Santri Cendekia
Home » Membidik Farag Fouda

Membidik Farag Fouda

Tepat sekitar 1 April lalu, saya dihubungi oleh kelompok organisasi mahasiswa (Formasi IPB dan IMM IPB) untuk membedah sebuah buku yang cukup Kontroversial, Kebenaran Yang Hilang (Al Haqiqah Al Ghaibah) karya Farag Fouda pada Ahad, 5 April via Online. Seingat saya, perjumpaan pertama dengan buku itu terjadi sekitar tahun 2016.  Saat masih duduk di bangku semester 4. Saat itu saya pun tertegun membaca narasi-narasi Fouda. Tulisan ini begitu kritis kalau tidak provokatif, sehingga membacanya perlu kritis pula plus kecermatan dan verifikasi beberapa data kutipan. Tulisan singkat ini berisi catatan terhadap karya Fouda tersebut.

Sosok Farag Fouda dan Konteks Sosialnya

Sosok kontroversial itu bernama Farag Fouda. Lewat karyanya yang berjudul Al Haqiqah Al Ghaibah (cet.I 1984, saya temukan cet.III Dar Al Fikr li Al Dirasat) publik Mesir dibuat gempar. Secara berani dan nekad ia tampilkan sejarah berdarah politik muslim, suatu hal yang jarang diungkap politikus muslim, lebih jauh pengusung konsep “khilafah” sebutnya. Tidak tanggung-tanggung, Fouda secara terbuka menggelar arena perdebatan yang kemudian hari jadi sebab pembunuhannya.

Lahir di Kairo pada 20 Agustus 1945, Fouda seorang pemikir berpengaruh, aktivis hak asasi manusia, penulis, dan kolumnis Mesir. Ia mendapatkan gelar M.Sc bidang pertanian dan Ph.D di bidang ekonomi pertanian dari Universitas ‘Ain Syams. Ia juga tercatat pernah Aktif sebagai politisi di Partai Wafd dan Partai Istiqbal. Sebagai pendaku pandangan penerapan sekularisme dalam bernegara Fouda aktif mengkritik pandangan-pandangan Islamisme, penerapan syariah, dan penegakan khilafah. Bagi Fouda, sekularisme adalah solusi yang masih di tempuh sebagai landasan bernegara. Bersama penulis lain, seperti Muhammad Sa’id Al Asymawi, Salah Isa, Rifat Al Sa’id, Mustafa al-Faki, dan para penulisnya Fouda Lantang bersuara.

Dalam konteks umum, kontestasi ideologis gelombang kedua Mesir terjadi selepas kekalahan pada Perang Arab Israel (1967) yang memberikan pukulan psikologis bagi publik Arab secara luas, termasuk Mesir. Bila kita telusuri, gelombang besar pertama, terjadi pada paruh akhir abad ke 19 lewat gerakan anti kolonialisme sekaligus revivalisme Islam yang berujung pada kemerdekaan daerah-daerah muslim (untuk melihat tokoh-tokoh kuncinya, bisa merujuk Modernist Islam 1840-1940 karya Charles Kuzman).

Pasca kemerdekaan terjadilah dialog pembentukan konstitusi negara-bangsa dan tentu dalam banyak kasus tidak terdapat golongan tunggal, seperti kasus Indonesia dan Mesir. Kasus Indonesia bisa merujuk pada Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Konstituante karya Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Negara Paripurna karya Yudi Latif. Kasus Mesir bisa rujuk Identity Politics in the Middle East: Liberal Thought and Islamic Challenge in Egypt karya Meir Hatina. Selain itu dapat juga merujuk tulisan Jeffrey T. Kenney (soal ekstrimis muslim), Carmen M.K Gitre (soal gelombang awal politik pra dan pasca kemerdekaan), dan Roel Meijer (soal Kelompok Sekular dan Sayap Kiri). Situasi tantangan modernitas terhadap masyarakat dunia, termasuk muslim Mesir juga menjadi situasi diman pemikiran Fouda lahir.

Tercatat, beberapa bulan pembunuhan terdapat Fouda, ia terlibat dalam acara debat terbuka dalam sebuah acara pameran buku di Kairo. Bersama dengan Muhammad Ahmad Khalafallah ia berdebat dengan Muhammad Al Ghazali, Ma’mun Al Hudaibi, dan Muhammad ‘Imarah. Syamsu Rizal dalam pengantar terjemah menyebutkan konon sampai 30.000 orang yang menghadiri acara tersebut. Tema yang diperdebatkan ialah relasi politik-agama, negara-agama, syariat Islam dan Khilafah. Dalam peristiwa inilah adalah puncak kegemparan Fouda yang ia buat secara langsung di depan publik.

Beberapa waktu kemudian terbit fatwa bahwa Fouda dianggap murtad yang disambut pembunuhan oleh kelompok ekstrimis yang dintengarai berasal dari kelompok Ja’maah Islamiyyah. Dikatakan pula keluarganya terluka parah. Kejadian ini tentu memunculkan perdebatan diantara kita. Kita bisa saja setuju atau tidak atas pembunuhan ini, namun lebih penting lagi kita mestinya bisa belajar dari peristiwa ini, diantaranya menghindari tindak anarkisme, apalagi disaat yang sama statusnya masih ahli kiblat. Diantara kisah yang cukup panjang soal Fouda bisa diakses di www.independentarabia.com dengan keyword: قصة المناظرة التي قتلت المفكر المصري فرج فودة

Catatan dan Tanggapan Terhadap Kebenaran Yang Hilang

Mengenai beberapa buku ini saya memiliki banyak catatn sebenarnya. Namun setidaknya catatan tersebut terbagi ke dalam beberapa bagian.x

Pertama, soal motivasi penulisan. Fouda adalah sosok yang pemberani, kalau tidak nekat. Sebagai karya yang ia tahu akan kontroversial karena melawan arus, lebih-lebih bisa menghasilkan konfrontasi dengan kalangan ekstremis, Fouda memilihi menunjukkan keterusterangannya. Bagi saya ini sikap gentle, sebab ia tidak bersembunyi seperti kebanyakan penulis lainnya dalam persoalan ini. Fouda sudah punya posisi (mauqif) sejak awal. Diantaranya ia menulis :

Ia menulis diantaranya,”Buku ini memuat perbincangan yang mungkin sekali ingin dihindari banyak orang. Kebanyakan orang hanya ingin mendengarkan apa yang mereka sukai. Secara kejiwaan, manusia memang lebih condong untuk meminati aspek yang emosional dan merasa nyaman dengan kebenaran yang dianggap sudah mapan.”(1)

“Ini adalah perbincangan yang bermaksud untuk berterus terang dan terbuka sebisa-bisanya. Tentu dengan pengandaian bahwa keterusterangan dan keterbukaan dalam persoalan ini adalah barang langka. Betapa banyak hambatan untuk bersikap terbuka dan terus terang dalam membicarakan topik seperti ini. Pertama, karena adanya ketakutan. Kedua, karena terlalu banyak hiperbola. Ketiga, karena terlalu berhitung menyangkut segala kemungkinan terburuk yang akan menimpa orang yang mengungkapkannya.”(7)

“Perbincangan kita adalah tentang slogan-slogan yang memukau orang-orang biasa, tetapi juga dipercayai kaum elitenya dan dipegang teguh oleh orang-orang salehnya. Lalu slogan itu dimanfaatkan oleh orang-orang cerdik untuk memaklumatkan diri sebagai pemimpin massa.” (8)

Jadi dapat motivasi Fouda jelas untuk meng-counter kalangan yang ia anggap sebagai kalangan fundamentalis, ekstremis, dan pemuja romantisisme sejarah yang gagal melihat jernih sejarah tersebut. Maka ia menulis,”Semua peristiwa dalam sejarah dapat menjadi argumen bagi orang-orang yang menuntut berhukum dengan Islam, atau sebaliknya, justru dapat menjadibumerang bagi mereka. Fakta-fakta sejarah dapat menjadi senjata mereka atau justru senjata yang akan melukai mereka. Tidak ada argumen yang lebih kokoh selain fakta sejarah, landasan peristiwa, dan dalil faktanya. Karena itu, tidak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi  yang kita rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan oleh orang-orang yang merasa itu berada dipihak mereka.” (4-5)

Baca juga:  Perlu Dibaca ! "The Tao of Islam" Kitab Relasi Gender dalam Islam

Melihat hal ini, dalam memahami karya Fouda kita perlu sekali untuk mengingat kaidah Al Khabar ma’a Al Mukhbir (Kabar bergantung pada pembawa kabar).  Dalam kasus Fouda kita tidak perlu heran dengan runtutan narasi dan argumen yang muncul dalam karyanya, sebab paradigma berpikirnya sejak awal anti terhadap arus sosial muslim saat itu, khususnya kalangan penganjur Khilafah dan penerapan syariat. Namun penulis melihat adanya semacam mis-konsepsi pada diri Fouda dalam melihat syari’at. Secara reduktif Fouda merujuk syariat pada hukum anggota gerak/pidana saja. Ia berulangkali menyinggung soal hudud (hadd), padahal syariat sebagaimana yang tergambarkan sangat kompleks dan luas. Secara bahasa syariat berarti nampak jelas dan terang; sumber-sumber air; memulai satu hal. Ibn Manzur menyebutkan bahwa syari’at, syara’, musyarra’ah adalah tempat berkumpulnya air yang didatangi manusia untuk meminumnya.

Disebutkan pula bahwa untuk mengambil tidak memerlukan tali/timba, airnya mengalir tak putus, serta senantiasa bening lagi jernih. Secara istilah para ulama sepakat bahwa syari’at adalah agama Islam itu sendiri yang didalamnya terdapat ajaran, baik aqidah, ibadah, maupun akhlaq. Ibn Taimiyyah menyebutkan syariat mencakup keyakinan maupun perbuatan. Singkatnya, Syariah adalah seperangkat tata keyakinan, tata aturan dan tata nilai yang berkaitan dengan amal perasaan-akal, amal lisan, dan amal anggota gerak.

Maka, kita dapati Al Qur’an tidak hanya berbicara mengenai hukuman, bahkan jumlah pembahasan dakwah yang sifatnya pembangunan individu dan masyarakat dalam konteks dakwah jauh lebih banyak. Pembahasan hukum perbuatan anggota gerak terlarang (hudud), justru tidaklah begitu banyak. Dalam penerapannya pun, Hudud bukanlah sesuatu yang serta merta dapat diperlakukan, apalagi ditengah situasi masyarakat yang plural seperti sekarang, dalam konteks nation-state misalnya, kita dapati bahwa negara dibangun diatas fakta perjanjian/ mu’ahadah. Belum lagi keadaan-keadaan yang tidak mudah, seperti ijtihad tahqiqul manath yang Khalifah ‘Umar Ibn Al Khattab lakukan ketika dalam suasana tertentu. Lebih luas lagi, kalau kita dudukkan dalam konteks dakwah Islam, Hudud adalah batas terakhir, seperti artinya. Artinya, hudud mesti berdiri diatas fondasi dakwah yang kuat.

Artinya, tidak serta hukuman Zina diterapkan, padahal tidak ada sama sekali tahapan dakwah preventif terhadap Zina yang dijalankan. Hal ini sekaligus menjadi mengkritik kalangan yang begitu kaku dalam memandang Islam, padahal Islam adalah nasehat sebagaimana nabi sebutkan dalam hadisnya, serta juga Islam datang membawa kemudahan-kemudahan yang jangan juga sengaja dimudahkan-mudahkan atau disepelekan ataupun dipersulit. Ber-Islam mestinya menjadikan seseorang bergembira, merdeka, dan melaksanakan fitrahnya.

Adapun soal Khilafah, penulis juga tidak setuju dengan anggapan miring Fouda sekaligus tidak setuju juga pada kalangan yang mereduksi makna khilafah. Khilafah sebagai istilah khusus sebagai “pemerintahan pengganti” nabi ialah masa 30 tahun setelah kewafatan beliau dan setelahnya adalah kerajaan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Imam Abu Dawud, dan Imam Ahmad (kata kuncinya الخلافة في أمتي ثلاثون سنة). Imam Al Suyuthi dalam tarikh Khulafa, menyebutkan bahwa ulama berkata yang termasuk ialah masa 4 Khalifah dan Al Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib. Namun apabila kita dudukan istilah khalifah sebagai sistem pemerintahan, maka kita akan temukan tidak adanya sistem baku. Al Qur’an pun juga mewartakan bahwa adanya sistem rigid, apakah harus federasi, monarki, republik, dan sebagainya.

Namun, Al Qur’an secara asasi menempatkan perhatian pada dasar pemerintahan, seperti rasa-sikap adil (al ‘adl), penegakan keadilan (al qist), musyawarah (al syura), gotong-royong pada kebenaran (al Ta’awun), dan sebagainya. Maka dari itu perbuatan narasi sepihak harus A, B, C ialah perbuatan reduktif, sebab bukanlah suatu kemutlakan. Khilafah memang ajaran Islam dan yang menegasikannya juga salah, tetapi juga bukanlah sesuatu yang dapat dikooptasi oleh sebagian kelompok saja, sebab ia bukanlah sistem baku. Adapun khilafah dalam konteks akhir zaman, yaitu tegaknya kekhilafahan/ pemerintahan Al Mahdi memang ialah suatu kepastian, namun tentu kita tidak bisa membayangkan bagaimana sistem pada saat itu, melainkan hanya dapat membayangkan prinsip-prinsip mashlahat dalam Islam yang tegak. Intinya, sikap penulis berada ditengah-tengah antara pihak yang menolak khilafah dan pihak yang mengkooptasi dan meruduksi istilah khilafah, termasuk ketidaksetujuan saya atas pikiran-pikiran Fouda.

Adapun soal khilafah, hemat penulis Indonesia itu sudah dapat dikatakan khilafah. Sebab jelas ada pemimpinnya, sistemnya pemerintahan, dan masyarakat yang dipimpin. Indonesia ini pun apabila kita merujuk pendiriannya, misal pada Risalah Sidang BPUPKI (Prapanca, 1995) penuh dengan adu ide kemashlahatan, gagasan sistem, dialog kompromis, dan i’tikad baik sehingga dihasilkan satu kesepakatan bersama yang mengikat. Adanya negara justru menjamin keamanan menjalan ibadah agama, bukan untuk saling menjadi oposan. Dalam bahasa Syafi’i Ma’arif, “Indonesia dan Islam (kasus Islam) ada pada satu tarikan nafas”, jadi tidak perlu dipertentangkan. “Khilafah Al Indunisiyyin” ini terbentuk dengan ikatan kebangsaan (Al Mu’ahadah Al Muwathanah) dalam istilah NU dan menjadi tempat mengikat janji dan persaksian (Dar Al ‘Ahdi wa Al Syahadah).

Kedua, metode sejarah. Fouda menyebut karyanya adalah sebuah perbincangan sejarah. Ia menulis, Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini adalah perbicangan tentang umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. Lebih dari itu, ini adalah perbincangan seorang penelaah sejarah yang hidup di abad ke-20. Akan tetapi, ini adalah juga perbincangan tentang peristiwa-peristiwa yang surut ke belakang sampai 13 abad silam atau lebih.” (3). Sebagai kelanjutan dari motivasinya, Fouda menilik sejarah sebagai argumennya untuk menjatuhkan lawan ideologisnya. Maka, tidak heran kita dapat temukan dalam karyanya potongan-potangan sejarah yang tidak runtut. Ia menghadirkan satu, dua fakta kemudian men-syarah-nya.

Dalam penulisan metode sejarah, setidaknya terdapat 4 tahap, yaitu (1) Heuristik atau Bina Al Jam’u Al Mashadir (pengumpulan data dan informasi dari sumber sejarah), (2) kritik Sumber atau Bina Al Naqd min Mukhbir wa Al Khabar  (verifikasi data dan informasi), (3) Interpretasi atau Bina Al Bayan min Al Mukhbir wa Al Khabar (analisa data dan informasi yang telah diverfikasi),  dan (4) Historiografi atau Bina Al Qishshah Al Tarikhi (membangun narasi dari hasil interpretasi).

Baca juga:  Deddy Corbuzier dan Ideologi(sasi) Islam

Sekilas tulisan Fouda memenuhi ke-4 tersebut, namunbila dicermati lagi, terdapat kekurangan pada aspek keseluruhan. Pada tahap pengumpulan sumber sejarah, Fouda memang mengambil informasi dari sumber-sumber klasik Islam, seperti Tarikh Al Thabari, Tarikh Ibn Mas’udy, Tarikh Ibn Al Atsir, Tarikh Ibn Katsir, Tarikh Ibn Sa’ad, Tarikh Al Ya’qubi, dan lainnya, tetapi sifatnya parsial dan menunjukkan hanya pada bagian yang dianggap mendukung argumennya.

Padahal Fouda menulis,”Semua peristiwa dalam sejarah dapat menjadi argumen bagi orang-orang yang menuntut berhukum dengan Islam, atau sebaliknya, justru dapat menjadi bumerang bagi mereka. Fakta-fakta sejarah dapat menjadi senjata mereka atau justru senjata yang akan melukai mereka. Tidak ada argumen yang lebih kokoh selain fakta sejarah, landasan peristiwa, dan dalil faktanya. Karena itu, tidak seorang pun berhak mengingkari referensi-referensi yang kita rujuk. Semuanya adalah referensi yang juga digunakan oleh orang-orang yang merasa itu berada di pihak mereka.”(4) Namun, cukup banyak informasi yang ditulisnya tidak disertai sumber.

Pada tahap kritik sumber sejarah, Fouda seperti mengambil secara per se informasi sejarah sumber klasik tanpa menjelaskan kritik sumber yang memadai. Lebih jauh Fouda, sangat kurang dalam melakukan kritik eksternal (Al Naqd Al Khariji), seperti soal status pembawa matan/ informasi dan latar belakangnya, hanya melakukan kritik internal (Al Naqd Al Dakhili), seperti pada matan-nya. Padahal jamak kita ketahui, sejarah klasik muslim pada masa-masa awal memiliki penekanan pada pengumpulan varian dan ragam riwayat peristiwa, termasuk Tarikh Al Thabari. Maka, pada masa selanjutnya kita mendapati para ulama, utamanya kalangan Muhadditsin-Muarrikh (sejarawan ahli hadis), men-tashih, tahqiq, dan menta’liq karya-karya sejarah tersebut.

Di antaranya seperti munculnya karya Shahih wa Al Dha’if Tarikh Al Thabari (Dar Ibn Katsir, Damsyiq-Beirut 2007) yang di-tahqiq oleh Syaikh Muhammad Ibn Thahir Al Barzanji dan dikoreksi lagi oleh Syaikh Muhammad Subhy Hasan Hallaq. Hal ini tidak mengherankan sebab dalam kajian ilmu hadis, ilmu verifikasi dan konfirmasi status berita khas Islam lahir dan berkembang. Lebih jauh metodologi para ahli hadis dalam verifikasi ini menajdi penting sebab, dalam Islam kebenaran riwayat punya posisi yang sangat penting dalam menjelaskan sesuatu perkara, baik nilai, status, maupun kejadiannya. Diantara karya kontemporer membahas metode kritik riwayat ala ahli hadis ialah Manahij Al Muhadditsin Fi naqd Al Riwayat Al Tarikhiyyah Li Qurun Al Al Hijriyyah Al Tsalitsah Al Uula karya Dr. Ibrahim Amin Al Jaff Al Syahruzury Al Baghdady (Dar Al Qalam, Dubai 2014).

Selanjutnya pada tahap Interpretasi sejarah, kita dapati Fouda nampak sangat tendensius mengarahkan fakta sejarah pada apa yang ia inginkan, sehingga fakta sejarah terlantunkan dengan narasi yg tidak sesuai konteksnya. Seperti kisah-kisah berdarah (pembunuhan Khalifah ‘Utsman) yang kita tidak dapat pungkiri telah terjadi dalam catatan para ulama, Fouda tidak mengambil ibrah-ibrah yang ada secara tepat dan tidak memperjernih situasi, malah membuat provokasi berdasar prasangka. Pada kasus pembunuhan ‘Utsman diriwayatkan bahwasanya terdapat sekitar 700 an sahabat yang ada disekitar kediaman beliau pada mulanya.

Namun, Khalifah ‘Utsman r.a menghendaki mereka balik ke tempatnya masing-masing. Kembalilah para sahabat, sebab situasi mulai kondusif. Beberapa dari mereka yang masih tetap khawatir, kemudian meninggalkan putranya untuk berjaga di depan kediaman Khalifah ‘Utsman, seperti putra ‘Ali r.a dan Zubair r.a. Tanpa diduga situasi ini dimanfaatkan oleh pemberontak dari Mesir yang banyak berdatangan. Terjadilah keributan di Madinah, sepertu terjadi beberapa duel dalam riwayat yg ada seperti oleh Marwan dan Mughirah melawan para pemberontak/pembelot. Disaat yang bersamaan beberapa dari kalangan pemberontak berhasil menyelinap ditengah kegaduhan dan akhirnya membunuh beliau dan beberapa budaknya.

Ketika ‘Utsman r.a wafat para sahabat besar mengucap istirja’, mengutip ayat, mendoakan ‘Utsman r.a dan melaknat pembunuhnya. Jadi tidak benar Khalifah ‘Utsman dihinakan seakan-seakan org paling hina oleh penduduk Madinah. Bahkan Hasan ibn ‘Ali ketika ditanya beliau menyebutkan bahwa kaum Muhajirin dan Anshar sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan ‘Utsman r.a, melainkan para pemberontak Mesir. Dalam konteks yang lebih besar, kita perlu ketahui struktur masyarakat Timur Tengah yang akrab dengan tribalisme.

Hadirnya Nabi Saw membawa perubahan signifikan dengan cepat, namun tentu belum mendarah daging. Maka tidak heran daerah-daerah yang dibebaskan (futuhat) di zaman nabi banyak membangkang kembali, kalau tidak mudah dihasut untuk berbuat membangkang. Meskipun kebijakan Khalifah ‘Utsman r.a banyak disayangkan, seperti mengangkat banyak pemimpin dari orang-orang disekitar, sesuatu yang hal dihindari oleh ‘Umar r.a, tercatat beliau juga merevisinya. Namun, kaum-kaum munafik yang melihat ini sebagai kesempatan provakasi yang tidak bisa disia-siakan. Akhirnya terjadilah fitnah tersebut: Pembunuhan ‘Utsman dan pelbagai tuduhan pada para sahabat Muhajirin dan Anshar (Selengkapnya bisa disimak dalam Tarikh versi yang Tahqiq Riwayatnya pada bagian Kejadian tahun 35 Hijriyah sampai Permulaan Kisah Khalifah ‘Ali ibn Thalib r.a)

Selanjutnya pada tahap historiografi dimana interpretasi kisah digabungkan, Fouda tetap terlihat tendensius mengolah narasi dari fakta-fakta yang ia temukan. Ketika melihat fakta-fakta yang dijadikan landasan secara umum, saya menemukan Fouda tidak berbohong soal fakta-fakta sejarah berdarah yang ada. Bukan hanya pada ‘Utsman, Masa Dinasti ‘Umayyah dan ‘Abbasiyah memang cukup banyak yang ditumpahkan. Para raja yang ada dari dinasti ini beberapa dikenal sebagai pendosanya yang cukup mengerikan. Fouda menulis,”Pembicaraan tentang masa Umayyah sepenuhnya soal harapan yang berbungkus petualangan atau petualangan yang berbingkai harapan. Kegilaan-kegilaan juga terjadi pada masa ini” (123). Para ahli juga mencatat tentang profil para raja yang tidak ragu berbuat maksiat, seperti Yazid  ibn Mu’awiyah yang menumpah darah dan Yazid yang hobi bermain wanita serta mabuk-mabukan. Dalam periode Dinasti ‘Abbasiyah juga ada orang semisal Abdurrahman Al Saffah yang membantai anggota kerajaan ‘Umayyah dan Al Mutawakkil yang terkenal dengan dunia pergundikannya. Ia bahkan dikabarkan memiliki 4000 selir dan bermain dengan kesemuanya.

Pasca Khulafa’ Al Rasyidun, para sejarawan mencatat memang terjadi pemisahan antara otoritas kekuasaan dan otoritas keulamaan hingga hari ini. Meskipun begitu kita juga dapati masa-masa dimana pemimpin yang ulama juga hadir dalam tradisi Islam, seperti ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz. Namun lagi-lagi secara umum tidak pemisahan ini terjadi, meski tidak benar-benar terjadi atau tidak terpisah sepenuhnya. Sebagai contoh Al Hajjaj ibn Yusuf dikenal sebagai Gubernur yang mudah menumpahkan darah, namun ia punya tradisi yang unik, yaitu mengumpulkan para Qurra setiap bulan untuk mengadakan penyimakan Al Qur’an di istananya. Pada masa ini juga mulai terjadi pembagian Al Qur’an menjadi 30 bagian atau Juz (Selengkapnya bisa lihat uraian tentang riwayat ini dalam karya Prof. M.M. Al ‘Azami yang berjudul The History of Quranic Text: From Revelation to Companion).

Baca juga:  Misrepresentasi Muslimah Dalam Wacana Feminis (1)

Fouda tidak keliru mengutip beberapa fakta yang ada, namun ia berlainan dalam interpretasi dari para ahli sejarah yang mengkaji secara subtil masa per masa, peristiwa per peristiwa sehingga dapat mengambil konteks utuh dan mengambil pelajaran berharga. Prof Abdurrahman Salim seorang pakar sejarah, mengomentari karya Fouda:

أستاذ التاريخ الإسلامي عبد الرحمن سالم يرى أن المصادر التي اعتمد عليها فودة هي الطبري والمسعودي وابن الأثير وبعض المراجع الحديثة، غير أن المشكلة ليست في المراجع بل في القراءة المجتزأة التي تخرج النص عن سياقه أو تفسره تفسيرا خاصا بعيدا عن روحه

“Beliau berpandangan bahwa sandaran/rujukan yang dijadikan dasar oleh Fouda, yaitu Al Thabari, Al Mas’udy, Ibn Al Atsir, dan sebagian rujukan peristiwa, bukanlah terdapat masalah pada rujukan-rujukan itu, tetapi pada pembacaan parsial yang mengeluarkan teks dari konteksnya atau ditafsirkannya dengan tafsiran khusus yang jauh dari ruh teks tersebut”

Ketiga, status dan nilai sebagai karya sejarah. Meskipun menggemparkan, tulisan Fouda hemat penulis, karya Fouda ini tidak dapat dijadikan sumber atau dihindari sebagai primer maupun sekunder dalam rujukan meyingkap dan memahami fakta sejarah secara utuh. Hal ini pun dilandasi beberapa hal. Pertama, sejarah adalah ilmu yang rekonstruksi masa lalu yang kompleks. Diperlukan waktu yang panjang dan kecermatan dalam menelaah sumber-sumber sejarah, terutama pada bagian kritik sumber dan interpretasi yang akan menghasilkan karya historiografis. Kajian holistik yang terangkai dalam proses heuristik, komparatif, konfirmatif, verifikatif, dan rekonstruktif benar-benar membutuhkan otoritas. Terutama sekali pada hal-hal yang sifatnya sensitif dan dapat mengundang kontroversi. Kutipan fakta dari Fouda banyak benar dan tervalidasi, namun itu tidaklah cukup, sebab sejarah bukan sekedar ilmu kutip-mengkutip, tapi lebih jauh ada proses takhrij, tanqih, dan tahqiq baru kemudian tafhim. Kedua, karya Fouda lebih banyak menghadirkan interpretasi sejarah ketimbang menghadirkan fakta detail ataupun fakta yang tervalidasi dan terkonfirmasi. Ketiga, motivasi Fouda yang secara jelas ia sebutkan dalam bukunya memiliki pengaruh besar dalam distorsi dalam pemahaman sejarah. Keempat, ada sebuah kaidah yang luarbiasa dari guru kami dalam melihat sebuah perkara, yaitu Rijal Al ‘Ilm bi ‘Ilm Al Rijal wa ‘Ilm Rijal bi Rijal Al ‘Ilm (otoritas ilmu berkaitan erat dengan ilmu integritas dan ilmu integritas berkaitan erat pula dengan otoritas ilmu).

Keempat, konsepsi Islam dan Muslim. Bagi penulis, Fouda mengalami miskonsepsi dalam menempatkan kedua istilah tersebut. Istilah Islam menunjukkan ajaran dan muslim adalah orang yang meresepsi dan menjalankan ajaran. Islam dan muslim memang tidak dapat pisahkan, namun terdapat perbedaan mendasar Islam dengan muslim. Dalam bahasa S.M.N Al Attas, Islam adalah sintesis terakhir lewat turunnya Q.S Al Ma’idah: 3. Islam sebagai ajaran memiliki sifat sempurna dan ideal. Namun, muslim sebagai seorang manusia yang dinamis memiliki pemahaman dan pelaksanaan ajaran tersebut. Bahkan bukan hanya kedua hal itu, banyak pula orang berstatus muslim tapi tidak memahami dan melaksanakan, bahkan mengabaikann, mengacuhkan, dan membangkai dari tata nilai ajaran Islam.

Pada akhirnya, ketika ada orang yang mengukur Islam dari Muslim hampir dia akan kecewa, sebab muslim tidaklah ideal dan sempurna, bahkan di zaman Nabi sekalipun, sebab dapat kita kelakuan orang-orang yang juga negatif pada masa nabi, meski statusnya dikatakan muslim. Jadi singkatnya, saya ingin mengatakan timbanglah muslim dengan Islam, jangan timbang Islam dengan muslim, sebab kita akan mudah tertutup dari nilai ideal Islam dengan kelakuan muslim yang justru tidak mengamalkan nilai dan ajaran Islam. Imam Al Ghazali menyebutkan ungkapannya yang masyhur: “Al Haqq Laa Yu’rafu bi Al Rijaal walakin Al Rijaal Yu’rafu bi Al Haqq” yang berarti “Kebenaran tidak diketahui karena orang, tetapi orang diketahui karena benar”.

Kelima, sikap proporsional pada Fouda. Meskipun saya tidak setuju dengan butir-butir pemikiran interpretasi sejarah yang dinarasikan Fouda, saya mengapresiasi keberaniannya membuka dialog kritis. Fouda sebenarnya tidak sendiri. Selain teman sejawatnya, beberapa pemikir sejarah seperti Mahmoud Muhammad Ayoub, Anthony Black, Wilfred Madelung, Brockelman, dan sebagainya juga punya pandangan yang cukup kritis soal sejarah perpolitikan muslim, yang kemudian juga mendapat respon dari sejarawan lainnya, seperti Muhammad Ali Al Shalabi dan Yusuf Al ‘Isy. Bagaimanapun, dialog yang dilandasu ilmu adalah pintu terbaik untuk “perang”  untuk rekonsiliasi pemikiran yang bertentangan. Tabayyun terhadap validitas informasi dan pemikiran yang terkonfirmasi memudahkan kita untuk  menjernihkan pikiran-pikiran yang tidak berdasar, penuh prasangka, dan fallacy.

Selain argumentasi dengan ilmu sangat diperlukan untuk memecahkan masalah bersama, kesepakatan yang mengikat adalah komitmen untuk duduk secara serius dan fair. Para founding fathers kita adalah contoh dalam hal ini. Dahulu juga, Kiai Dahlan dan Kiai Bahauddin Al Mudhary, dua tokoh dialog agama besar pada masanya menempuh hal tersebut. Mengutip Buya Syafi’i, beliau mengatakan,”Dimana ada pokoknya, disana tidak ada peradaban, tidak ada dialog”.

Pada akhirnya Kekerasan adalah jalan paling akhir dan sebisa mungkin dihindari. Bahkan Qitaal/ Muqaatalah (peperangan/pertempuran) dalam Al Qur’an sifatnya defensif, jalan terakhir apabila ada kezaliman yang tidak lagi bisa dibendung tanpa jalan tersebut (Q.S Al  Hajj:  39). Sedangkan dalam suasana dakwah, apalagi sifatnya wathaniyyah (kebangsaan), harus dikedepankan 3 lapis metode dakwah, yaitu Hikmah , Mauizah Al Hasanah (nasehat yang baik), dan Al Jadal (debat ilmiah) sebagaiman firman Allah SWT dalam Q.S Al Nahl: 125. Semoga kita selalu dalam petunjuk Allah SWT.Wallahu ‘Alaam.[]

Khairul-Amin

Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar