Santri Cendekia
Home » Liuk Perjuangan Moderasi Prof Haedar Nashir

Liuk Perjuangan Moderasi Prof Haedar Nashir

Penulis: Ahmad Amiruddin Priyatmaja

Prof. Haedar Nashir, M.Si. dalam memperjuangkan kedamaian dan kesakralan beragama tidak terlepas dari keberhasilannya merangkul sayap kanan dan kiri dalam diri Muhammadiyah. Menginjak umurnya yang ke 66 tahun, persembahan “Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir” menjadi jejak bukti perjuangan beliau menyemai benih kebaikan sehingga para tokoh Nusantara mengenalnya sebagai pribadi yang luhur, berwibawa dan bijaksana.

Sebagai ideolog dan cendekiawan Muhammadiyah, Haedar berhasil menciptakan arena berpikir kritis melalui perkembangan kampus-kampus Muhammadiyah yang megah dan modern. Dalam sesi diskusi dan bedah buku yang diadakan di lantai 4 Auditorium Fisipol UGM pada Selasa (23/04/2024), Haedar menjabarkan problema moderasi kekinian, yang termasuk di dalamnya pembiasan makna “serba boleh” dalam konteks umat beragama.

Dijelaskan, kelompok puritan diperlukan dalam membangun dua sisi positif seorang hamba; pertama, membangun kesalehan universal seseorang; dan kedua, eksplisit membangun kesalehan hamba dalam berbuat baik kepada orang selainnya. Sayap kanan mengartikan wasathiah bukanlah moderat bila ditinjau dari sisi emik. Dalam menengahi ragam buah pikiran di atas, semangat puritan Muhammadiyah disimpulkan sebagai sebuah sikap rasionalitas dengan semangat mengoreksi “amar makruf nahi mungkar”.

Sejatinya, segudang problematika yang dirasakan oleh setiap umat beragama di Indonesia layak menjadi perhatian pemerintah, namun justru diabaikan dan berbalik melimpahkannya ke organisasi-organisasi besar kemasyarakatan layaknya Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.

Lebih merana terasa karena ormas-ormas tersebut hanya diberi PR (pekerjaan rumah) “tugas” namun tidak dengan Rp (Rupiah) “dana”. Untungnya Muhammadiyah dengan semangat al-Mā’un mampu menuntaskan PR tersebut dengan semangat kolaborasi dan pergerakan holistik-integratif berkemajuan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Siti Ruhaini dalam diskusinya sekaligus menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang tebuka dengan apapun yang bermanfaat bagi maslahat umat.

Baca juga:  Hagia Sophia dan Toleransi Standar Ganda

Dibalik kekayaan Indonesia yang melimpah, Pdt. Izzak Lattu mengapresiasi sebuah gerakan “Menyumbang Bagi Indoenesia Lewat Muhammadiyah”, gerakan kepedulian dengan memadukan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya insani yang luwes dan luas. Karakter luwes yang fleksibel dan tidak kaku, lalu luas yang mampu melintasi zaman; tidak terhimpit sekat-sekat sempit.

Pancasila sebagai sacred canopy membutuhkan subjek yang mampu share values ke dalam kehidupan bermasyarakat, lagi share values berguna memperkuat pilar-pilar kebangsaan sehingga akan berdampak signifikan dalam implementasi kandungan nilai-nilai luhur Pancasila. Secara implisit, moderasi beragama merupakan suatu yang sudah mengalir dalam DNA warga Indonesia, bukan milik pemerintah atau ormas tertentu.

Sedikit berbeda, kaum abangan yang kerap “tidak diajak” dalam rembuk kebersamaan dalam hal ini memberi pandangannya, tidak menafikan dan terlepas dari penilaian subjektif, abangan mengemukakan bahwa Haedar adalah sosok yang bijaksana dan penuh kehati-hatian. Demikian salah seorang dari kaum abangan menyebut Haedar “elementator kanonik agama”. Di sini Prof. Dr. Bayu Wahyono mencoba menyandingan Haedar dengan tokoh ideolog nasional juga reformis Islam modern seperti Ahmad Wahib, Gus Dur dan Nurcholis Majid.

Sebagai seorang sosiolog, Haedar mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui ilmu amaliah dan amal ilmiah. Sehingga dalam tesisnya, “Perilaku Politik Elit Muhammadiyah di Pekajangan” Haedar hendak menyerap nilai adab dan moral para elit Muhammadiyah Pekajangan yang berkemajuan agar dapat membumi di dalam diri warga Muhammadiyah. Dr. M. Najib Azca dalam hal ini menegaskan akan pentingnya penelitian yang “TSK” (terstruktur, sistematis dan konstruktif) seperti Haedar yang menjadikan sosiologi sebagai alat baca penelitiannya.

Maka, bila melihat konteks keindonesiaan yang sarat keberagaman dan berkehidupan homogen, permasalahan dan ketidakteraturan pasti akan terus terjadi, “menyelesaikan masalah di tempatnya” adalah jalan terbaik. Haedar memberi nasehat, “Hindari bias, parsial dan reduktif dalam beragama”.

Baca juga:  Mungkinkah Putusan dan Fatwa Tarjih Bertentangan?

 

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar