Santri Cendekia
Home » Mengobati Luka Umat Akibat Lockdown Masjid

Mengobati Luka Umat Akibat Lockdown Masjid

Oleh : Muhammad Azzam Al Faruq*

Ramadhan tahun ini memang terasa berbeda. Tidak seperti Ramadhan tahun-tahun sebelumnya yang penuh hingar bingar euforia ummat muslimin seluruh dunia. Sejak wabah pandemi Covid-19 yang telah mengglobal; menjangkiti seluruh negeri, kegiatan keberagamaan seluruhnya untuk sementara ini tidak dilakukan secara berjamaah. Hingga memasuki bulan suci Ramadhan pun, larangan itu pun masih berlaku. Kendati demikian, masih ada saja beberapa orang yang tetap keukeh melaksanakan kegiatan peribadahan secara kolektif.

Seperti yang dilansir laman portal berita daring Tirto.id tertanggal 27 April 2020 yang memberitakan kejadian kerusuhan di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Latar belakang terjadinya kerusuhan lantaran perasaan tidak terima massa yang dilaporkan oleh seorang warga karena melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid. Massa yang tidak terima atas pengaduan tersebut melakukan pengrusakan bagian depan rumah milik si pelapor yang tepat persis di depan masjid.

Pendekatan mediasi telah dilakukan oleh kedua belah pihak yang dimoderatori oleh pihak RT, RW, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Buahnya telah disepakati beberapa poin yaitu penghapusan aduan yang dilakukan si pelapor yakni H. Aselih via akun twitter anaknya. Massa juga diminta untuk tidak mengulangi tindakan anarkis tersebut dan jikalau masih dilakukan kembali maka akan dialporkan ke pihak berwajib untuk diproses secara hukum.[1]

Berkaca dari kejadian di atas, luka ummat pasca dikeluarkannya fatwa dari sebagian besar ulama’ untuk tidak melaksanakan kegiatan peribadahan secara berjamaah rupanya masih terbuka. Putusan fatwa-fatwa ulama’ yang sebelumnya tentang peniadaan sementara shalat berjamaah dan shalat jum’at di masjid –dalam hal ini Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 14 Tahun 2020- di tengah wabah pandemi Covid-19 yang kembali diperkuat lewat surat edaran Kementerian Agama no. 6 tahun 2020, oleh sebagian kecil pihak tampak tak bergeming mendengar keputusan tersebut. Banyak masjid-masjid yang tetap menyelenggarakan kegiatan shalat tarawih berjamaah, walaupun di daerah yang telah diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Melihat realitas sebagian kecil ummat Islam seperti contoh di atas, mengingatkan kepada kita akan urgensi ‘ilmu’ dalam beragama. Seperti narasi yang hendak penulis bangun, ummat mengalami ‘luka’ akibat penyebaran virus Covid-19 ini. Luka tersebut berwujud rasa sakit hati ummat akan pembatasan ekspresi keberagamaan secara kolektif di ruang terbuka (publik). Hingga memasuki bulan Ramadhan, luka tersebut masih terbuka dan berpotensi semakin menganga jika tidak segera disembuhkan.

Baca juga:  Menduniakan Islam Nusantara ala Ustadz Yusuf Mansur

Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan luka ummat tersebut tak lain adalah dengan ilmu. Ummat harus kembali memahami makna din (agama) yang sebenar. Din tidak hanya menghendaki pemeluknya untuk melakukan peribadatan sebagaimana yang disyariatkan. Namun juga maksud dari beragama itu ada pada agama. Tentu bagi mereka yang pernah belajar Ushu al-Fiqh, tema Maqashid al-Syari’ah mustahil untuk dilupakan. Dan hadis berikut dapat dijadikan refleksi kembali untuk menyelami makna din  yang sesungguhnya.

5730 – حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرٍ – أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ، فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ – فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ»  (رواه البحاري)

Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibn Syihab, dari ‘Abdillah ibn ‘Amir -bahwa ‘Umar keluar menuju Syam, maka ketika ‘Umar di Sharg telah sampai kepadanya bahwa sungguh telah terjadi wabah di Syam- Lalu ‘Abdullah ibn ‘Auf memberitahunya (‘Umar ibn Khattab) bahwasannya Rasulullah saw pernah bersabda: “Apabila kalian telah mendengar dengannya (wabah) di suatu negeri maka janganlah kalian mendatanginya (negeri tersebut), dan apabila di suatu negeri terjadi wabah dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya (negeri tersebut) untuk menyelamatkan diri. (HR. Al-Bukhari no. 5730).

Sebagaimana termaktub dalam Maqashid al-Syari’ah, din menghendaki lima prinsip yang termanifentasikan dalam syari’atnya. Yaitu Hifzhu al-Din (Penjagaan Agama), Hifzhu al-Nafs (Penjagaan Jiwa), Hifzhu al-Aql (Penjagaan Akal), Hifzhu al-Mal (Penjagaan Harta), dan Hifzhu al-Nasl (Penjagaan Keturunan). Dari kelima prinsip agama ini, hadits di atas menjelaskan porsi Hifzhu al-Nafs (Penjagaan Jiwa) yang amat vital dari kelima prinsip yang lain. Mengingat pentingnya nilai jiwa dalam pandangan din sampai-sampai Rasulullah saw mewanti-wanti ummatnya untuk senantiasa menjaga jarak dari wabah.

Selain pada redaksi hadits, konsep Maqashid al-Syariah juga mempengaruhi perkembangan ilmu Ushu al-Fiqh itu sendiri. Yaitu kaedah-kaedah fiqhiyyah yang berperan dalam merumuskan hukum dari suatu permasalahan. Mengenai kaedah-kaedah fiqhiyyah, banyak kitab yang membahasnya panjang lebar. Seperti salah satunya Kitab al-Muwafat karangan Imam al-Syathibiy. Dan mengenai persoalan di atas, kaedah-kaedah fiqhiyyah yang menerangkannya antara lain seperti : Dar’u al-Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih  (Mencegah mafsadat lebih diutamakan daripada mengambil maslahat).

Baca juga:  Jangan Lupa Perhatikan Adab-adab dalam Berpuasa!

‘Ala kulli hal, semuanya berkaitan dengan ilmu. Dengan ilmu semua persoalan dapat diselesaikan. Tidak dengan emosi dan tensi, apalagi dengan teror dan kekerasan. Toh, agama ini juga menghendaki rahmah dan kasih sayang. Semua permasalahan dapat diselesaikan dengan kepala dingin. Dan terkait dengan tindak kekerasan di atas, Allah swt telah berfirman untuk tidak ‘berlebih-lebihan’ dalam agama. Atau dalam bahasa gaulnya, mabuk agama.

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ (سورة المائدة: 77).

Artinya: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Qs. Al-Maidah: 77).

Prof. M. Quraisy Syihab dalam buku terbarunya Wasathiyah; Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama menjelaskan makna ghulluw dalam Al-Qur’an – yang salah satunya ayat di atas- sebagai pelampauan batas dalam agama. Beliau menggambarkan kata ghulluw sebagai ketinggian yang tidak biasa. Arti tersebut terambil dari kata ‘ghaliy’ yang berarti mahal. Makna mahal diartikan demikian karena posisinya yang tidak biasa diantara harga-harga lainnya. Kendati belum sampai kepada puncaknya, makna mahal sudah lebih dari menjelaskan makna pelampauan batas diantara harga-harga biasanya.[2]

Selain dalam redaksi ayat Al-Qur’an, kata ghulluw juga ditemukan dalam redaksi hadist al-Nabawiyyah al-Syarifah.  Sebagaimana Prof. Quraisy Syihab mengutipnya, hadist tersebut menceritakan pada hari pelemparan jumrah.[3]

3029 – حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عَوْفٍ، عَنْ زِيَادِ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ «الْقُطْ لِي حَصًى» فَلَقَطْتُ لَهُ سَبْعَ حَصَيَاتٍ، هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ، فَجَعَلَ يَنْفُضُهُنَّ فِي كَفِّهِ وَيَقُولُ «أَمْثَالَ هَؤُلَاءِ، فَارْمُوا» ثُمَّ قَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ» (رواه ابن ماجه).

Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Ali ibn Muhammad berkata Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari ‘Auf dari Ziyad ibn Khushayni dari Abi al-‘Aliyah dari Ibn ‘Abbas pernah berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: “Di waktu pagi sekali pada hari ‘Aqabah Rasulullah berada di atas untanya lalu bersabda “ambilkan aku batu kecil” maka aku (Ibn ‘Abbas) mengambilkannya tujuh bebatuan kecil,  lalu beliau membersikan debu pada batu-batunya di tangannya seraya bersabda “Seperti inilah yang untuk digunakan melempar” kemudian beliau bersabda “Wahai sekalian manusia hindarilah ghulluw (sifat pelampauan batas) dalam beragama. Karena sesungguhnya yang menghancurkan ummat sebelum kalian adalah sifat ghulluw dalam beragama.” (HR. Ibn Majah no. 3029).

Baca juga:  Siapakah Ulil Amri dalam Penetapan Awal Bulan Hijriyah?

Melihat narasi-narasi di atas, sudah lebih dari sekedar cukup untuk mengatakan bahwa din al-Islam huwa din al-‘Ilmi. Maka tak pelak sampai disini untuk mengatakan pentingnya ilmu sebelum berujar. Selaras dengan narasi diatas, Imam al-Bukhari dalam salah satu babnya menuliskan Bab: al-‘Ilmu Qabla Al-Qauli wa al-‘Amali mengingat pentingnya Ilmu dalam Islam.

So, ummat seharusnya segera berbenah. Ghirah dan spirit beragama perlu juga diiringi dengan pemahaman beragama yang baik lagi mencukupi. Menafikan salah satunya hanya akan menjadikan agama ini pincang. Karena sejatinya, Islam adalah agama yang memuliakan ilmu. Kalimat “Iqra’” pada surah Al-Alaq ayat ke-satu yang menjadi wahyu pertama Baginda Nabi Muhammad saw sudah menjadi barang bukti yang teramat terang.

Oleh karenanya, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi ummat muslim untuk senantiasa akrab dengan ilmu. Sebagaimana hadis yang sangat populer di telinga kita “Thalabu al-‘Ilmi Faridhatun ‘ala kulli Muslimin”. Tanpa ilmu, apa jadinya manusia. Akal yang merupakan anugerah terbesar dari Allah swt kepada manusia hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia, jika tak diisi dengan ilmu. Maka seperti kata pepatah “Lawlaa al-Ilmu lakana al-Nas ka al-Bahaimi”. Tanpa ilmu manusia ibarat seperti binatang ternak. Bahkan bisa jadi lebih buruk, bilamana segala nikmat dan anugerah yang ada (hati, pendengaran dan penglihatan) tidak digunakan dengan sebenar-benarnya. Bal hum adhall ! (Qs. Al-A’raf: 179).

Wa iyyadzu billah.[]

*Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Mahasiswa Universitas Al-Azhar.

[1] Baca selengkapnya di https://tirto.id/di-balik-brutalitas-massa-di-pulo-gadung-membangkang-pbsb-anies-fcTd

[2] M. Quraisy Syihab, Wasathiyyah; Wawasan tentang Moderasi Beragam, (Tangerang: Lentera Hati, 2019), hal. 105.

[3] Ibid, hal. 106.

Muhammad Azzam Al Faruq

Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2019. Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar