Santri Cendekia
Home » Kritik Wael Hallaq terhadap Pandangan Edward Said tentang Orientalisme (Bagian II)

Kritik Wael Hallaq terhadap Pandangan Edward Said tentang Orientalisme (Bagian II)

Baca bagian I: Pandangan Edward Said tentang Orientalisme

Dalam kurun waktu empat puluh tahun setelah terbitnya Orientalism, telah banyak karya yang ditulis para intelektual untuk mengkritik Said. Diantara kritik yang diarahkan kepadanya adalah berkenaan dengan falasi esensialisasi atau totalisasi. Para pengkritiknya menganggap bahwa Said telah melakukan generalisasi terhadap orientalisme dan mengabaikan adanya keragaman di dalamnya. Said mengabaikan kontribusi positif orientalisme, khususnya dalam kajian teks, dan mengabaikan adanya kelompok orientalis yang menulis dunia Timur secara positif.

Kritik Wael B Hallaq, sarjana Palestina-Amerika yang dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh Said, juga mengafirmasi kritik ini. Pendekatan all-too-sweeping yang digunakan Said menurut Hallaq telah berlaku tidak adil kepada orientalisme. Ada banyak orientalis kredibel yang sangat berjasa dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka tidak membawa ‘bagasi’ apapun ketika menggambarkan dunia Timur. Hallaq menyayangkan Said yang mengolok-olok orientalis seperti Louis Massignon yang kajiannya tentang tasawuf sangat simpatik.

Secara khusus, Hallaq mengupas satu figur orientalis yang sangat berseberangan dengan apa yang digambarkan oleh Said. Hallaq menjelaskan kontribusi dan posisi Rene Guenon, orientalis dari Perancis yang mengkaji tasawuf dan agama Hindu. Yang menarik dari sosok Guenon, menurut Hallaq, adalah ia tidak hanya berhenti pada pengkajian dan penggambaran kepada publik tentang mistisme dunia Timur. Lebih dari itu, ia menjadikan tradisi Timur yang ia kaji sebagai titik pijak atau materi untuk mengkritik balik dunia Barat. Guenon menjadikan orientalisme sebagai sarana untuk mempelajari nilai dan prinsip etika yang menurutnya telah lama hilang dari dunia Barat terutama sejak memasuki alam modernitas.

Guenon misalnya menulis bahwa dalam sejarah dunia, hanya peradaban Barat lah satu-satunya yang berkembang dengan orientasi materi murni. Guenon mengupas posisi sains di dunia Barat untuk menjelaskan tesis tersebut. Guenon mengatakan bahwa setiap peradaban pada prinsipnya membutuhkan sains. Secara ril juga banyak peradaban yang telah berkontribusi dalam perkembangan sains. Tapi sains Barat lah satu-satunya sains yang tujuan pengembangannya hanya untuk keutungan material, akumulasi harta benda, dan kesenangan fisik an sich. Sains di Barat, kata Guenon, tidak memiliki prinsip (principless) dan arah (directionless), serta tidak terhubung dengan nilai-nilai agama. Karena hilangnya nilai-nilai agama inilah (Guenon menyebutnya a principle of a higher order) maka Barat menjadi rasis, prejudis, selalu merasa superior, dan barbarik.

Baca juga:  Kritik Wael B Hallaq terhadap Fondasi Orientalisme (Bagian III)

Kenyataan sains yang nir-etika tersebut ternyata tidak mengurangi obsesi Barat untuk menguniversalisasikannya kepada kebudayaan lain. Adalah suatu ironi tersendiri menurut Guenon melihat penulis Barat yang menganggap kebudayaannya sebagai puncak peradaban (the pinnacle of civilization) dan memaksa peradaban yang lain untuk mengikuti jalan sejarahnya. Terkait hal ini Guenon membuat sebuah analogi menarik. Barat diumpamakan seperti anak kecil yang baru saja belajar ilmu baru. Ilmu ini diajarkan kepada orang-orang dewasa yang dia anggap bodoh.

Kembali ke kritik Hallaq kepada Said. Ia menyatakan bahwa dengan tidak memberikan apresiasi kepada sisi positif orientalisme dan menganggap bahwa semua orientalis jahat, Said sebenarnya secara tidak langsung telah merendahkan dunia Timur. Ia mengabaikan fakta bahwa dunia Timur memiliki nilai positif yang dapat dipelajari oleh sarjana Barat. Ketika ia mengolok-olok Massignon yang menulis tentang tasawuf, misalnya, Said sebenarnya sedang mengolok-olok tasawuf itu sendiri.

Dengan kata lain, kata Hallaq, Said sendiri tidak ada bedanya dengan para orientalis yang ia kritik. Mereka sama-sama tidak memberikan apresiasi kepada dunia Timur. Ini menurut Hallaq bisa diperhatikan dalam argumen-argumen yang ia tulis dalam Orientalism. Sepanjang lebih dari 300 halaman buku ini, tidak sekalipun Said menyebut kelebihan dunia Timur yang dapat dipelajari Barat. Ini bertolak belakang dengan figur seperti Louis Massignon atau Rene Guenon yang sangat apresiatif terhadap dimensi spiritualitas dunia Timur.

Kerangka Teoretik Alternatif

Sebagaimana telah disebut sebelumnya, Hallaq mengafirmasi kritik yang diajukan oleh beberapa intelektual terdahulu mengenai falasi esensialisasi yang dilakukan Said. Perbedaan Hallaq dari para kritikus tersebut adalah aspek teoretis dari kritik Hallaq. Hallaq tidak berhenti hanya sebatas pada membongkar kelemahan Said, tetapi juga menawarkan suatu kerangka berfikir untuk dapat memposisikan orientalisme secara proporsional.

Baca juga:  Obrolan Random Tentang al-Razi ; Dari Tafsir Hingga Atom

Untuk melihat posisi orientalisme secara lebih adil, dalam pengertian aspek negatif dan positifnya dapat diakui secara simultan, Hallaq mengajukan teori domain atau teori paradigma. Teori ini pada awalnya berasal dari Carl Smith, pemikir politik Jerman yang hidup zaman perang dunia kedua. Namun demikian Hallaq tidak hanya menggunakan teori Smith secara apa adanya, tetapi juga memperbaiki dan merombaknya pada aspek tertentu.

Menurut Hallaq, setiap kebudayaan memiliki dua domain: yang pertama bersifat sentral dan dominan, dan yang kedua bersifat pinggiran. Domain sentral memiliki satu fungsi pokok yaitu menjadi sifat dasar atau karakter utama suatu sistem kebudayaan. Selain itu, domain utama juga berfungsi melahirkan suatu tatanan umum (the order of thing) dalam sistem tersebut. Ia selanjutnya menjadi kekuatan pendorong untuk totalitas entitas yang berada dalam sistem itu. Apa saja yang bekerja dalam suatu sistem akan beroperasi dalam domain yang dominan tersebut.

Sementara itu domain pinggiran adalah pengecualian dari karakter umum dalam suatu sistem. Betapapun hegemoniknya domain utama, domain pinggiran tetap tidak tereliminasi dari sistem tersebut. Ia berwujud sebagai subversi atau perlawanan terhadap domain utama. Ia menjadi sifat anti mainstream dalam sistem kebudayaan. Posisinya dan pengaruhnya sangat kecil.

Hallaq kemudian melanjutkan. Bagi peradaban Barat modern, domain utamanya adalah kapitalisme dan materialisme. Dua paradigma inilah yang menentukan perilaku manusia modern di Barat hari ini. Setiap orang yang hidup dalam dunia Barat sulit mengelak dari dominasi dua paradigma ini. Kapitalisme dan materialisme menggerakan setiap aktivitas manusia yang hidup di dalamnya, baik di bidang politik, ekonomi, maupun di ranah akademik.

Namun demikian, bukan berarti inilah satu-satunya paradigma yang ada di Barat. Cara pandang non materialis tetap eksis pada individu-individu tertentu sebagai pengeculian dari fenomena umum. Mereka ibarat sekrup kecil dalam sebuah sistem teramat besar yang berbeda secara orientasi.

Selain materialisme, domain utama lain dari peradaban Barat menurut Hallaq adalah kekuasaan (power). Ini misalnya direpresentasikan dalam sebuah adagium popular, “knowledge is power”. Tujuan untuk memperoleh pengetahuan sebagaimana diformulasikan oleh Michel Foucault, pemikir Perancis Pos-Strukturalis, adalah untuk berkuasa.  “Knowledge is for subjugation and domination” dalam bahasa Friedrich Nietzsche. Mengetahui adalah menguasai dan merubah dunia.

Baca juga:  Ignaz Goldziher dan Pengkhianatannya Kepada Huruf Alif Lam

Kata Hallaq, paradigma kekuasaan ini berbeda secara diametral dengan paradigma yang dipegang oleh Islam. Bagi peradaban Islam, belajar bukan untuk berkuasa, tetapi untuk meluruskan adab. Dengan kata lain domain sentral dalam Islam adalah etika. Sistem teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf, menurut Hallaq, diarahkan menuju upaya penyempurnaan kapasitas akhlaq seorang individu. Dalam Islam, pengetahuan tidak bersifat Foucauldian dan Gramscian. Inilah alasan mengapa dalam sejarah Islam pra modern tidak ditemukan adanya tehnik-tehnik kontrol (Foucault menyebutnya sebagai biopower) yang diterapkan oleh pemerintah kepada individu-individu di dalam suatu kekuasaan.

Kembali ke teori domain. Menurut Hallaq, teori ini memungkinkan untuk dilakukan dua hal sekaligus. Di satu sisi teori ini memungkinkan peneliti untuk melakukan esensialisasi karakter utama sebuah sistem. Di sisi lain teori ini juga memungkinkan seorang peneliti melihat adanya pengecualian dari karakter umum dalam sistem tersebut. Dengan kata lain, teori ini memberikan ruang untuk dominasi sekaligus resistensi. Kegagalan Said dalam menjelaskan orientalisme secara holistik berawal dari ketidakmampuannya memetakan dan memahami teori domain ini.

Konsekwensi dari kegagalan ini menurut Hallaq bersifat ganda. Pertama, Said tidak melihat adanya resistensi terhadap karakter dasar orientalisme oleh sebagian orientalis. Dengan kata lain, Said gagal memotret dan mengapresiasi figur-figur orientalis yang secara serius mempelajari Timur untuk mengkritik Barat modern. Kedua, Said tidak melihat orientalisme dari akar masalahnya. Said, menurut Hallaq, tidak memahami orientalisme sebagai produk dari domain sentral peradaban Barat. Inilah sesungguhnya yang menjadi kritik paling mendasar dari Hallaq terhadap Said.

Baca bagian III: Kritik Wael B Hallaq terhadap Fondasi Orientalisme

Avatar photo

Muhamad Rofiq Muzakkir

Direktur Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar