 triliyun. Yah kita sedikit banyak jadi tahu bagaimana penghargaan dan perhatian negara kita sekarang terhadap ilmu pengetahuan.

Semoga tulisan ini menjadi pencerah bagi kita semua, kehancuran itu pasti terjadi pada sebuah penyelenggara negara yang tak mau lagi mendengar pendapat para pakar dan hanya mementingkan kepentingan kepentingan tertentu.

Sebagai generasi muda, kita tidak perlu melanjutkan tabiat yang tidak baik ini, apalagi sampai ikut ikutan tak menghargai kepakaran seseorang. Kesombongan itu bukan hanya ketika kita meninggikan diri, meletakan posisi orang lebih rendah dari seharusnya juga sebuah kesombongan, dan yang paling penting, itu bentuk kebodohan. Karena begitulah tabiat orang bodoh, bagaimana ia bisa menghargai kadar seseorang, sedangkan ia sendiri tak mampu mengukur kadar dirinya sendiri.

Baca juga:  Hukum 'Shaf Distancing' demi Meminimalisir Penyebaran Virus Covid-19

Allahu a’lam

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar