Santri Cendekia
Naquib al-Attas
Home » Kritik Atas Konsep Ta’dib Syed Naquib al-Attas

Kritik Atas Konsep Ta’dib Syed Naquib al-Attas

Apakah penyebab utama kemunduran ummat Islam?, dan langkah apa yang harus ditempuh untuk membangkitkannya kembali?. Kedua pertanyaan ini telah menjadi kegelisahan banyak ulama dan cendekiawan Islam. Sejak masa kebangkitan pasca-kolonial para ulama dan cendekiawan telah berusaha mencari sebab kemunduran ummat Islam dan berupaya merumuskan langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan kebangkitan dunia Islam.
Beragam jawaban dan gagasan ditawarkan, salah satunya adalah masalah pendidikan. Beberapa cendekiawan Islam meyakini bahwa masalah utama ummat Islam adalah masalah pendidikan, mereka lalu menawarkan gagasan mereka untuk membangkitkan kembali ummat Islam dari keterpurkannya dengan jalan pendidikan. Salah satu cendekiawan yang terkenal dalam hal ini adalah Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas.
Untuk  membaca atau katakanlah menyicipi konsep ta’dib al-Attas ini, kami memakai karya Drs. Kemas Badaruddin, M.Ag yang bersifat  analitik kritis terhadap pemikiran pendidikan al-Attas. Karya tersebut aslinya adalah hasil riset Kemas untuk memenuhi tugas akhir pada program pasca sarjana di IAIN Ar-Raniri Banda Aceh  yang kemudian dibukukan . Riset ini mencakup pembahasan pada tiga point.
1.      Reformulasi konseptual filosofis yang dibuat oleh al-Attas berkaitan dengan konsep-konsep seputar manusia, tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
2.      Esensi gagasan al-Attas tentang ilmu, system dan tujuan pendidikan. Serta,
3.       Bagaimana aktualisasi konsep pendidikan   yang dibgangun oleh al-Attas dalam konteks rekonstruksi pendidikan Islam.
Konsep mengenai hakikat manusia adalah bahasan penting dalam filsafat pendidikan sehingga tentu saja al-Attas juga membahasnya. Dalam Islam hakikat manusia setidaknya ada dua yakni sebagai abdun atau hamba yang wajib mengabdi kepada Allah ta’ala dan khalifah fil ardi atau wakil-Nya dalam memakmurkan Bumi. Maka seluruh system pendidikan harus diarahkan untuk mendukung kedua hal tadi.
Mengenai terma tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, gagasan al-Attas berbeda dari kebanyakan cendikiawan Islam yang lebih memilih istilah tarbiyah untuk pendidikan Islam. Bagi al-Attaas istilah yang paling tepat bagi pendidikan Islam adalah ta’dib. Menurutnya istilah tarbiyah hanya mementingkan kepada fisik material saja dan merupkan pengaruh hidup sekuler lagipula istilah ini juga digunakan untuk makhluk selain manusia padahal pendidikan Islam hanya diperuntukan bagi manusia. Adapun istilah ta’lim juga kurang tepat karena hanya bermakna pengajaran sehingga lebih sempit. Menurut al-Attas terma ta’dib telah mencakup seluruh aspek yang diperlukan dalam pendidikan, dan factor utama yang harus ada dalam pendidikan Islam dan akan menimbulkan bencana jika terlewatkan adalah factor adab.
Pilihannya kepada istilah ta’dib yang lebih sufistik mungkin dipengaruhi definisi al-Attas tentang pendidikan Islam. Di dalam buku ini dijelaskan pengertian pendidikan Islam menurut al-Attas adalah ; pengenalan dan pengalaman yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam diri mausia, tenang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuat tempat Tuhan yang tepat (adil) di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan Islam hanya diperuntukan bagi manusia.
Berdasarkan pengertian diataas maka al-Attas merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah untuk menghasilkan manusia (individu) yang baik, bukan masyarakat yang baik sebagaimana dalam peradaban Barat. Mereka adalah indiviud-individu yang beradab, bijak, yang mengenali dan mengakui  segala tata tertib realitas segala sesuatu termasuk posisi Tuhan dalam realitas tersebut. Sebagai hasilnya mereka akan selalu beramal sesuai kaidah itu sendiri.
Al-Attas memiliki gagasan tersendiri mengenai model universitas Islam dengan segala sistemnya. Baginya suatu universitas haruslah merupakan pencerminan dari seorang insan kamil yaitu Nabi Muhammad saw sendiri dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar. Hasil dari universitas diharapkan seorang individu tidak hanya memandang persoalan dengan kaca mata spesialisasinya saja sehingga tampak parsial tetapi harus secara holistic. Setiap peserta didik sedapat mungkin dikembangkan potensi bawaannya untuk mendekati sosok Nabi Muhammad sebagai insan kamil yang mampu melihat dunia dengan worldview Islam yang tidak parsial.
Dalam universitas tersebut diajarkan dua macam ilmu menurut klasifikasi buatan al-Attas sendiri yakni ilmu yang fardu ain dan fardu kifayah. Macam pertama meliputu ilmu-ilmu agama sedangkan yang kedua adalah ilmu-ilmu capaian manusia berupa ilmu humaniora, terapan, alam, dan teknologi.
Kritik (dan Jawabanya) Atas Konsep Ta’dib
Bagian yang menarik untuk dibahas dari buah pemikiran al-Attas yang dipaparkan dengan kritis oleh penulisnya yakni Drs. Kemas Badaruddin, M.Ag, adalah gagasan Syed Naquib al-Attas tentang pemakaian terma ta’dib dan bukannya tarbiyah atau ta’lim bagi pendidikan Islam.
Gagasan ini telah mendapatkan kritik antara lain dari Cak Nur, menurutnya gagsan penggunaan terma ta’dib itu tidak ada landasannya. Badaruddin Kemas sebagai penulis juga melancarkan kritik serupa yakni minimnya landasan normative bagi terma ta’dib di dalam dua fundamen utama Islam yakni al-Qur’an dan al-Hadist. Kemas lalu mengemukakan satu hadis yang bisa menjadi acuan lalu menyatakan bahwa hadis itupun lemah. Hadis itu berbunyi :
ادبني ربي فاحسن تادبي
 Kemas juga menyatakan bahwa sejauh pengamatannya terma tersebut hanya dipakai untuk pribadi Rasulullah sendiri.
Kritikan Kemas di atas sebenarnya kurang tepat. Kritiknya yang pertama adalah lemahnya hadis ini sehingga tidak legitimatif. Argument ini bisa kita kritik bahwa hadis ini ternyata juga dijadikan hujjah oleh ulama dalam menjelaskan ketinggian akhlak Rasulullah, bahkan Muhammad Rasyid Ridha di dalam tafsir al-Manar memakainya dalam konteks pendidikan (Ridha, 1990 : 152).  Jika memang hadis ini lemah tanpa syawahid ataupun kebenaran makna tentu ulama tidak akan menggunakannya, tetapi  menurut as-Sakhawi meskipun sanadnya munqati  (terputus) karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang tidak diketahui akan tetapi maknanya benar dan terdapat beberapa syawahid untuk hadis tersebut. Sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar hanya menghukuminya gharib berarti sebenarnya tidak terputus tetapi dalam salah satu tingkatan periwyatannya (thabaqat) hadis ini hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja. Abul Fadhl an-Nashr bahkan menshahikhan hadis ini (as-Syarbiniy, 2002 : 5). 
Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa hadis ini tetap bisa dijadikan landasan bagi konsep ta’dib yang ditawarkan  al-Attas. Dengan demikian kritikan yang menyatakan bahwa konsep tersebut tidak berdasar dalam Islam tidaklah tepat. Terlepas dari hal-hal lain yang diperdebatkan mengenai penggunaan terma ta’dib.
Poin kedua dari kritikan Kemas adalah kehususan terma ta’dib bagi pribadi Rasulullah. Sepanjang pencarian kami, sebenarnya penggunaan ta’dib sebagai terma pendidikan juga digunakan bagi orang-orang selain Rasulullah. Diantara hadis-hadis yang menunukan hal itu antara lain :
عن أبي موسى الأشعريِّ رضيَ الله عنه قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: «إِذا أَدَّبَ الرجلُ أمَتَهُ فأحسنَ تأديبَها
Dari Abi Musa Al Asy’ariy  RA ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda “jika seorang lelaki mendidik (ta’dib)budak perempuannya lalu ia memperbaiki pendidikannya…. ”(HR. Ibnu Hibban, No 3986).
هذا أدَّبْتُهُ أُمُّهُ وأنْتَ أدَّبْتَكَ أمُّكَ
Dia telah didik oleh ibunya dan kamu telah dididik oleh ibumu (HR. Muslim, no 66).
Kedua hadis di atas menunjukan bahwa penggunaan kata ta’dib tidak hanya dikhususkan kepada Rasulullah saw saja, tetapi juga kepada pendidikan yang dilakukan kepada putra (hadis 2) dan putrid (hadis 1) kaum muslimin. Jadi dengan sendirinya kritikan yang kedua tadi menjadi gugur.
Tetap Kritis, Lalu Maju. (Epilog)
Sebagai sebuah tawaran pemikiran yang ditawarkan al-Attas, konsep ta’dib tentu saja belum final dan menunggu sejumlah kriritkan yang membangun dari para cendikiawan Islam, terutama mereka yang peduli pada maslah pendidikan.  Diluar sana tentu banyak kritikan yang ditujukan pada al-Attas dan konsep-konsepnya, namun karena keterbatasan kami, jadi yang bisa kita diskusikan dalam tulisan ini hanya dua poin di atas.
Terakhir, tiada gading yang tidak retak, bagaimanapun al-Attas adalah seorang manusia, sedangkan kita semua telah mengenal kaidah dalam keilmuan Islam bahwa semua orang dapat diterima dan ditolak pendapatnya kecuali Sang Nabi nan Maksum. Meskipun al-Attas (dan murid-muridnya) telah membuat kita “bernafas lega” dan “tidak sesak nafas” lagi gara-gara polusi pemikiran para bandit liberal pengekor Barat, kita tidak boleh kehilangan daya kritis ketika membaca mereka,
Suatu hal  yang terpenting adalah jangan pernah merasa puas hanya dengan menjadi pembaca, penyebar, pengagum, apa lagi sekedar pendengar-sepintas atas ide-ide mereka. Jadilah rekan mereka yang sejajar di garis depan perang pemikiran!.
Tentu saja sumber saya BUKAN sumber primer… nih rincian bukunya …. J
Judul   : Filsafat Pendidikan Islam ( Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas).
Penulis   : Drs. Kemas Badaruddin, M.Ag.
Penerbit / Tahun Terbit : Pustaka Pelajar / Oktober  2009.

[1] Aslinya tulisan ini adalah review buku untuk tugas kuliah hehe,,, tapi pas ada tema ta’dib di Seminarnya anak-anak PKU kemarin (yg tidak saya ikuti) jadi relevan lagi untuk di-edit-publish kan.. dan didiskusikan tentu saja… __El-Marhoum__
Baca juga:  Syaikh Ahmad Thayib: Hati-hati Dengan Bahaya Syiah

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar