Santri Cendekia
Home » Kontestasi Otoritas Keagamaan: Artis Hijrah vs Ulama

Kontestasi Otoritas Keagamaan: Artis Hijrah vs Ulama

Oleh: Aegir Kemal

Islam sejatinya agama yang rahmatan lil ‘alamin. Kehadiran Islam menjawab semua permasalahan dan keresahan yang terjadi di masyarakat. Umat muslim yang baik, seharusnya menjadikan prinsip bahwa dengan ber Islamlah semua problematika, kesenjangan sosial, dan seluruh kerusakan ini dapat selesai. Sebagaimana firman Allah ta’ala di dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’: 107 dengan redaksi sebagai berikut:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya:”Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad Saw), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Memahami agama Islam tidak perlu dilakukan semua orang. Jika semua hanya memperdalam Islam, bagaimana dan siapa yang menjalankan tugas-tugas pemakmuran bumi dengan cabang-cabang keilmuan lain. Sudah menjadi pembagain tugas sendiri dari umat manusia ada yang merelekan dirinya untuk memperdalam dan menuntut ilmu agama. Sebagaimana yang termaktub di dalam al-Qur’an surat at-Taubah: 122, Allah berfirman:

۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Sehingga adanya Asatidz dan Asatidzah, Alim dan Ulama menjadi solusi dan jawaban dari kegelisahan dan kebingungan umat. Maka bagi setiap umat muslim yang sedang memiliki permasalahan, memiliki keluh kesah, dan hal-hal lain yang harus diselesaikan seyogyanya bertanya kepada ahlinya (Alim dan Ulama). Sebab hal demikianlah yang dituntunkan di dalam Islam, sebagaimana firman Allah ta’ala an-Nahl: 43. Allah berfirman:

Baca juga:  Antropologi Mimpi: Studi Amira Mittermaier tentang Mimpi Masyarakat Mesir

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

Apakah diksi ini hanya dikhususkan kepada Nabi saja atau berlaku pada Ulama dan Ahli Ilmu? Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, diriwayatkan Mujahid dari Ibnu Abbas Ra bahwa yang dimaksud Ahlu Dzikri adalah Ahli Kitab pada masa Rasulullah Saw.

َهَكَذَا رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ الْمُرَادَ بِأَهْلِ الذِّكْرِ: أَهْلُ الْكِتَابِ. وَقَالَهُ مُجَاهِدٌ، وَالْأَعْمَشُ.

Selain itu Ibnu Katsir mengutip perkataan Abi Ja’far al-Baqir, beliau berkata:

قَوْلُ أَبِي جَعْفَرٍ الْبَاقِرِ: “نَحْنُ أَهْلُ الذِّكْرِ” -وَمُرَادُهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ أَهْلُ الذِّكْرِ-صَحِيحٌ، فَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ أَعْلَمُ مِنْ جَمِيعِ الْأُمَمِ السَّالِفَةِ، وَعُلَمَاءُ أَهْلِ بَيْتِ الرَّسُولِ، عليهم(٥) السلام والرحمة، من خَيْرِ الْعُلَمَاءِ إِذَا كَانُوا عَلَى السُّنَّةِ الْمُسْتَقِيمَةِ

“Kita adalah Ahlu Dzikri.” (Abu Ja’far al-Baqir)

Kemudian Ibnu Katsir menjelaskan:”Adapun maksud (Abu Ja’far al-Baqir) bahwa umat ini Ahlu Dzikri adalah sahih. Maka sesungguhnya umat ini adalah paling tahu dari seluruh umat-umat terdahulu. Dan adapun Ulama ahlu bait Rasulullah Saw itu sebaik-sebaiknya ulama jika mereka menegakkan dan berjalan di jalan sunnah Nabi Muhammad Saw.”

Berdasarkan paragraf diatas, maka jelaslah ulama yang merupakan pewaris nabi dan termasuk Ahlu Dzikri yang mempunyai hak otoritatif dalam berpendapat dan menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan agama Islam.

Lantas apa yang dimaksud dengan tulisan ini? Penulis mengangkat tulisan ini disebabkan banyak dari Influencer (orang-orang) berpengaruh baik dari golongan artis, konten kreator, dan selebgram yang berfatwa tentang permasalahan agama tanpa memiliki keilmuan yang valid, kredibel dan jelas. Di sisi lain, ada juga artis-artis yang  baru hijrah dengan semangat dakwah tinggi berfatwa dan memaparkan penjelasan kepada masyarakat tanpa mendalami permasalahan dalam ilmu agama secara kaffah.

Baca juga:  Dari Demokrasi Islami ke Demokrasi Muslim: Memahami Perubahan dalam Pemikiran Politik Islam (3)

Maka sebaiknya para influencer, artis, dan orang-orang yang memiliki hak otoritatif berbicara lebih hati-hati dalam berbicara dan berpendapat tentang agama. Sebab banyak ancaman yang hadir melalui hadis Rasulullah Saw bagi orang-orang yang menyampaikan sesuatu tidak sesuai dengan faktanya, ataupun bahkan hal yang lebih parah adalah menyesatkan masyarakat. Adapun hadis pertama, diriwayatkan Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda:

عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار. [متفق عليه]

Artinya:”Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka siapkan tempat duduknya dari api neraka.” Muttafaq Alaih

Disisi lain, terdapat sebuah hadis diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا. رواه مسلم

Artinya:”Barang siapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” Hr. Muslim

Sehingga bagi para influencer, artis dan tokoh-tokoh yang mempunyai hak otoritatif berpendapat dan berbicara, jika ditanya permasalahan agama seyogyanya mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alim Ulama yang memang memilik hak dan otoritas berbicara pada permasalahannya. Hal ini sebagai ikhtiyat (hati-hati) agar tidak terjadi dosa jariyah. Sebab, ancaman yang disampaikan Rasulullah Saw sudah jelas tentang permasalahan hak berfatwa tentang agama ini.

Larangan memilih pendapat menyimpang

Masyarakat umum yang tidak memiliki kapabilitas dan keilmuan dalam ilmu agama, seyogyanya memilih pendapat yang paling kuat dan disampaikan oleh mayoritas ulama. Pendapat yang disampakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia), Majelis Tarjih dan Tajid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dewan Bahtsul Masa’il Nahdahatul Ulama, dan lembaga lain yang memiliki kewenangan dalam berfatwa. Pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut adalah pendapat Mu’tamad (Pendapat yang dijadikan pegangan kuat). Sebab pendapat yang disampaikan adalah hasil ijtihad bersama.

Baca juga:  Konflik Palestina-Israel bukan Perang tapi Pembersihan Etnis

Sementara yang terjadi sekarang adalah masyarakat lebih memilih pendapat ijtihadi ulama dibandingkan dengan pendapat mu’tamad yang dipaparkan ulama. Jangan sampai hanya demi nafsu kita memilih pendapat sesuai keinginan kita.

Aegir Kemal

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar