Santri Cendekia
Home » Memahami Tuhan bersama al-Ghazali dan Ulil Abshar Abdalla

Memahami Tuhan bersama al-Ghazali dan Ulil Abshar Abdalla

Benarkah konsep tanzih didedah oleh al-Ghazali semata-mata untuk andap-asor teologis? Apalagi jika andap-asor itu bermakna kita memaklumi semua sebutan kepada Tuhan, hatta yang berasal dari konsep teologi selain Islam, sebab semuanya toh hanya aproksimasi? Ulil Abshar Abdalla baru-baru ini menulis artikel yang sepertinya mengajak kita berpikir demikian. Baiklah saya akan menaggapi Ulil di tulisan ini, tolong siapkan kopi campur bawang merah, karena tulisan ini akan sedikit sok njelimet.

Kalau kita membaca kitab Tahafut al-Falasifah dan Mi’yar al-’Ilmi karya al-Ghazali, kita akan dapati bahwa penjelasannya tentang jawhar dan ‘aradh dalam misi bantahan terhadap filsuf Neo-Platonik yang mengatakan bahwa ruang dan waktu itu qadim atau azali. Menurut para filsuf, alam mustahil keluar secara mutlak dari Yang Qadim (Tuhan) karenanya yang paling masuk akal bagi mereka ialah alam dan Tuhan sama-sama qadim. Bagi al-Ghazali alam itu tercipta dari ketiadaan sehingga memiliki permulaan (hadis) sedangkan Tuhan sebagai pencipta bersifat tak berawal dan tak berakhir (qadim).

Selain itu, al-Ghazali ingin menunjukkan bahwa realitas alam semesta tersusun atas jawhar dan ‘aradh sehingga Tuhan sebagai entitas yang tanzih mengetahui persoalan-persoalan juz’iyyat. Ini sebagai bantahan terhadap Aristotelian yang berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil kecuali dengan cara yang kulli. Bagi al-Ghazali, orang yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyat sudah termasuk kafir karena secara tak langsung menegasikan hisab di akhirat.

Jadi, setidaknya ada dua konteks yang melatarbelakangi kelahiran pemikiran al-Ghazali dalam bidang filsafat terkait dengan pandangannya bahwa Tuhan itu bersifat tanzih. Konteks pertama dalam bantahannya terhadap filsuf Neoplatonik yang mengatakan ruang dan waktu bersifat qadim; dan konteks kedua sebagai bantahan pada filsuf Aristotelian yang menegaskan bahwa Tuhan tidak tahu kasus-kasus yang juz’iyyat.

Karenanya, bahasan al-Ghazali tentang Tuhan sebagai zat yang melampaui jawhar dan ‘aradh tidak sedang dalam misi mempromosikan bahwa Tuhan bisa disebut dengan beragam ekspresi tergantung keyakinan masing-masing. Dikira al-Ghazali ingin bilang bahwa “silakan sebut nama Tuhan sesuka kalian, entah dengan Sidharta atau Jesus, karena tak ada yang tahu secara persis bentuk dan warna Tuhan. Tapi Dia memang ada.”

Baca juga:  Mustafa Abd’ Ar-Raziq: Ushul Fiqh Sebagai Filsafat Islam

Al-Ghazali juga tidak sedang berbicara tentang rendah hati dan andap-asor terhadap keyakinan orang lain hanya karena Tuhan itu tanzih. Al-Ghazali dalam hal ini justru sedang bertarung di garda terdepan dengan orang-orang yang terpengaruh oleh pemikiran filsuf Yunani sehingga mereka menyifati – atau menafikan sifat Allah – dengan gambaran mereka sendiri. Bahkan al-Ghazali tak segan-segan memberikan vonis kafir bagi mereka yang mengatakan alam itu qadim, Tuhan tidak tahu hal-hal yang juz’iyyat, dan tiada kebangkitan tubuh di akhirat.

Dalam penjelasannya tentang konsep tanzih, Al-Ghazali memang berpandangan bahwa Tuhan bersifat transenden yang berarti secara mutlak berbeda dengan makhluk-Nya dan tidak ada kata sifat yang mampu melukiskan-Nya. Betul bahwa al-Ghazali berkeyakinan bahwa segala sesuatu tercipta melalui media jawhar dan ‘aradh kecuali Tuhan. Baginya, secara berkelanjutan jawhar dan ‘aradh mengalami penambahan dan pengurangan dan Tuhan berperan aktif untuk menghancurkan dan mengadakannya.

Akan tetapi di sisi lain al-Ghazali juga berpendapat bahwa jika ingin melihat Tuhan jangan memandang langit tapi tengoklah diri sendiri. Dalam ungkapannya yang terkenal disebutkan man ‘arafa qalbahu faqad ‘arafa nafsahu/siapapun yang tahu isi hatinya maka dia pasti mengenal dirinya; wa man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu/siapapun yang tahu dirinya sendiri maka dia pasti mengenal Tuhannya. Ini artinya bahwa kesucian hati dapat merasakan bayang-bayang Tuhan imanen dalam diri manusia.

Dari penjelasan itu sebenarnya al-Ghazali menegaskan Tuhan yang bersifat transenden sekaligus imanen. Sebagai bukti, Anda dapat membaca Tahafut al-Falasifah pada persoalan ke-17 tentang hukum sebab akibat yang menurutnya hubungan kausalitas tersebut bersifat mungkin dan al-‘adah bukan absolut. Pandangan al-Ghazali tentang kausalitas sebenarnya penjelasan bahwa Tuhan itu bersifat transenden tetapi iradat-Nya bersifat imanen. Allah memberikan api kekuatan membakar tapi penentuan apakah api akan membakar kertas atau tidak itu kuasa Allah. Sebagai tindakan dasar, kita yakin bahwa api dapat membakar tapi terbakarnya suatu materi ada peran Allah di dalamnya.

Baca juga:  Tanggapan Kritis Atas Konsep Ikhlas Hasnan Bachtiar

Sebagai penutup, di dalam Qawaid al-‘Aqaid setelah menegaskan tanzih-Nya Allah, salah satunya dengan redaksi yang juga dikutip Ulil, al-Ghazali lalu menyebutkan sifat-sifat dan nama-nama beserta dengan makna yang layak terhadap sifat dan nama itu. Deskripsi Allah yang disebutkan di Qawaid bukan lagi sekedar aproksimasi yang relatif, apalagi jika dibandingkan dengan “asma wa sifat” ala teologi agama lain. Deskripsi tersebut adalah gambaran diri Allah sebagaimana ia ingin dikenal oleh hambanya. Gambaran yang disampaikannya lewat wahyu.

Maka, konsekuensi konsep tanzih justru berarti kita tak boleh sembarangan menggambarkan Allah sesuai waham-waham kita saja, sebab Dia sendiri sudah menyebutkan sifat dan nama-nama-Nya yang sempurna. Tak akan kurang sempurnanya jika tidak diakui bahkan semua manusia, dan tak akan bertambah sempurnanya jika kita sok-sokan memberinya sebutan baru. Para ulama, terutama Hanabilah dan Asy’ariyyah, dari dulu tak habis-habisnya berdebat perkara ‘istiwa’ atau ‘yad’ ya karena mereka sangat khawatir Allah disebut atau difahami dengan sembrono.

Jadi monmaap nih, jika yang dimaksud andap-asor di dalam tulisan Gus Ulil adalah tidak meyakini salahnya konsep ketuhanan yang tak berdasarkan wahyu, maka Imam al-Ghazali tampaknya tidak akan setuju. Apalagi jika diarahkan pada pemikiran pluralisme teologis (apalagi salvific pluralism) yang dulu sempat ramai-ramai dipromosikan kanca-kancanya Gus Ulil. Jika hanya berarti membiarkan mereka mempercayainya tanpa intimidasi, maka laa ikraha fi addin.

Subhanallah amma yashifuun.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar