Santri Cendekia
Home » Manhaj Ushul Fiqh Ibn Taimiyah

Manhaj Ushul Fiqh Ibn Taimiyah

Penulis: Edy Masnur Rahman*

PENDAHULUAN

Kajian tentang ushul fiqh kian hari semakin mengalami perkembangan, dimulai dari pengumpulan kaidah-kaidah yang terpisah menjadi suatu himpunan yang berdiri sendiri dalam satu kitab yang dikarang oleh Abu Yusuf, namun kitab ini tidak pernah sampai kepada kita semua. Selanjutnya masa puncaknya pada masa imam Asy-Syafi’I yang dinobatkan sebagai pencetus ilmu ushul fiqh dengan mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan kajian ilmu ini menjadi suatu kumpulan yang berdiri sendiri, sistematis, dan masing-masing kaidah diperkuat dengan dalil dan segi analisisnya sebagaimana diriwayatkan oleh Rabi’ Al-Muradi.

Selain itu, bermunculanlah banyak mazhab dan manhaj ushul yang beragam, baik yang beraliran sunni maupun syi’ah, namun diantara sekian banyak mazhab yang ada, menurut ahlussunnah wal jama’ah hanya terdapat empat mazhab yang mampu eksis hingga saat ini yaitu  mazhab hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.

Dari keempat mazhab ini, masing-masing memiliki kreatornya semisal Mazhab Hanafi ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah (80-150 H), Mazhab Maliki ialah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Asbahy (93-179 H), dan Mazhab Syafi’i ialah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i (150-204 H), serta Mazhab Hambali ialah Ahmad bin Muhammad bin Hambal (164-241 H). Setiap mazhab pasti memiliki pengikut tak terkecuali mazhab hambali yang mempunyai seorang tokoh  sangat tersohor dan mendapatkan julukan sebagai “syaikhul islam” yakni Ibnu Taimiyyah.

Ibnu taimiyyah bernama lengkap Ahmad Taqiyuddin Abul Abbas bin Syaikh Syihabuddin Abdul Halim bin Syaikh Majduddin Abul Barakat Abdus Salam bin Abu Muhammad bin Abdullah bin Abul Qashim Al-Khadhir bin Ali bin Abdullah Al-Harrani. Beliau lahir pada tanggal 10 rabi’ul awwal tahun 661 H di Harran, beliau wafat pada tahun 728 H. Ibnu Taimiyyah lahir dalam keluarga yang alim, zuhud, wara’, serta setia pada ajaran agama yang puritan dan sangat terikat dengan Mazhab Hambali. Sang ayah yaitu Imam syihabuddin Abdul Halim merupakan seorang syaikh, imam, dan khatib serta seorang kepala sekolah pada madrasah darul hadits As-Sukariyyah,  kakeknya yaitu Syaikh Majduddin Abul Barakat Abdus salam bin Abdullah merupakan ulama mazhab hambali juga merupakan imam qari’, muhaddits, mufassir, ahli ushul, dan nahwu. Maka tidak heran jikalau Ibn Taimiyyah mampu menjadi seorang ulama yang besar dan tersohor.

ada usia yang terbilang sangat muda ia mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya, lalu ia melangkah untuk mempelajari hadits dan musthalah, fiqh dan ushulnya, mantiq, kalam, tafsir, fisafat, aritmatika, teknik, kimia, falak dan ilmu pengetahuan lainnya.

Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 2)

MANHAJ USHUL IBN TAIMIYYAH

Pada saat ini belum ditemukan kitab karangan Ibnu Taimiyyah yang membahas secara langsung mengenai ushul fiqh yang dimana kita mampu dan mudah untuk mengetahui manhaj yang digunakan oleh beliau, tetapi dengan mengekstrapolasi  dari  kitab-kitabnya mengenai tentang akidah, tasawuf, fiqh, tafsir, hadits, mantiq, dll. Kita dapat mengambil gagasan tentang manhaj ushulnya.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Ibnu Taimiyyah terlahir dari keluarga yang bermazhab Hambali dan beliau merupakan sosok ulama yang agung, sehinnga mazhab ini mengalami pembaharuan dan perkembangan menuju lebih baik, lebih kuat pengaruhnya dan lebih banyak tersebar dibandingkan sebelumnya, maka kita dapati bahwa Ibnu Taimiyyah mengikuti manhaj imam Ahmad bin Hambal pada beberapa persoalan, walaupun demikian beliau tidak ta’assub terhadap mazhabnya, tetapi beliau menganggap dirinya sebagai mujtahid fi al-mazhab, sebagaimana imam-imam yang lain, dengan landasan keyakinan bahwa menurut ajaran Islam ia berhak sepenuhnya untuk menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah sebagaimana hak ulama-ulama lain, maka juga penting diketahui antara Ibnu Taimiyyah dan Ahmad bin Hambal juga memiliki perbedaan dalam beberapa manhaj ushulnya.

Ada tujuh manhaj ushul yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah dalam fiqh dan fatwa-fatwanya antara lain:

  1. Al-Qur’an
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’
  4. Qaul sahabat
  5. Qiyas
  6. Istishab
  7. Maslahah murslah
  8. Sadd Adz-Dzri’ah
  9. Al-Urf

Pertama Al-Qur’an, tidak ada keraguan lagi bagi ummat Islam bahwasanya Al-Qur’an itu merupakan hujjah atas kerasulan Nabi Muhammmad SAW. Dan menjadi pedoman dasar yang mencakup akidah, syari’at dan akhlak bagi manusia yang mengikuti petunjuknya serta sarana pendekatan diri yang bernilai ibadah, hal ini sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

Kedua As-Sunnah. Sunnah adalah pedoman kedua setelah Al-Qur’an, Ibnu Taimiyyah membagi sunnah menjadi tiga bagian:

  1. Sunnah yang mutawatir. Yaitu menafsirkan Al-Qur’an secara dhohir, misalnya jumlah shalat dalam sehari semalam, jumlah nisab zakat pada jenis harta berbeda, manasik haji dan umrah beserta tata cara pelaksanaanya yang tidak mungkin dapat diketahui kecuali dengan sunnah itu sendiri.
  2. Sunnah yang tidak menafsirkan al-qur’an dan juga tidak bertentangan dengan dhohirnya, akan tetapi ia datang dengan hukum yang baru, misalnya kadar nisab bagi pencuri, rajam bagi pezina serta hukum-hukum lain yang tidak di nash secara terperinci dalam Al-Qur’an. Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa pendapat ini didukung oleh seluruh mazhab salaf kecuali khawarij.
  3. Hadits ahad yang sampai kepada kita, adakalanya diterima di kalangan ahlul ilmi atau dengan riwayat yang tsiqah dan dapat diterima. Ibnu Taimiyyah menjadikan hujjah mengenai wajibnya mendahulukannya dari sumber-sumber yang datang setelahnya, pendapat ini juga didukung oleh ahlul ilmi diantaranya ahli fiqh, hadits, tasawuf, dan lain sebagainya dan hal ini dingkari oleh ahli kalam dan ahli ra’yi.
Baca juga:  Aqal ma qila: Batasan Perbedaan Pendapat Ulama

Ketiga ijma’. Ijma’ adalah salah satu cara untuk mengambil hukum-hukum syar’i dan berada pada derajat yang ketiga setelah Qur’an dan Sunnah. ijma’ diawali oleh generasi sahabat kemudian tabi’in serta generasi-generasi setelahnya. Ijma’ merupakan kesepakan mayoritas ulama dari ummat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yang membahas mengenai hUkum syar’i pada suatu peristiwa. Sesungguhnya ijma’ itu bersandar pada sandaran yang syar’I misalnya hadits rasulullah SAW. Yang telah mengandung penjelasan didalamnya, hanya saja terkadang diragukan oleh sebagian ummat manusia, maka ijma’ muncul sebagai petunjuk dari keotentikan hadits tersebut.

Keempat qaul sahabat, menurut Ibnu Taimiyyah bahwa ketika sahabat itu mengeluarkan pendapat/fatwanya kemudian pendapatnya itu masyhur lagi tidak meneyelisihi salah satu pendapat sahabat lain  dan tidak bertentangan dengan nash maka itu dapat dijadikan hujjah, dan menurutnya juga itu adalah sebuah Konsensus karena para sahabat lain menyetujuinya dan tidak ada yang menyangkalnya.

Kelima qiyas. Qiyas sebagai salah satu landasan hukum Islam, qiyas menempati posisi setelah ijma’, akan tetapi hanya qiyas yang shahih saja yang bisa dikatakan sejalan dengan nash. Pendapat ini didukung oleh sebagian fuqaha bahwasanya jika seorang mujtahid tidak menemukan suatu hukum dari nash maka ia berijtihad menggunakan qiyas yang dimana illatnya itu ada di dalam Al-Qur’an atau As-sunnah. Qiyas yang diterima Ibnu Taimiyyah ialah qiyas shahih dan bukan qiyas fasid.

Keenam istishab. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa istishab adalah petunjuk/dalil yang paling lemah, bahwa ia tidak membenarkan terhadap salah seorang untuk berhujjah dengannya kecuali setelah ia tidak mendapatkan sebuah dalil terhadap suatu masalah di dalam Al-Qur’an, As- sunnah, ijma’, qiyas, ataupun qaul sahabat.

Ketujuh mashalah mursalah. Ibnu Taimiyyah mengambil metode ini ketika metode ini telah sesuai dengan syari’at dan tidak menyelisihi nash yang ada, karena salah satu asas dasar qiyas ialah  sifat yang sesuai/cocok (الوصف الملائم)  maka ketika kita mendapati dan telah memastikan terdapat sebuah kemaslahatan maka wajib untuk mengikutinya dan ia berpendapat bahwa tidak mungkin maslahat itu bertentanagn dengan nash maka jika maslahat itu bertentangan dengan nash atau aturan syari’at pada suatu pristiwa, maka itu bukanlah maslahat yang benar tetapi itu merupakan maslahat fiksi belaka.

Baca juga:  Perubahan Fikih dan Usul Fikih dalam Kajian Sosial Humaniora (3)

Kedelapan adz-dzari’ah. Ibnu Taimiyyah menganggapnya bagian dari hukum dan untuk melindungi syari’at Islam.

Kesembilan, Al-Urf. Ibnu Taimiyyah menganggap bahwa urf atau adat kebiasaan itu perlu untuk diperhatikan dan merujuk kepadanya selama tidak ada pembatasan oleh syari’at dan urf juga merupakan salah satu media penerapan hokum syari’at yang didalamnya banyak terdapat hokum-hukum. Contohnya diperbolehkannya menjual secara bebas denagn menggunakan lafaz tertentu, diperbolehkannya juga untuk mendapat gaji dari mengajarkan Al-Qur’an (guru TPA/TPQ), menjadi qari, imam masjid, muadzin, serta memakai baju baru ketika hari raya, dll.

Adapun perbedaan manhaj Ibnu Taimiyyah dan Imam Ahmad sebagai berikut :

  1. Dalam hal mengenai sunnah. Imam Ahmad berpendapat bahwa sunnah yang mutawatir dapat menasakh Al-Qur’an, sedangkan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa sunnah tidak dapat menasakh Al-Qur’an karena derajatnya yang berbeda.
  2. Dalam hal mengenai urutan sumber hukum. Ibnu Taimiyyah menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pertama kemudian setelahnya adalah sunnah, berbeda dengan imam Ahmad yang menjadikan Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber yang pertama.
  3. Pada dasarnya aqad-aqad dan syarat-syarat perihal muamalah itu adalah boleh menurut Ibnu Taimiyyah, sedangkan imam Ahmad bin Hambal didalam satu riwayatnya mengatakan bahwa akad-akad dan syarat-syarat dalam muamalah itu dilarang.

Sumber bacaan:

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al-fiqh, Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 1434 H/2013 M.

Dr. Muhammad Yusuf Musa, Pengantar studi fikih Islam, terj. Muhammad Misbah Lc., M.Hum, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, Mei 2014. 

Hamzah tualeka Zn, “Fiqh dan ushul fiqh perspektif ibn taimiyyah”, Al-Hikmah, Vol. 1, No. 1.

Munawar Khalil, Biografi empat serangkai imam mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1983 M.

Muhammad bin Ahmad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyyah hayatuhu wa ‘asruhu – arauhu wa fiqhuhu, Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1991 M.

Shaleh bin Abdul Aziz Ali Mansur, Ushul al-fiqh wa ibnu taimiyyah, Riyadh: Dar Ibnu Al-Jauzi, 1435 H.

*Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Edy Masnur Rahman

Mahasiswa Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar