Santri Cendekia
Home » Islam Hapuskan Rasisme Sejak 14 Abad Lalu

Islam Hapuskan Rasisme Sejak 14 Abad Lalu

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat : 13)

 

            Tanggal 15 maret 2019, hari jum’at lalu, muslimin sedunia kembali berduka. Penembakan yang terjadi di masjid An-nuur, daerah Christchurch, New Zealand, oleh seorang pemuda Australia berusia 28 tahun bernama Brandon Tarrant menimbulkan korban jiwa sebanyak 49 orang dan puluhan mengalami luka-luka. Tarrant mengklaim serangan itu untuk mewakili “jutaan warga Eropa dan bangsa-bangsa etno-nasionalis lainnya”. Dia mengatakan “kita harus memastikan keberadaan rakyat kita, dan masa depan untuk anak-anak kulit putih”.[1]

            Dia menggambarkan alasannya adalah untuk “menunjukkan kepada penjajah bahwa tanah kami (mewakili orang kulit putih Eropa) tidak akan pernah menjadi tanah mereka (imigran), tanah air kami adalah milik kami sendiri dan bahwa, selama orang kulit putih masih hidup, mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kami dan mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kami.”[2] Ya, Brendan mewakili gerakan rasisme yang bisa kita kenal sebagai “white supremacy”, sebuah ideologi yang menganggap bahwa ras kulit putih itu lebih tinggai dan mulia dibanding ras lainnya. Ideologi ini pula yang kelak akan melahirkan banyak penjajahan dan penindasan orang orang barat kepada berbagai bangsa dan Negara di seluruh belahan dunia. Baik itu penjajahan di benua asia, pemusnahan etnis di benua Australia dan Amerika, hingga perbudakan di benua Afrika.

            Rasisme memang selalu menjijikan dan melahirkan kisah pilu dibelahan dunia manapun dan di potongan jaman manapun. Rasisme memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia yang bisa dilacak melalui beberapa kisah. Seperti Fir’aun yang berasal dari suku Qibthi Mesir bersikap rasis terhadap Bani Israil dengan memperbudak mereka untuk masa yang panjang.[3] Tidak sampai di situ, bermodalkan sebuah mimpi munculnya api dari Baitul Maqdis yang membakar rumah rumah di Mesir dan seluruh kaum Qibthi namun tidak membahayakan Bani Israil, lalu para para normal dan tukang sihir kerajaan Fir’aun  menafsirkan mimpi itu bahwa kelak akan lahir seorang bayi lelaki dari kalangan Bani Israil yang akan menghancurkan penduduk Mesir. maka Fir’aun membuat sebuah undang-undang bahwa setiap bayi laki-laki dari Bani Israil yang lahir harus dibunuh dan anak perempuan dibiarkan hidup. [4]

            Sikap rasisme ini pula ditunjukan oleh kaum Yahudi di era Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yahudi menolak beriman kepada Rasulullah karena Rasulullah bukanlah seorang Nabi yang memiliki ras yahudi, melainkan ras arab[5]

            Kelak di masa yang agak jauh ke depan, giliran orang-orang yahudi yang menjadi korban dari keganasan rasisme ini pada peristiwa holocaust. Holocaust merupakan persekusi dan pembantaian sekitar enam juta orang Yahudi yang dilakukan secara sistematis, birokratis dan disponsori oleh rezim Nazi beserta para kolaboratornya. “Holocaust” berasal dari bahasa Yunani yang artinya “berkorban dengan api.” Konon Pada peristiwa Holocaust, 6 juta orang yahudi tewas.[6]

            Sikap dan perilaku rasisme ini bahkan telah mendapatkan justifikasi dari aristoteles. Menurut pemikir yunani purba ini, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang terampil dan cerdas, sementara orang asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah ‘kehendak alam’ bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian lahir sebagai manusia merdeka, sedang yang lain dilahirkan sebagai budak.[7] Aristoteles menegaskan bahwa kita harus menerima fakta bahwa ada manusia-manusia dengan  ciri genetic tertentu memang dilahirkan untuk diperbudak atau dijajah oleh bangsa lain.

Baca juga:  Diskursus Maslahat Dalam Teori Hukum Islam Kontemporer (Bagian 3)

            Demikian pula Tacitus, penulis sejarah romawi yang terkenal, mengidolakan bangsa jerman (Eropa Utara) karena ciri-ciri fisik mereka (kulit terang, rambut pirang, mata biru) yang dianggapnya masih murni belum bercampur dengan ras-ras yang lain.[8] Kombinasi tiga hal (karakter fisik, mental, dan perasaan paling unggul) inilah yang dijadikan acuan oleh generasi kemudian untuk mebangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.[9] Termasuk pembunuhan dan pembantaian tanpa belas kasih seperti yang dilakukan Brandon Tarrant.

            Begitupun semangat imperialisme dan kolonialisme bangsa barat ke seluruh belahan dunia, khususnya ke negeri negeri muslim, muncul setelah pada perjanjian tordesilas di tahun 1496, Paus Alexander VI ‘membagi-bagikan’ dunia kepada Spanyol dan Portugis sebagai representasi dua kerajaan katolik terbesar pada waktu itu.  Paus Alexander VI memberikan belahan dunia bagian barat kepada spanyol, dan belahan dunia bagian timur kepada portugis.[10] Paus VI juga mengajarkan bahwa bangsa-bangsa di luar vatikan yang tidak beragama katolik, dinilai sebagai bangsa biadab. Negara atau wilayahnya dinilai sebagai terra nullius (wilayah kosong tanpa pemilik). ‘Fatwa’ paus inilah yang menyuburkan imperialisme dan kolonialisme bangsa barat dengan spirit Gold (mencari kekayaan), Glory (kejayaan dan kekuasaan), Gospel (penyebaran agama katolik).[11]

            Memasuki abad modern, kalangan akademik lebih menyuburkan lagi rasisme dengan bungkus ilmiah. Charled Darwin lewat bukunya, The Deccent of Men (1871) menyampaikan bahwa bangsa-bangsa beradab bisa dipastikan bakal melenyapkan dan menggantikan bangsa-bangsa biadab di seluruh dunia.[12] Teori evolusi ras kemudian dikembangkan oleh Ludwig Gumplovicz dalam karyanya, Der Rassenkampf (1883) yang meniscayakan terjadinya pertarungan antar ras dan memberikan inspirasi gerakan NAZI.[13]

            Lalu bagaimana sebenarnya islam memandang rasisme? Semenjak masa awal  turunnya, islam merekonstruksi pandangan manusia soal rasisme. Itu mengapa islam begitu mudah diterima oleh golongan budak dan kaum-kaum papa dari kalangan Quraisy. Siapapun mereka, baik orang merdeka atau budak, baik kaum bangsawan atau kaum papa, baik masyarakat kelas 1 atau masyarakat kelas 2, memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam islam (kecuali beberapa hal yang berkenaan dengan hukum taklifiyyah bagi seorang budak). Karena islam mengajarkan, penghambaan sejati hanya boleh terjadi kepada Allah ‘azza wa jalla.

            Fakta kuat bahwa islam menentang dan memerangi rasisme, dibuktikan dengan turunnya sebuah ayat yang membahas bahkan mematikan bibit-bibit rasisme langsung ke inti munculnya permasalahan, yaitu pemahaman tentang ontology manusia dan asal-usulnya, yaitu surat Al-Hujurat ayat 13.

            Asbabun Nuzul dari ayat ini adalah, menurut Ibnu Abi Hatim ketika peristiwa Fathu, Bilal ra menaiki ka’bah dan mengumandangkan adzan. Melihat pemandangan itu, beberapa orang Quraisy pun bergumam, “apakah budak hitam itu mengumandangkan adzan di atas kab’bah?”. Maka diturunkanlah surat ini.[14] Peristiwa naiknya Bilal ke atas ka’bah untuk mengumandangkan adzan merupakan sebuah deklarasi persamaan derajat manusia di dalam islam dengan amal dan taqwa sebagai parameter kemuliaan setiap orang.

Baca juga:  Narasi Al-Qur'an soal Anak

            Ayat ini dimulai dengan seruan, “Ya Ayyuhannas” (wahai manusia sekalian). Ini berarti, ayat ini akan berbicara tentang sesuatu yang universal. Sesuatu yang seharusnya apabila seorang insan mau jujur, baik dia muslim atau kafir, dia akan mendapatkan pesan dan hikmah dari ayat ini.

            Ayat ini Allah ‘azza wa jalla lanjutkan, “inna kholaqnakum min dzakarin wa untsa”. Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan. Seluruh manusia, asal-usulnya adalah seorang lelaki bernama Adam as dan seorang wanita bernama Hawa as. [15] Jadi tak sepantasnya kita mengaku-ngaku sebagai bangsa, ras, atau kaum yang lebih unggul dari yang lain. Baik kita itu orang berkulit hitam atau putih, bermata besar atau sipit, berbadan tinggi atau pendek, bermata hitam atau biru, dan berbagai ciri khas fisik lainnya.  Kita semua berasal dari satu ayah dan ibu. We are all brotherhood in humaniy. Tidak ada satupun kaum yang berhak untuk menindas kaum lain hanya karena alasan ras dan ciri-ciri tertentu pada fisiknya.

            Lalu apa alasan Allah ‘azza wa jallan menciptakan kita dengan begitu beragam? Dengan ciri-ciri tertentu yang menempati daerah-daerah tertentu? “waj’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’aarofu” (dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal). Ya, semua keberagaman etnis dan ras ini Alah hadirkan di dunia agar manusia bisa saling mengenal.

          Apa urgensi dari saling mengenal itu? Untuk menghilangkan perasaan merendahkan dan menghina kepada bangsa dan kaum lain, karena bisa jadi satu kaum memang memiliki kelebihan atas kaum yang lain, namun kaum lain memiliki kelebihan juga yang tak mereka punya.[16] Saling mengenal juga bertujuan untuk menghilangkan prasangka-prasangka yang selama ini rentan untuk menimbulkan predujice (pra penilaian) yang akhirnya mengakibatkan manusia saling menutup diri dari manusia lain yang berasal dari kaum lain, atau bahkan saling membenci dan saling membunuh.[17]

             Lalu berdasarkan apa bahwa manusia yang satu lebih baik dari manusia yang lain? Atau apa kriteria manusia terbaik? “inna akramakum ‘indallahi atqokum” (sungguh yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa). Maka Allah terangkan, parameter kehormatan dan kemuliaan manusia adalah level taqwanya. Bagaimana ia hidup dengan rasa takut kepada Allah, hingga ia patuh terhadap perintah-perintah Allah kepadanya dan ia menjauhi larangan-larangan Allah kepadanya. Dimana pengamalan perintah-perintah itu dan penjauhan terhadap larangan-larangan itu pasti akan menjadi rahmat bagi alam semesta.

      Innallaha ‘Alimun Khobir (Sungguh Allah Maha Tahu dan Maha Mengetahui hal-hal yang kecil lagi tersembunyi). Allah ‘azza wa jalla tak akan salah menilai kemuliaan kita, Allah Maha Tahu keadaan hamba-Nya, bahkan Allah Tahu sampai hal-hal yang tersembunyi seperti perkara keadaan qalb seseorang. “Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan pada fisik kalian dan rupa kalian, tapi Allah memperhatikan hati dan amal kalian”. Terkadang ada manusia yang berpenampilan good looking, berpendidikan, berpangkat, namun menyimpan hati yang kotor, dan amalnya pun jahat, seperti Abu Lahab. Terkadang ada yang terlihat jelek, berpendidikan rendah, pekerjaannya pun adalah pekerjaan masyarakat kelas dua, namun hatinya baik, amalnya soleh, dan penuh manfaat kepada sesama. Allah tak akan salah menilai itu semua, Allah tak bisa dikelabui barang sedikit. tidak seperti manusia yang kadang terperangkap oleh pre-judice karena melihat latar belakang suku, kaum, ras, dan ciri-ciri fisik seseorang.

Baca juga:  Kontribusi Ilmuwan Muslim di tengah Wabah The Black Death

          Mari kita dengar wasiat indah Rasulullah bagi kemanusiaan di khutbah perpisahan beliau pada haji wada. “Wahai Manusia, Sungguh Tuhan kalian Esa. Bapak kalian satu (Adam). Sungguh tidak ada keutamaan orang orang Arab atas orang-orang ‘Ajam (non-arab). Dan tidak pula orang-orang ‘Ajam atas orang-orang ‘Arab. Tidak pula bagi orang-orang berkulit hitam atas orang berkulit merah. Tidak pula orang-orang berkulit merah atas orang-orang berkulit hitam, melainkan dengan ketaqwaan. Apakah aku sudah menyampaikan? Orang-orang pun menjawab, ‘sudah’. Lalu beliau bersabda, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir”(HR Thabari).[18]

            Jika kita membaca pesan ini setelah kita mengumpulkan dan mengetahui data data keganasan dari rasisme di seluruh dunia, tentu pesan ini akan terasa begitu indah dan universal. Bahwa meskipun islam benar diturunkan pertama kali kepada orang Arab, tapi orang Arab tidaklah lebih baik daripada orang non arab. Ras arya, rasnya orang arab, pun tak lebih baik dari ras kulit hitam, ras Bilal dan orang-orang habasyah. Semua sama, yang membedakan hanya ketakwaan mereka.

           Kita pun tahu, salah satu istri Rasulullah, Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab radhiyallahu ‘anha adalah seorang wanita berdarah yahudi. Bahkan ayahnya adalah salah satu pemuka yahudi yang begitu keras memusuhi Rasulullah dan akhirnya harus berakhir mendapatkan hukuman penggal bersama sama dengan beberapa orang-orang dari Bani Quraizhah.[19]

        Kita juga tahu bagaimana orang orang yahudi berkali kali melakukan penghianatan kepada muslimin. Dari mulai penghianatan Bani Qainuqa’, penghianatan Bani Nadhir, Penghianatan Bani Quraizhah, hingga konspirasi yang masih dilancarkan oleh Yahudi Khaibar. Namun dengan menikahi Shafiyyah ra, Rasulullah hendak mengajarkan kepada kita, bahwa sebrengsek-brengseknya track record perlakuan yahudi terhadap islam, kita tetap tidak boleh memusuhi dan menghinakan yahudi karena rasnya. Yang perlu kita waspadai adalah kebiasaannya berkhianat, cukup sampai di situ.

      Maka rasisme adalah musuh kemanusiaan. Musuh kita bersama. Dan tentu sebagai umat muslim yang mendapatkan bimbingan langsung dari Wahyu, kita yang harus menjadi pioneer Utama untuk mengajarkan dan mengimplementasikan makna ayat ini kepada seluruh manusia. Karena islam bahkan sudah memunculkan solusi jitu untuk memerangi Rasisme semenjak 14 abad yang lalu, bahkan jauh sebelum Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi lahir di dunia ini.

Allahu a’lam

Referensi:

[1] https://tirto.id/alasan-pelaku-penembakan-masjid-christchurch-terungkap-di-manifesto-djAJ

[2] ibid

[3] Ibnu Katsir, “Qashahsul Anbiya”

[4] Imam Ath-Thabari, “Tafsir Ath-Thabari”

[5] Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah Ar-Rahiqul Makhtum”

[6] Wawancara Tirto dengan Sejarawan Baskara T. Wardaya, Direktur Pusat Demokrasi dan HAM (Pusdema)

[7] Aristotle, “Politics”, diterjemahkan oleh Ernest Barker

[8] Tacitus, “The Complete Works of Tacitus”, diterjemahkan oleh AJ Church dn W. Brodribb

[9] Hugh Tinker, “Race, Conflict, and International Order”

[10] Hans W. Weigert, “Principles of Political Geography”

[11] Ahmad Mansur Suryanegara, “Api Sejarah Jilid 1”

[12] Charles Darwin, “The Decent of Man”

[13] Ludwig Gumplowicz, “Der Rassenkampf”

[14] Dr. Wahbah Zuhaili, “Tafsir Al-Munir”

[15] ibid

[16] “Al-Qur’an Al-Karim”, Surat Al-Hujurat ayat 11

[17] “Al-Qur’an Al-Karim”, Surat Al-Hujurat Ayat 12

[18] Imam Ath-Thabari, “Adabun Nufus”.

[19] Syaikh Shafiyyurhman Al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah Ar-Rahiqul Makhtum”

 

irfan fahmi

mencoba memahami makna dari surat-surat cinta yang Allah turunkan melalui Nabi dan Rasul-Nya

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar