Santri Cendekia
Home » Tinjauan Alternatif Kritis Terhadap Nomenklatur Jawa Islam Menurut Nancy K. Florida

Tinjauan Alternatif Kritis Terhadap Nomenklatur Jawa Islam Menurut Nancy K. Florida

Oleh: Syamsul Idul Adha

Survey Nancy K. Florida yang dipublikasikan melalui sejumlah artikelnya menyebutkan bahwa dari 1.450 literatur kepujanggaan keraton yang diobservasinya hanya 17 teks yang terkait unsur-unsur pra-Islam yang ditandai dengan penggubahan dari jenis kesusasteraan Kakawin kepada kesusasteraan Jawa Islam, bahkan dari 50 teks yang dianggap bercorak Hindu-Buddha, sebanyak 30 teks sebenarnya merupakan teks Jawa-Islam (Nancy K. Florida, 2019, Jawa Islam di Masa Kolonial, hlm. 43).

Kesimpulan Nancy K. Florida dalam hal ini harus dikritisi secara obyektif dengan membandingkan data-data yang disajikan dari katalog Literatur Jawa dari era 900-1900 A.D. yang disusun oleh Theodore G. Pigaeud dan secara detail mengidentifikasi dan mengklasifikasi perkembangan literatur yang ada termasuk pada permulaan era Islam-Jawa yang memuat teks-teks esoteris yang menunjukkan adanya sintesis antara doktrin Tasawuf Falsafi dan ajaran-ajaran esoteris pra-Islam pada era Majapahit akhir seperti yang ditunjukkan oleh hubungan antara teks Tattwa Jnana Nirmala Nawaruci karya Mpu Siwamurti yang digubah kembali oleh Yasadipura I dalam Serat Bhimasuci melalui konstruksi Semantik dalam naungan konsep teosofi dan metafisik Tasawuf Falsafi.

Demikian pula dengan Suluk Wirid Hidayat Jati yang disusun oleh Ronggowarsito di satu sisi memuat doktrin Martabat Tujuh yang dipengaruhi oleh teks Tuhfatul Mursalah ilā Al-Rūh An-Nabī karya Muhammad ibn Fadlullāh al-Burhanpurī dan juga dapat diduga teks Al-Muntahi karya Hamzah Al-Fansuri yang menurut Drewes pada abad ke-18 M. diterjemahkan di Banten, tetapi di sisi  disertai konsep Punarbhawa (reinkarnasi) dalam konteks dairah (siklus) pencapaian kesempurnaan jiwa manusia dalam proses penyatuan dengan martabat Ahadiyah sebagaimana yang umum dikenal di kalangan Wujudiyah (Margareth & Suminto, 2017, Mengungkap Siasat Walisanga: Mengislamkan Jawa dengan Vedanta, hlm. 87-88).

Selanjutnya, pernyataan Nancy K. Florida perlu dipertanyakan lebih lanjut terkait sebanyak 1.420 teks yang dikategorikan sebagai teks yang “pure” bukan merupakan teks Kejawen ataupun teks-teks dari periode pra-Islam. Berdasarkan katalog Sinopsi yang disusun oleh Theodore G. Pigaeud (Synopsis of Javanese Literature: 900-1900 A.D., 1968, hlm. 80) di bawah subjudul “14.000: The Beginning of The Islamic Period in Java, Javanese Mysticism” (1400 ff) terdiri dari teks 14.010 ff. sampai 15.300 ff. Sementara teks-teks di bawah subketegori “Orthodox Islamic Religious Instruction, Ritual and Theology (Group C)” terdiri dari inventaris 15.710 ff. sampai 16.000 ff. Sebagian kalangan akan keberatan dengan alasan bahwa teks-teks dalam subkategori 16.200, 16.800, dan 17.000 menunjukkan pengaruh dari tradisi Islam secara “pure”.

Setidaknya terdapat dua argumentasi yang dapat diajukan di sini bahwa teks-teks pada kategori 14.000 (14.010 ff. sampai 15.300 ff.) dapat dipandang lebih signifikan dibandingkan subkategori teks-teks berikutnya yang merepresentasikan tahap “kesusasteraan peralihan” yang dalam teori kontinuitas Indianisasi dan Islamisasi menunjukkan adanya proses pemertahanan doktrin pra-Islam dalam teks-teks yang dikembangkan tersebut. Pada sisi yang lain teks-teks pada kategori tersebut dapat ditempatkan seperti yang disarankan oleh Prof. Oman Fathurahman sebagai hubungan dialektis Islamisasi Jawa, dimana tradisi (yang mencakup peradaban pra-Islam di Pulau Jawa) tersintesis melalui interaksi dengan tradisi esoteris Tasawuf Falsafi dan menghasilkan Sintesis Islam-Jawa yang mempertemukan dan mendamaikan pemertahanan tradisi keraton dan tradisi-tradisi Islam tanpa memutuskan hubungan dengan dimensi mistis  (A.H. Johns, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History,” Journal of Southeast Asian History, II (1961), hlm. 19; M. C. Ricklefs, 2014, “Mengislamkan Jawa…,” hlm. 30, 32).

Baca juga:  Khilafah Umawiyah Memboikot Romawi Timur Karena Hina Nabi

Pada sisi yang lain kekeliruan identifikasi Nancy K. Florida pada sebagian besar teks-teks tersebut, terdapat pada kekeliruan asumsinya dalam mengidentifikasikan kategori teks-teks yang secara “pure” merepresentasikan ajaran-ajaran Islam. Seharusnya Nancy K. Florida terlebih dahulu mendefinisikan dimensi “purifikasi” pada teks-teks tersebut berdasarkan ukuran konsep ortodoksi Sunni yang murni yang berakar dari ajaran-ajaran Al-Ghazali sebagaimana direpresentasikan oleh pemertahanan doktrin Islam-Sunni dalam Kropak Ferrara II yang merupakan karya Sunan Giri II Prapen (?) dari Giri Kedaton dengan mengadaptasi terjemahan parsial teks Bidayatul Hidayah yang merupakan teks dasar tasawuf Sunni dari Al-Ghazali (Thomas Michel, “An Early Javanese Code of Muslim Ethics: Review,” Journal of The American Oriental Society 102, No. 1 (1982), hlm. 216).

Teks Kropak Ferrara II dan barangkali juga teks Kropak Ferrara I yang memuat penolakan terhadap ajaran-ajaran Wujudiyah (Manunggaling Kawulo Gusti) Siti Jenar dan dapat diperluas sebagai penolakan ortodoksi Sunni terhadap Sintesis Islam-Jawa, berupaya untuk membangun identitas Islam-Jawa yang murni Sunni dan dengan tegas dan jelas mengidentifikasi perbedaan antara Masyarakat Islam-Jawa yang Sunni dengan tatanan pra-Islam era Majapahit akhir. Teks ini menunjukkan upaya identifikasi perbedaan antara doktrin Islam Sunni dan Kejawen sebagai hasil hubungan dialektis antara Islam dan tradisi Jawa Pra-Islam (Taufik Abdullah, “Di Sekitar Masalah Agama dan Kohesi Sosial: Pengalaman dan Tantangan,” Jurnal Masyarakat & Budaya 11, No. 1 (2009), hlm. 4).

Kriteria ini yang dengan jelas diabaikan oleh Nancy K. Florida dalam kesimpulannya mengidentifikasi teks-teks non-Kejawen yang disebutkannya sebagai teks-teks terbanyak dalam Kepujanggaan Keraton yang menyebabkan bias dalam identifikasi atas kategori-kategori teks yang sebenarnya tidak memuat unsur doktrin Sunni murni seperti yang direpresentasikan oleh Kropak Ferrara I dan II yang secara an sich menentang ajaran-ajaran Kejawen dan sebenarnya merupakan teks-teks hasil Sintesis Islam-Jawa yang bersifat dialektis dalam mempertahankan unsur doktrin esoteris Jawa pra-Islam yang berintesis melalui ajaran-ajaran Tasawuf Falsafi.

Baca juga:  Bagaimana Salaf Ummat Ini Berijtihad?

Permasalahan bias identifikasi Nancy K. Florida terhadap teks-teks Sintesis Islam-Jawa seperti yang dijelaskan sebelumnya juga tidak terlepas dari kekeliruannya dalam memahami relasi Islam dan tradisi Jawa pra-Islam dan proses tahapan-tahapan Islamisasi Jawa. Setidaknya, framework sintesis Islam dan kultur pra-Islam dalam kesusasteraan klasik dianseperti yang ditawarkan oleh Prof. Liaw Yock Fang cukup konklusif dalam mengidentifikasi teks-teks peralihan dari periode Hindu-Buddha ke periode Islam awal dalam kesusasteraan Melayu klasik (Liaw Yock Fang, A History of Classical Malay Literature, 2013, hlm. 142).

Identifikasi serupa turut diajukan oleh Sri Wintala Achmad yang mengemukakan teks-teks kesusasteraan peralihan seperti kategori Suluk Wali, Wujil, Wregul yang dikaitkan dengan ajaran-ajaran para Wali, Lelagon (Tembang Syair) seperti Tambang Ati, Padhang Bulan, dan Ilir-ilir, dan jenis-jenis teks yang dihasilkan keraton seperti Serat Sastra Gendhing karya Sulthan Agung, Serat Wulungreh karya Pakubhuwono IV, Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, dan teks-teks karya Ronggowarsito seperti Serat Paramayoga dan Suluk Wirid Hidayat Jati yang teks-teks ini dapat dianggap dipengaruhi oleh konsep Sufi-Tantrik seperti yang dianjurkan oleh Braginsky dalam konteks perkembangan literatur Islam Melayu klasik (Sri Wintala Achman, Ensiklopedia Kearifan Jawa, 2014, hlm. 81-143; Vladimir Braginsky, “The Manner of The Prophet- concealed, found, reigned,” Indonesia and Malay World 45, No. 132 (2017), hlm. 251-253).

Pemahaman terhadap genealogi Islam-Jawa juga turut menjadi penyebab bias identifikasi Nancy K. Florida terhadap teks-teks kesusasteraan Jawa keraton. Setidaknya terdapat dua  identitas Islam-Jawa yang direpresentasikan oleh Islam-Jawa Sunni  yang tidak dapat diabaikan sebagai hasil peran Islamisasi Giri Kedaton sejak era Sunan Giri I (R. Ainul Yaqin) dan Sunan Giri II Prapen yang mengembangkan teks-teks Sunni Islam seperti Kropak Ferrara I dan II yang tidak terlepas dari ajaran-ajaran ortodoksi Sunni dan berkembang melalui etnografi kalangan Santri (Agus Sunyoto, 2016, Atlas Wali Songo, hlm. 209-215; Clifford Geertz, 2014, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, hlm. 171-182).

Sedankan, identitas Kejawen bersumber dari sintesis Sufi-Tantrik yang tidak terlepas dari peran Sunan Kalijaga dalam mengadaptasi tradisi-tradisi Jawa pra-Islam dan lebih penting lagi peran Sunan Adi putra Sunan Kalijaga yang berperan besar dalam mensintesis antara konstruksi Tasawuf Falsafi (Wujudiyah) dengan ajaran-ajaran Tantrāyana pada era Majapahit akhir dan adanya indikasi melalui riwayat hubungan metafisik yang secara berlebihan dideskripsikan oleh tradisi lisan (oral) kepujanggaan Keraton yang dikonstruksikan dalam Babad Jawi terkait hubungan perkawinan Panembahan Senopati dan Ratu Laut Selatan yang merupakan penanda atas proses sinkretisme dalam doktrin Kejawen (Simuh, 1995, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, hlm. 218-219; *).

Baca juga:  Al-Qur’an dan Angka (Kritik Terhadap Abu Zahra al-Najdi)

Identitas Kejawen seperti yang disebutkan terbentuk dalam sintesis Islam-Jawa, disebabkan penerimaan identitas sebagai Muslim sepenuhnya dan penerapan rukun-rukun Islam secara sempurna disertai sikap penerimaan terhadap realitas adanya kekuatan metafisik atau spritual yang khas Jawa seperti Ratu Laut Selatan dan Sunan Lawu yang tidak terlepas dari unsur-unsur pra-Islam di antaranya seperti Kapitayan dan Tantrāyana (M.C. Ricklefs, 2013, Mengislamkan Jawa,…, hal. 36; Roy E. Jordan, “Tāra and Nyai Lara Kidul…,” Asian Floklore Studies 56, No. (2), hlm. 299-305). Perbedaan di antara kedua identitas Islam-Jawa terletak pada orientasi hubungan antara dimensi eksoterisme yang merupakan aspek normatif Syariat Islam dan dimensi esoterisme yang direpresentasikan oleh aspek kebatinan atau spritualitas substansi ajaran-ajaran Islam.

Pada identitas Islam-Jawa yang Sunni, dimensi eksoterisme lebih dominan dengan menekankan pada ketaatan secara murni kepada ajaran-ajaran Islam, sedangkan pada identitas Kejawen dimensi esoterisme jauh lebih dominan (tanpa mengabaikan Syariat Islam secara an sich) yang ditandai oleh lelaku (Suluk) yang berorientasi pada pemurniaan jiwa dan penyempurnaan kebatinan (Mark R. Woodward, 1985, The Shari’ah and Secret Doctrine: Muslim Law and Mystical Doctrine in Central Java, Disertasi, hlm. 103-105; Ki Ageng Suryomentaram, 1989, Kawruh Jiwa Jilid 1, hlm. 1-2).

Uraian atas bias identifikasi Nancy K. Florida yang berasumsi bahwa para filolog yang obyektif dan saintifik seperti Theodore G. Pigeaud, H.J. de Graaf, dan Cohen Stuart hendak memisahkan antara identitas Jawa dan Islam sepenuhnya merupakan tuduhan tidak berdasar dan tidak sepatutnya. Justru seperti uraian yang telah disampaikan sebelumnya, Nancy K. Florida dan para peneliti yang sejalan dengannya dari aliran Poskolonial disebabkan paradigma mereka yang tidak terlepas dari bias primasi epistemologi dengan sekonyong-konyongnya berupaya menafikan pengaruh Indianisasi dan unsur-unsur kultur Sanskrit dalam pemertahanan literatur Sinkretis Sufi-Tantrik sebagai istilah yang disarankan Vladimir Braginsky dan Sintesis Mistis seperti yang disarankan oleh M.C. Ricklefs.

Upaya Nancy K. Florida yang seolah-olah menentang distorsi dalam diskursus para peneliti barat lainnya yang tidak sejalan dengan pendapatnya, sebenarnya tidak lebih dari pandangan yang berpotensi mendistorsi kesejarahan Islam di Pulau Jawa yang terjalin melalui proses dialektis antara Islam dan tradisi Jawa pra-Islam yang saling mempengaruhi. Untuk itu penelitian terhadap kesejarahan Sintesis Islam-Jawa seperti disarankan oleh Rickelfs dan Woodward tidak sepatutnya dilepaskan dari pengaruh Indianisasi sebagai peradaban antesenden yang menjadi dasar bagi terbentuknya peradaban di Pulau Jawa.

korespondensi dengan penulis : [email protected]

*) Peran Sunan Adi dan Panembahan Senopati dalam mensinkretis antara Islam dan tradisi Jawa pra-Islam dari era Majapahit akhir didasarkan pada teks Babad Tanah Jawa dan Babad Senopati.

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar