Santri Cendekia
Home » Manajemen Krisis ala Nu’aimain (Dua Nu’aim) End Part

Manajemen Krisis ala Nu’aimain (Dua Nu’aim) End Part

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

Nu’aim bin Mas’ud ra, beliau adalah seorang sahabat yang masuk islam di tengah berkecamuknya peperangan ahzab. Nu’aim berasal dari Bani Ghatafan di Nejd, salah satu Kabilah yang tergabung dalam pasukan ahzab. Segera setelah beliau masuk islam, Nu’aim menawarkan diri kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk memenangkan pasukan muslimin. Lalu Nua’im bin Mas’ud pun berangkat hingga mendatangi Bani Quraizhah. Dulu di masa jahiliyah, ia adalah teman bagi mereka. Maka ia berkata, “Wahai Bani Quraizhah, kalian telah mengetahui rasa cintaku terhadap kalian, khususnya apa yang terjadi antara aku dan kalian.” Mereka berkata, “Engkau benar! Engkau bukan orang yang dicurigai di tengah kami.” Lalu ia berkata lagi kepada mereka, “Sesungguhnya Quraisy dan Ghathfan tidaklah seperti kalian. Negeri ini (Madinah) adalah negeri kalian, di dalamnya ada harta, anak-anak dan isteri-isteri di mana kalian tidak mampu berpindah darinya kepada yang lain. Dan sesungguhnya Quraisy dan Ghathfan telah datang untuk memerangi Muhammad dan para Sahabatnya. Kalian telah mendukung mereka melawannya, sedangkan negeri, harta dan istri-istri mereka berada di negeri selainnya. Mereka tidaklah seperti kalian; jika melihat kesempatan, pasti mereka akan memanfaatkannya, dan jika melihat selain itu, mereka akan pergi ke negeri mereka dan membiarkan kalian dan laki-laki itu (Muhammad,) di negeri kalian. Jika laki-laki itu sendirian melawan kalian, niscaya kalian tidak akan mampu melawannya. Karena itu, janganlah berperang bersama kaum itu hingga kalian menjadikan salah seorang tokoh mereka sebagai jaminan sehingga kalian menjadi percaya bahwa kalian berperang melawan Muhammad bersama mereka hingga kalian dapat mengalahkannya.” Mereka berkata kepadanya, “Engkau telah memberikan pendapat yang tepat.”

Kemudian beliau (Nu’aim) pergi dari sisi mereka hingga mendatangi kaum Quraisy. Ia berkata kepada Abu Sufyan bin Harb dan tokoh-tokoh Quraisy yang hadir bersamanya: “Kalian telah mengenal betapa aku mencintai kalian dan memusuhi Muhammad. Sesungguhnya telah sampai kepadaku satu masalah yang menurut pendapatku sudah sewajibnya aku menyampaikannya kepada kalian sebagai nasehat untuk kalian. Karena itu rahasiakanlah hal ini dariku.”

Mereka berkata, “Akan kami lakukan.”

Ia berkata, “Tentu kalian sudah tahu bahwa orang-orang Yahudi menyesali apa yang telah mereka perbuat terhadap perjanjian mereka dengan Muhammad, dan mereka telah mengirimkan surat dengan menyatakan, ‘Kami telah menyesali apa yang telah kami lakukan. Apakah kalian setuju apabila kami mengambil untuk kalian para tokoh terkemuka dari kedua suku; Quraisy dan Gathfan, lalu kami menyerahkan mereka kepada kalian, lalu kami memenggal leher mereka, kemudian kami bersama orang-orang yang hidup di antara mereka akan bersama kalian hingga kita dapat melawan mereka semua?’ Lalu dia (Muhammad) mengirimkan surat lagi kepada mereka dengan jawaban, ‘Ya, kami setuju.” Lalu Nu’aim melanjutkan, “Jika .orang-orang Yahudi (Bani Quraizhah) mengirim utusan kepada kalian untuk meminta beberapa jaminan dari orang-orang kalian, maka janganlah kalian menyerahkan seorang pun kepada mereka.”

Kemudian ia pergi lagi hingga mendatangi suku Ghathafan. Ia berkata: “Wahai orang-orang Ghathafan, sesungguhnya kalian adalah keluarga dan margaku serta manusia yang paling aku cintai. Aku tidak melihat kalian menuduhku (curiga terhadapku).”

Mereka berkata, “Engkau benar! Engkau bukan orang yang dicurigai di tengah kami.”

la berkata, “Simpanlah rahasia ini dariku.”

Mereka berkata, “Kami akan lakukan. Apa gerangan masalahmu?” Lalu ia mengatakan kepada mereka seperti apa yang telah dikatakannya kepada Quraisy, dan memperingatkan dengan apa yang ia peringatkan kepada mereka.

Baca juga:  Perlu Dibaca ! "The Tao of Islam" Kitab Relasi Gender dalam Islam

Merupakan suatu tadbir (pengaturan) dari Allah kepada Rasul-Nya dan orang-orang mukmin untuk mengeluarkan mereka dari cobaan itu di mana Abu Sufyan dan pimpinan suku Ghathfan mengirim utusan kepada Bani Quraizhah. Utusan itu adalah ‘Ikrimah bin Abi Jahal beserta perwakilan dari Quraisy dan Ghathfan. Hal itu terjadi pada malam Sabtu, bulan Syawwal tahun 5 H. Maka mereka (Bani Quraizhah) berkata kepada mereka (para utusan), “Sesungguhnya kami tidak berada di tempat tinggal (bukan di negeri kami sendiri), unta-unta dan kuda-kuda telah binasa. Maka pergilah berperang hingga kita dapat melawan Muhammad dan menyelesaikan masalah antara kita dan dirinya!” Mereka menjawab dengan mengatakan, “Sesungguhnya hari ini adalah hari Sabtu, Ini adalah hari di mana kami tidak melakukan sesuatu pun. Sebagian orang kami telah melakukan suatu perbuatan terlarang, lalu mereka mengalami apa yang sudah tidak menjadi rahasia lagi bagi kalian. Sekalipun demikian, kami bukanlah orang-orang yang akan memerangi Muhammad bersama kalian hingga kalian memberikan kepada kami jaminan dari para tokoh kalian yang berada di tangan kami sebagai jaminan kepercayaan bagi kami hingga kita melawan Muhammad. Sebab sesungguhnya kami khawatir jika perang menewaskan kalian dan pertempuran demikian berat bagi kalian, kemudian kalian kembali dengan cepat ke negeri kalian dan meninggalkan kami sementara orang itu (yakni, Muhammad) berada di negeri kami di mana kami tidak mampu melawannya.”

 

Setelah para utusan kembali kepada Quraisy dan Ghathfan membawa apa yang dikatakan Bani Quraizhah, berkatalah mereka (Quraisy dan Ghathfan), “Demi Allah, sesungguhnya apa yang dikatakan Nua’im bin Mas’ud kepada kalian itu memang benar. Maka kirimlah utusan kepada Bani Quraizhah dengan pernyataan, ‘Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menyerahkan seorang pun dari para tokoh kami kepada kalian. Jika kalian ingin berperang, maka keluarlah, lalu berperanglah!’”

Maka tatkala utusan itu sampai, Bani Quraizhah membalas, “Sesungguhnya apa yang diceritakan Nu’aim tentang kalian memang benar. Orang-orang itu hanya ingin berperang; jika melihat ada kesempatan, mereka akan memanfaatkannya. Dan jika mendapatkan selain itu, mereka akan kembali dengan cepat ke negeri mereka dan membiarkan kami sementara orang itu (Muhammad berada di negeri kami.” Lalu mereka mengirim utusan kepada Quraisy dan Ghathfan dengan mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan memerangi Muhammad bersama kalian hingga kalian memberikan kepada kami jaminan.” Namun mereka menolaknya.

Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 2)

Akhirnya, Allah Ta’ala menurunkan kehinaan di tengah sesama mereka. Mereka akhirnya tidak memiliki kemauan untuk berperang. Lalu Allah mengirimkan kepada mereka angin kencang di malam-malam musim dingin yang teramat sangat. Angin itu menerbangkan periuk-periuk mereka dan memporak-porandakan perkemahan mereka dan akhirnya mereka mengundurkan diri dari peperangan.[1]

Adapaun beberapa kaidah yang bisa kita petik dari kisah ini;

  1. Allah ‘Azza wa Jalla memberikan pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka. Ketika strategi utama dalam perang ini adalah ‘parit’, namun Allah justru memberikan kunci kemenangan dari seorang muallaf yang belum sehari masuk islam. Tugas kita adalah berjuang untuk islam sekuat tenaga. Kemenangan adalah urusan Allah.
  2. Jangan terlalu mendewakan analisis dan perhitungan kita. Karena bahkan seluruh muslimin tidak menyangka permulaan kemenangan datang dengan cara masuk islamnya Nu’aim bin Mas’ud. Sedangkan hari ini, kita sibuk analisis dan beropini sana sini, tapi lupa memantaskan diri di hadapan Allah sebagai generasi pemenang.
  3. Nu’aim bin Mas’ud membuktikan, bahwa bahkan seorang yang baru saja masuk islam dengan belum banyak pengetahuan dan ilmu yang ia miliki, ia sudah sanggup mencantumkan namanya dalam salah satu fase penting dan kritis di masa dakwah Rasulullah. Bukan sebagai figuran melainkan sebagai tokoh kunci. Jangan pernah mudah menjudge dan menilai orang lain hanya karena 1 atau 2 kelebihan kita di atas mereka. Karena kita tidak tahu kepada siapa Allah akan memberikan karunianya. Misalnya, kita sibuk menilai dan mengkritik orang. Padahal orang tersebut terlepas dari lebih dan kurangnya, ternyata sudah banyak mengislamkan orang, dibanding dengan kita yang katanya pintar tapi efek kebermanfaatannya saja masih tak dirasa.
  4. Dalam kondisi perang, berlaku kaidah, “Perang adalah tipudaya.”(Muttafaq ‘Alaih).
  5. Dalam perjuangan dakwah, tidak perlu semuanya menampilkan dan menonjokan afiliasi dan keberpihakannya. Agar musuh islam tidak terlalu memasang ‘mata’ terhadap kita. Nu’aim yang masuk islam tidak terburu-buru mendeklarasikan keislamannya, karena beliau tahu bisa memanfaatkan situasi ini untuk mengelabui Bani Quraizhah dan Pasukan Ahzab.
  6. Jika menyesal merasa terlamabat untuk bertaubat atau berkontribusi kepada Islam. Salurkan penyesalan itu menjadi kekuatan untuk memberikan semua yang kita mampu untuk islam. Abu Hurairah ra bertemu Rasul hanya sekitar 3 tahun. Namun kita tahu betapa banyak hadist sahih yang diriwayatkan oleh beliau. Beliau yang datang ke madinah dengan kondisi miskin dan hidup sebagai ahli suffah pun, kelak Umar angkat sebagai gubernur bahrain karena keutamaannya.
Baca juga:  Jejak Muhammad Abduh dalam Pergerakan Muhammadiyah

 

Allahu a’lam bishshawab

 

[1] Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfury

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar