Santri Cendekia
Home » Membumikan Jus in Bello Islam

Membumikan Jus in Bello Islam

Dalam publikasinya yang bertajuk Global Humanitarian Review 2020, United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/ UN OCHA (badan PBB yang bertugas menjalankan fungsi koordinasi urusan bantuan kemanusiaan), menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2019, penerimaan dana bantuan kemanusiaan memecahkan rekor terbanyak dengan total sebesar 16 milyar dolar. Sayangnya, rekor tersebut dibarengi dengan pecahnya rekor lain, yakni bertambah pula jumlah orang yang terdampak dari bencana kemanusiaan. 70,8 juta orang meninggalkan rumah mereka, dan 12 ribu anak meninggal dunia. Angka yang memilukan ini, disebabkan oleh dua hal; kondisi cuaca ekstrem, dan konflik berkepanjangan.

Masih dari sumber yang sama, konflik yang berlarut-larut (protracted) terus menjadi penyumbang terpenting terjadinya krisis kemanusiaan di tahun 2019. Di antara faktornya, dan yang menjadi fokus dari tulisan ini, adalah, pengabaian pada seperangkat aturan internasional yang membatasi cara dan penggunaan senjata saat konflik bersenjata. Aturan ini biasa disebut dengan ‘Hukum Humaniter Internasional (HHI) / International Humanitarian Law (IHL), atau juga dikenal dengan ‘jus in bello’. Beberapa domain jus in bello, antara lain; larangan pelaparan (starvation) sebagai strategi berperang, pelindungan bagi tenaga dan fasilitas medis, perlakuan terhadap jenazah yang layak dan bermartabat (Management of the Dead), dan, secara umum, pelindungan terhadap orang yang tidak (warga sipil; termasuk perempuan dan anak-anak, beserta harta benda mereka), atau tidak lagi (kombatan dan petempur), ikut serta dalam konflik bersenjata. Singkatnya, HHI adalah bagian dari hukum internasional yang mengatur standar minimum perlakuan manusiawi yang harus dihormati oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata (Melzer: 2019). Instrumen terpenting HHI adalah Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Geneva law) dan Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 (The Hague law).

Jus in bello perlu dibedakan dari jus ad bellum. Jika jus in bello adalah seperangkat aturan yang berlaku saat perang, maka jus ad bellum berlaku sebelum perang terjadi. Ia berupa aturan-aturan yang menjustifikasi kapan satu pihak bisa menggunakan ‘use of force’ melawan pihak lain demi kepentingan tertentu. Di antara sumber jus ad bellum ini adalah Piagam PBB (UN Charter).

Jus in bello / HHI juga tidak sama dengan Hukum HAM Internasional / International Human Rights Law (IHRL). Sebagaimana telah disampaikan, terang bahwa HHI berlaku hanya pada masa konflk bersenjata, sementara Hukum HAM Internasional berlaku baik pada masa damai, maupun masa perang (Droege: 2007). Sebagian juris mengatakan bahwa HHI adalah lex specialis / mukhas}s}is} dari Hukum HAM Internasional, tapi ada pula yang berpendapat bahwa kedua rezim hukum tersebut menjadi pelengkap (complementary / mukammil) untuk satu dan yang lain.

HHI dan Islam

Baca juga:  Ketika Seorang Santri Google Quasi-Wahabi Memimpin Yasinan-Tahlilan

Menurut Annual Report 2018 yang dirilis sebuah lembaga kemanusiaan internasional yang fokus berkerja di area konflik, International Committee of the Red Cross (ICRC), negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim mendominasi daftar 15 besar alokasi dana yang digelontorkan lembaga tersebut untuk kebutuhan operasionalnya, mulai dari Syria di urutan teratas, Irak, Yaman, Afghanistan, hatta Libya di urutan ke-15.  Hal ini menjadi sinyalemen bahwa Islam adalah variabel penting dan menentukan dalam konflik yang berlangsung saat ini. Tentu kita tidak hendak berdebat apakah Islam adalah agama pemicu konflik. Poin yang dituju adalah tradisi Islam terkait konflik menjadi salah satu bidang yang relevan untuk ditinjau dan dikaji guna mengetuk kesadaran publik akan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia. Pula, kajian HHI dan Islam dalam artikel singkat ini tidak untuk digiring pada persoalan garis pandangan-hidup (worldview) tertentu, ia dibahas melainkan demi alasan operasional kemanusiaan di lapangan. Jadi please, fokus.

Dua fakta di atas; dominasi negara berpenduduk mayoritas Muslim dan dugaan pelanggaran terhadap HHI dalam konflik bersenjata yang sedang berlangsung, mendorong dunia kemanusiaan dan akademisi untuk menggali dimensi jus in bello lebih dalam pada tradisi Islam.  Tujuan luhur usaha ini adalah mencari instrumen alternatif pendamping HHI, guna ‘mengurangi’, dan tidak ‘mencegah’,  penderitaan bagi mereka yang terdampak. Perkara pencegahan terjadinya konflik dan perang, termasuk merawat perdamaian, lagi-lagi bukan urusan si jus in bello ini. Sebagaimana digambarkan grup musik Globus dalam Europa, tidak ada perang yang bebas dari penderitaan dan kesengsaraan, kusut masai. Dus, saat perang sudah ‘terlanjur’ pecah, HHI hadir dan mencoba realistis dengan hanya mendedikasikan dirinya pada terselenggaranya konflik dan perang yang lebih beradab, bermartabat, dan manusiawi, bukan yang lain.

Mengkaji pertautan antara HHI dan Islam adalah upaya kontekstualisasi HHI agar lebih dipahami oleh mereka yang terlibat dan terdampak oleh pertikaian; kewajiiban dan hak baik bagi para petempur ataupun warga sipil. Dengan menelaah perjumpaan antara HHI dan Islam, sentimen terhadap penghormatan martabat manusia di saat perang diharapkan lebih menguat, khususnya bagi petempur yang menjadi mukha>t}ab utama dari HHI. Pengajaran dan diseminasi HHI ‘saja’ (tanpa dikaitkan dengan Islam) bagi angkatan bersenjata sebuah negara berdaulat mungkin lebih bisa diandalkan. Karena sudah selayaknya sebuah negara dengan angkatan bersenjatanya yang profesional memasukkan materi HHI pada kurikulum di akademi dan pelatihan-pelatihannya. Kajian HHI dan Islam justru akan lebih berperan dan berkesan khususnya pada konflik dalam negeri (non-internasional) yang di antara aktor yang terlibat adalah kelompok-kelompok bersenjata non-negara (non state armed groups). Aktor non-negara ini, bisa berupa kaum separatis, pemberontak, atau bahkan untuk mereka yang dilabeli ‘teroris’ sekalipun. Pada situasi ini, pendekatan dengan usaha diseminasi dan pengajaran HHI an sich dinilai kurang efektif (Jo: 2017).

Baca juga:  Ateis Paruh Waktu

Lebih lanjut, pada konteks dunia Islam, HHI yang kadang dicitrakan sebagai produk Barat atau bahkan lahir dari tradisi Judeo-Christian membuat penerimaan, alih-alih penghormatan, terhadapnya memiliki tantangannya tersendiri. Dikotomi hukum Allah dan hukum selain Allah (hukum kafir, tagut) menjadi salah satu sebab. Pada gilirannya, bagi sebagian kaum, menaati hukum Allah (Islam) lebih utama daripada hukum selain Allah, kalau tidak mau dikatakan bahwa mematuhi hukum selain Allah adalah haram.

Pengkajian titik-temu HHI dan Islam pada intinya dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan. Pertama, sebagai pelengkap (complementary) dari kajian dan pengajaran HHI. Bagi petempur Muslim baik negara maupun non-negara yang tidak memiliki masalah dengan rezim hukum ‘non Islam’ seperti HHI, aspek ajaran Islam terkait HHI dapat dijadikan faktor tambahan untuk mematuhi aturan-aturan yang tertuang dalam HHI. Sebut saja, misalnya,  perlakuan Nabi SAW terhadap tawanan perang (Prisoners of Wars (PoWs) / asra al-harb) pada masa perang Badar yang dikisahkan oleh al-Thabari dalam Tarikh-nya sebagaimana dikutip oleh al-Dawoody (2011). Dilaporkan bahwa 70 tawanan perang disebar ke masjid-masjid dan rumah-rumah para Sahabat untuk mendapatkan tempat yang layak (shelter). Hal ini disebabkan kala itu belum ada fasilitas khusus untuk para tahanan dan tawanan perang. Kisah ini tentu saja senafas dengan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 Bagian III terkait Pelindungan Tawanan Perang. Temuan seperti ini diharapkan dapat mendorong para tentara dan petempur Muslim untuk lebih menerima dan mematuhi HHI.

Kedua, sebagai mediator (intermediary) terhadap penerimaan HHI. Peran ini berlaku bagi para petempur non negara yang belum mengenal HHI dan diduga memiliki kencenderungan untuk menerimanya. Dalam hal ini, kajian Islam berfungsi sebagai entry point kepada pengenalan HHI. Persamaan maksud dan tujuan univesal antara Islam dan HHI, diharapkan membuat mereka yang sebelumnya belum pernah mendengar HHI dapat menemukan spirit yang sama dan berujung pada penerimaan (acceptance) dan penghormataan (respect) terhadap HHI.

Baca juga:  Menyibak Hipokrisi Barat, Media, dan Keterlibatan Gereja di dalam Krisis Gaza

Ketiga, sebagai satu-satunya opsi menuju tegaknya penghormatan terhadap  martabat manusia. Fungsi terakhir ini menjadi pilihan ketika berhadapan dengan audiens  yang sangat resisten terhadap sistem dan rezim hukum ‘non-Islam’ layaknya HHI. Bagi kelompok ini, hukum Islam adalah satu-satunya hukum yang harus dipatuhi, tidak bisa tidak. Inventarisasi aturan-aturan dan norma-norma perang Islam yang senafas dengan nilai-nilai HHI menjadi mendesak untuk dikedepankan di hadapan audiens ini. Motivasi diri untuk taat pada ajaran Islam (self-imposement) menjadi ikhtiar pamungkas dan satu-satunya yang bisa dilakukan demi menjunjung tinggi martabat kemanusiaan (al-kara>mah al-insa>niyyah)[1] saat perang berkecamuk.

Akhirulkalam, lantaran masih menjadi bidang yang kering, studi pertautan Islam dan HHI perlu senantiasa dibumikan oleh para pendakwah dan akademisi khususnya di Indonesia. Terkait ini, apa yang sudah dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah (nama kerennya Muhammadiyah Disaster Management Center-MDMC) melalui penerbitan buku Fikih Kebencanaan (2015) perlu diapresiasi dan diamalkan.  Buku yang disusun berdasarkan Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-29 tahun 2015 itu, misalnya, memberi perhatian pada elemen HHI terkait subyek Management of the Dead dengan sub-bab tersendiri berjudul “Memperlakukan Jenazah Korban Bencana”. Patut dicermati bahwa ‘bencana’ di sini, bagi Muhammadiyah, mencakup bencana alam (natural disaster) dan bencana non-alam (man-made disaster) yang mana konfik dan peperangan termasuk di dalamnya. Meski dalam porsi yang terbatas, usaha ini menjadi momen dibukanya gerbang ijkhtiar dan ijtihad susulan mengenai diskursus Islam dan HHI baik di internal Muhammadiyah maupun jama’ah yang lebih luas. Semoga!

Wa Allah taala alam

Fastabiq al-khairat

[1] Q.S. 17: 70

Nash Nashrullah

Kader muda Muhammadiyah bukan intelektual dan Alumni Sekolah Tarjih MTT PP Muhammadiyah – Pusat Tarjih Muhammadiyah UAD.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar