Santri Cendekia
Home » Kritik Terhadap Pandangan Jalaludin Rakhmat Tentang Puasa Asyura

Kritik Terhadap Pandangan Jalaludin Rakhmat Tentang Puasa Asyura

Kang Jalal adalah salah satu intelektual Islam Indonesia yang produktif menulis buku pada masanya. Salah satu karnya adalah “Islam Aktual”, sebuah karya yang konon memberikan “pencerahan” kepada beberapa orang yang membacanya. Isinya memang luar biasa, Kang Jalal menelaah ulang terhadap beberapa perkara yang selama ini telah kita yakini bahkan amalkan, lalu ia memberikan kesimpulan mengagetkan betapa keyakinan-keyakinan tersebut ternyata salah.

Metode yang banyak dipakai oleh Jalal dalam bukunya ini adalah kritik matan hadis. Dengan kritik matan tersebut, salah satu amalan yang digugatnya adalah amalan Puasa Asyura. Ia melakukan analisis historis terhadap hadis Ibnu Abbas yang menjadi landasan amalan ini yang kesimpulannya adalah puasa asyura ternyata sesuatu yang tidak jelas asal-muasalnya. Hadis yang menajdi landasannya problematis. Ia lalu berkesimpulan bahwa amalan ini tidak disyariatkan.

Ada apa gerangan? Apakah semua itu ada hubungannya dengan “mazhab” Syiah yang ia peluk mesra? Mungkin juga. Tapi terlepas dari semua itu, mari kita cermati dan telaah tudingan-tudingan Kang Jalal terhadap hadis tersebut yang diklaimnya sebagai buah dari kritik validitas yang lebih dari sekedar kritik otentisitas ala ulama tradisional.

Puasa asyura dianggap oleh kang Jalal di dalam buku tersebut bukanlah sunnah setelah melakukan beberapa analsis terhadap hadis Ibnu Abbas yang populer sebagai landasan sunnahnya pausa asyura. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut ;

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ 

Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa ‘Alaihissalam mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari).

Dari hadis di atas, kang jalal mengajukan beberapa tudingan yang kami kelompokan menjadi lima poin ;

  1. Ibnu Abbas tidak mendengarnya langsung dari Nabi, maka Ibnu Abbas adalah seroang mudallis dan hadisnya adalah hadisnya menjadi lemah.
  2. Hadis ini bertentangan dengan sejumlah hadis tentang puasa asyura dari riwayat Ibnu Abbas sendiri maupun dari sahabat lainnya?
  3. Puasa asyura pada 10 Muharram, padahal Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabilul awal
  4. Mengapa Nabi meniru tradisi Yahudi?
  5. Tidak ada tradisi puasa 10 Muharram dalam agama Yahudi (dari halaman 166 seterusnya)

Tudingan-tudingan di atas akan dibahas satu persatu secara ringkas dalam uraian selanjutnya.

IBNU ABBAS SEORANG MUDALLIS?

Ibnu Abbas dituding telah melakukan tadlis sebab ia belum ada di Madinah ketika Nabi Muhammad saw tiba di sana. Ia ketika itu masih kanak-kanak dan masih tinggal di Mekah. Olehnya Ibnu Abbas pastilah mendaaptkan cerita di dalam hadis tersebut dari sahabat yang lain, tapi Ibnu Abbas tidak menyebutkan nama sahabat tersebut, ia justru langsung merujuk kepada Nabi Muhammad saw, Jalal menganggap tindakan tersebut adalah sebuah tadlis. Sedangkan di dalam ilmu hadis tindakan tadlis dapat membuat status sebuah hadis menajdi lemah. Maka meskipun hadis tersebut terdapat di dalam Sahih Bukhari hadis ini tetap lemah menurutnya.

Permasalahan ini sesungguhnya telah dibahas oleh Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam Thabaqat al-Mudallisin. Menurut Ibnu Hajar, kasus seperti di atas disebut sebagai mursal sahabi dimana memang ada beberapa sahabat yang melakukannya sebab usia mereka yang masih muda, seperti Ibnu Abbas atau Anas bin Malik. Secara kebahasaan, tindakan ini memang sama dengan tadlis. Namun demikian, tindakan ini tidak boleh disbutkan sebagai tadlis. Alsaan yang dikemukakan Ibnu Hajar adalah, pertama istilah tadlis berkonotasi buruk sehingga tidak pantas disematkan kepada para sahabat. Kedua karena memang tadlis hanya disebutkan kepada mereka yang menyembunyikan seorang rawi cacat yang bila disebutkan akan menurunkan kualias hadis tersebut. Tindakan menyembunyikan rawi lemah agar hadisnya diterima adalah praktik yang tidak dijumpai pada masa sahabat.

Baca juga:  Sekali lagi, Perempuan Haid tidak boleh Puasa!

Seorang sahabat, al-Barra’ diriwiyatkan pernah berkata, “tidak semua yang kami sampaikan kepada kalian betul-betul kami dengarkan langsung dari Nabi saw tapi ada yang disampaikan kepada kami oleh sahabat yang lain, dan kami tidak pernah berdusta (atas nama Nabi)”, ucapan senada juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Selain itu sudah jamak diketahui bahwa kebiasaan para sahabat adalah yang hadir menyampaikan pelajaran Rasulullah kepada yang tidak sempat hadir ketika itu. Dalam rangka melakukan hal tersebut, tidak mungkin para sahabat melakukan kedustaan.

Olehnya Ibnu Hajar berkesimpulan bahwa perbuatan para sahabat tersebut tidak sama sifatnya dengan praktik tadlis yang disebutkan di dalam ilmu hadis. Pemeriksaan rawi hanya dilakukan kepada para rawi setelah sahabat sebab sudah menjadi kesepakatan bawa semua sahabat adalah adil sehingga bila mereka tidak disebutkan oleh sahabat lain dalam rantai periwayatan, hadis tersebut tidak akan cacat.

Lebih dari itu, tuduhan bahwa di dalam riawayat hadis ini ada sahabat yang tidak disebutkan antara Rasulullah saw dan Ibnu Abbas ra bukanlah satu-satunya penjelasan terhadap “keganjilan” hadis ini. Ada kemungkinan lain bahwa sebenarnya Ibnu Abbas memang telah mendengarkan hadis ini secara langsung, tapi beliau menceritakan ulang kisah Nabi Muhammad dengan gaya seperti di atas. Bila kejadiannya demikian berarti tuduhan tadlis terhadap Ibnu Abbas tidak tepat. Alternatif penjelasan ini diberikan oleh Dr. Zainuddin MZ di dalam kuliah kami. Beliah adalah guru besar Ilmu Hadis di UMS, UNIDA dan insya Allah sebentar lagi di salah satu Univ di Arab Saudi.

KONTRADIKSI HADIS IBNU ABBAS DENGAN HADIS LAIN

Hadis dari Ibnu Abbas ini dituding bertentangan isinya dengan hadis lainnya tentang pausa asyura. Di dalam hadis ini disebutkan bahwa Nabi mulai melaksanakan puasa asyura setelah tiba di Madinah padahal di hadis-hadis lain disebutkan bahwa beliau tidak sempat melaksakannya sebab umur beliau tidak sampai pada hari asyura tahun berikutnya.  Di hadis lainnya dari Aisyah, disebutkan bahwa Nabi sudah melaksanakan puasa ini sejak masa Jahiliyah. Sedangkan di hadis lain dari Muawaiah disebutkan Nabi memerintahkan puasa asyura pada saat haji wada’.

Dalam menjawab tudingan ini, perlu untuk menyampaikan hadis-hadis yang dimaksud oleh kang Jalal ini. Hadis yang dianggap menyatakan bahwa Nabi tidak sempat melaksanakan puasa asyura sebab umur beliau tidak sampai adalah hadis berikut ;

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنِي إِسْمَعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا غَطَفَانَ بْنَ طَرِيفٍ الْمُرِّيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Hulwani telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepadaku Isma’il bin Umayyah bahwa ia mendengar Abu Ghathafan bin Tharif Al Murri berkata, saya mendengar Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma berkata saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. (HR. Muslim)

Baca juga:  Puasa sebagai Latihan Lawan Oligarki

Di dalam hadis ini disebutkan bahwa puasa yang tidak sempat dilakukan oleh Nabi Muhammad saw karena umur beliau tidak sampai adalah puasa pada hari tasu’ah, tanggal 9 Muharram. Jadi tudingan kang Jalal ini telah keliru, hadis ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadis Ibnu Abbas yang menyatakan Nabi melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram.

Hadis berikutnya yang dianggap bertentangan dengan hadis Ibnu Abbas adalah hadis Aisyah di dalam Sahih Bukhari dan Muslim yang menunjukan bahwa puasa asyura telah dilaksanakan oleh Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah. Hadis tersebut berbunyi ;

حدثنا قتيبة بن سعيد ، حدثنا الليث ، عن يزيد بن أبي حبيب أن عراك بن مالك حدثه أن عروة أخبره ، عن عائشة ، رضي الله عنها ، أن قريشا كانت تصوم يوم عاشوراء في الجاهلية ثم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيامه حتى فرض رمضان وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شاء فليصمه ، ومن شاء أفطر.

Dari Aisyah RA, sesungguhnya orang-orang Quraisy dulu pada masa jahiliyah berpuasa pada hari asyura. Rasulullah pun memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu hingga turunnya perintah wajib puasa Ramadhan. Rasulullah (setelah wajibnya puasa Ramadhan) berkata barang siapa menghendaki maka ia boleh berpuasa asyura sedangkan yang tidak mau puasa maka tidak mengapa. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sekilas memang hadis di atas tampak bertentangan dengan isi hadis Ibnu Abbas, tapi sesungguhnya bila diteliti lebih dalam tidaklah demikian, bahkan kedua hadis ini saling menguatkan tentang sunnahnya puasa asyura. Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam Fath al-Bari menjelaskan hal tersebut[1] ; ketika di Mekah, Nabi Muhammad memang melaksanakan puasa asyura bersama dengan orang-orang suku Quraisy tapi alasan mereka melakukan puasa berbeda dengan alasan orang-orang Yahudi. Menurut Imam al-Qurtubi, sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Hajar, tradisi puasa hari asyura orang-orang Quraisy diwarisi dari ajaran Nabi Ibrahim yang masih bertahan seperti halnya haji. Di dalam hadis Aisyah yang lain disbutkan salah satu sebab spesifiknya bahwa hari itu adalah hari ditutupinya Ka’bah ;

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ  : كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ

Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Orang-orang melaksanakan shaum hari kesepuluh bulan Muharam (‘Asyura’) sebelum diwajibkan shaum Ramadhan. Hari itu adalah ketika Ka’bah ditutup dengan kain (kiswah). Ketika Allah subhanahu wata’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsipa yang mau shaum hari ‘asyura’ laksanakanlah dan siapa yang tidak mau tinggalkanlah”.(HR Bukhari).

Nabi turut melaksanakan puasa pada hari asyura tersebut tentu saja dengan izin dari Allah. Kemudian ketika Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi Madinah juga melakukan puasa pada hari asyura. Rasulullah pun menanyakan hal tersebut sebab sebelumnya beliau melaksanakan puasa asyura  mengikut tradisi Ibrahim yang masih tersisa. Ternyata keterangan dari orang-orang Yahudi Madinah memberikan alasan lain bahwa hari asyura juga terjadi peristiwa diselamatkannya Musa dari Fir’aun. Sebagai penutup risalah para nabi dan rasul, Nabi Muhammad merasa lebih berhak melaksanakan puasa tersebut sehingga ia menegaskan kembali sunnahnya puasa asyura. Demikian penjelasan Ibnu Hajar di dalam al-Fath.

NABI MENIRU TRADISI YAHUDI?

Baca juga:  Tsarid Idaman Nabi

Jawaban untuk gugatan ini sebenarnya telah termuat di dalam penjelasan sebelumnya. Nabi Muhammad sama sekali tidak mengikuti tradisi Yahudi sebab sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi Madinah pun beliau telah melakukan puasa asyura. Selanjutnya, bila kita perhatikan memang ada aspek ibadah umat Islam yang awalnya sama dengan Yahudi lalu berubah ketika ajaran Islam semakin purna pewahyuannya seperti kiblat. Awalnya kiblat umat Islam adalah Baitul Maqdis, lalu berubah menjadi Ka’bah. Puasa asyura masuk dalam kategori ini, awalnya Nabi Muhammad berpuasa pada hari yang sama dengan Yahudi Madinah, tapi selanjutnya beliau memberikan pembedaan seperti ditunjukan dalam hadis Ibnu Abbas yang telah disebutkan di atas dimana beliau ingin puasa pada hari kesembilan tapi umurnya tidak sampai lagi.

PUASA ASYURA PADA 10 MUHARRAM, PADAHAL NABI TIBA DI MADINAH RABILUL AWAL

Keberatan semacam ini hanya didapatkan jika kita memahami hadis Ibnu Abbas di atas dengan memakai terjemahan bahasa Indonesianya. Di dalam hadis tersebut tidak ada indikasi Nabi menanyakan perihal puasa kepada orang-orang Yahudi tepat ketika ia tiba di Madinah. Di dalam riwayat-riwayat yang bercerita tentang peristiwa hijrah atau tibanya Rasulullah di Madinah, tidak ada yang menyebutkan peristiwa percakan beliau dengan Yahudi mengenai puasa asyura. Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan di dalam Fath al-Bari bahwa di dalam ucapan Ibnu Abbas pada hadis itu ada kalimat yang mahdzuf, yaitu kalimat yang tidak disebutkan sebab sudah bisa difahami secara implisit. Kalimat tersebut adalah ;

قدم النبي صلى الله عليه و سلم المدينة فأقام إلى يوم عاشوراء فوجد اليهود فيه صياما

Artinya ; Nabi tiba di Madinah lalu menetap di sana hingga tiba hari asyura (10 Muharram), pada hari itu beliau mendapat orang-orang Yahudi sedang berpuasa.

TIDAK ADA TRADISI PUASA 10 MUHARRAM DALAM AGAMA YAHUDI

Sebenarnya di dalam agama Yahudi terdapat praktik yang memiliki kemiripan dengan puasa asyura, yakni hari Yom Kippur. Hari Yom Kippur terletak pada tanggal 10 bulan ketujuh dalam penanggalan Yahudi. Seorang Yahudi Dr. Eliezer Segal bahkan menyebut hari asyura sebagai “Islamic Yom Kippur” di dalam bukunya yang berjudul “Holidays, History, and Halakhah”. Dr. Eliezer Segal adalah profesor studi agama di   University Calgary yang merupakan pemegang gelar PhD dalam studi Talmud dari Hebrew University Jerusalem. Analisanya tentang puasa asyura dan Yom Kippur juga bisa dibaca di artikel di situs pribadinya di sini. Orang-orang Yahudi menanggap hari Yom Kippur sebagai hari pembebasan dan melakukan puasa pada hari tersebut. Bisa saja masyarakat Yahudi di Madinah pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw merayakan hari tersebut pada bulan Muharram sesuai penanggalan orang-orang Arab sebab mereka telah terasimilasi dengan orang-orang Arab.

Setelah diskusi singkat mengenai buah pikiran dan hasil “kritik matan” ala Kang Jalal terhadap hasis puasa Asyura di atas, kiranya jelsa bahwa tudingan-tudingan beliau mengandung kecacatan. Kecacatan itu Nampak begitu argument-argumen beliau dilatakkan di bawah terang ilmu hadis dan di hadapan sajian fakta sejarah. Yah, hikmah yang diperoleh dari hadirnya tokoh-tokoh seperti beliau ini adalah kita jadi termotivasi untuk kembali membuka-buka turats, mencermati narasi-narasi riwayat, dan berlatih menyusun simpulan yang pas. Lalu tentu saja, sebuah hadis sahih tidak layak langsung kita tolak hanya karena seseorang yang dianggap cendekiawan menafikannya dengan dalih kritik matan, kritik validitas dan sejenisnya.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

1 komentar

Tinggalkan komentar