Santri Cendekia
Home » Menelaah Konsepsi Bid’ah Menurut Muhammadiyah

Menelaah Konsepsi Bid’ah Menurut Muhammadiyah

Bid’ah secara bahasa artinya mengadakan sesuatu yang belum tercipta sebelumnya. Sementara bid’ah menurut istilah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama atau selainnya (Al Mu’jam Al Wasith).

Bid’ah Menurut Para Ulama

Syaikh Abdullah Bin Baz mengartikan bid’ah sebagai ibadah yang diada-adakan. Menurutnya seluruh bid’ah adalah sesat. Tidak ada pembagian jenis bid’ah. Hal tersebut didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW bahwa setiap bid’ah adalah sesat. (binbaz.org.sa)

Senada dengan Syaikh Abdullah bin Baz, menurut Ibnu Rajab Al Hanbali bid’ah adalah hal yang baru yang tak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang masih mempunyai landasan syariat maka bukanlah bid’ah, namun merupakan bid’ah secara bahasa.

Di sisi lain Syaikh Ali Jum’ah menukil pandangan Al Izz Bin Abdissalam bahwa bid’ah adalah perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. Bid’ah terbagi menjadi lima: bid’ah wajibah, bid’ah mandubah (sunnah), bid’ah makruhah, bid’ah muharramah dan bid’ah mubaahah. Hukum bid’ah dikembalikan kepada hukum syara’ yang menyertainya.

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Syafi’i bahwa bid’ah terbagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah bid’ah yang menyalahi Al Quran, Sunnah, Atsar dan Ijmak. Maka ini adalah bid’ah dhalalah (sesat). Yang kedua adalah bid’ah yang baik yang tidak menyalahi hal-hal tersebut (Al Quran, sunnah dst.) maka hal tersebut bukanlah bid’ah yang tercela. (draligomaa.com)

Nahdlatul Ulama menyepakati pandangan adanya kategorisasi terhadap bid’ah yang menyebabkan fleksibilitas dalam amalan mereka. Tahlilan, Yasinan, Haul dan Peringatan Hari Besar Islam menurut mereka tidak terlarang. Jika hal-hal tersebut adalah bid’ah karena tidak ada pada masa salaf, maka itu juga bukan masalah. Karena bid’ahnya adalah bid’ah yang baik (hasanah).

Adapun Muhammadiyah, sejauh yang saya tahu, tidak ada dalam satu keterangan resmi maupun pendapat tokohnya yang membenarkan kategorisasi terhadap bid’ah. Dalam persoalan ini NU dan Muhammadiyah berseberangan.

Baca juga:  Tawakkal kepada Ar-Razzaq

Bid’ah Menurut Muhammadiyah

Muhammadiyah dikenal anti dengan Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC). Namun sampai saat ini saya belum menemukan rumusan konsepsi yang spesifik mengenai bid’ah menurut Muhammadiyah. Yang bisa saya lacak adalah Kitab Masalah Lima dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Dalam rumusan tersebut, ulama tarjih merumuskan pengertian lima hal penting dalam agama: Definisi Agama, Dunia, Ibadah, Qiyas dan Sabilillah.

Dari rumusan tersebut kita tahu bahwa menurut Muhammadiyah, sesuatu menjadi bagian dari agama jika terdapat dalam Al Quran dan Sunnah Shahihah/Maqbulah. Artinya dalam hal keagamaan, Al Quran dan Sunnah harus menjadi rujukan utama. Bagi Muhammadiyah agama adalah dalil, dan dalil yang paling kuat adalah Al Quran dan Sunnah.

Sementara itu menurut Muhammadiyah terdapat juga perkara dunia yang bukan menjadi tugas diutusnya Rasulullah SAW. Dalam perkara dunia manusia dianggap lebih mengetahuinya dibanding dengan Nabi sendiri. Maka perkara dunia memungkinkan untuk dilakukan ragam inovasi di dalamnya.

Selanjutnya Muhammadiyah membagi ibadah menjadi dua jenis: ibadah umum yakni segala amalan yang diizinkan syariat, sedangkan ibadah khusus adalah perbuatan ibadah yang ditetapkan rincian tata caranya oleh syariat.

Berdasarkan rumusan masalah lima, bisa didapatkan gambaran mengenai pemahaman keagamaan Muhammadiyah. Muhammadiyah meyakini bahwa agama harus dilandasi dalil Al Quran dan Sunnah. Jika ada sesuatu yang menyerupai ritual agama, namun tidak ada dalilnya dalam Al Quran dan Sunnah, maka itulah bid’ah yang sesat dan tertolak.

Selanjutnya Muhammadiyah berpandangan bahwa ada juga perkara di luar agama yang merupakan bagian dari perkara dunia. Dalam hal ini tidak ada bid’ah. Adapun hukum syariat yang dirumuskan ulama terhadap perkara dunia adalah maslahah mursalah, istihsan atau ‘urf. Bagi Muhammadiyah bid’ah dalam perkara dunia bukan sesuatu yang terlarang, melainkan justru dianjurkan. Karena Muhammadiyah adalah organisasi yang selalu mengikuti perkembangan zaman.

Baca juga:  Bagaimana Menulis Tesis dan Disertasi Islamic Studies dengan Framework Ilmu Sosial Humaniora? (2)

Muhammadiyah meyakini bahwa ibadah ada yang ditetapkan tata caranya dengan rinci. Dalam ibadah jenis ini, kita harus berusaha meniru Rasulullah SAW semirip mungkin (ittiba’). Jika kita menyalahinya, maka bisa termasuk ke dalam bid’ah.

Adapun dalam ibadah-ibadah yang sejak awal tidak ditetapkan aturan rinciannya, maka tata caranya diserahkan kepada kemaslahatan manusia, dan tidak ada bid’ah yang terlarang di dalamnya.

Fatwa Muhammadiyah Terkait Bid’ah

Dalam rekaman pengajian KH. AR Fachruddin yang kembali diunggah oleh kanal radiomu di youtube, Pak AR ditanya mengenai hukum selametan 3 hari, 7 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian.

Menjawab pertanyaan tersebut, Pak AR secara tegas mengatakan bahwa hal tersebut adalah kebiasaan saja, bukan berasal dari ajaran Agama Islam. Pak AR menjelaskannya dengan cara yang sangat halus dan berusaha tidak menyinggung. Pak AR mengatakan boleh saja bersedekah, asal tidak ditentukan waktu-waktunya 3 hari, 7 hari karena tidak ada dasarnya.

Dalam buku Mengenal dan Menjadi Muhammadiyah yang ditulis oleh KH. AR. Fachruddin dalam bentuk tanya jawab, dibahas mengenai pandangan Muhammadiyah terkait Peringatan Hari Besar Islam. Dalam buku tersebut, Pak AR menyebutkan bahwa sebenarnya peringatan-peringatan hari besar Islam, bahkan Milad Muhammadiyah dikhawatirkan termasuk ke dalam bid’ah. Namun karena kepentingan umat, seperti syiar dan propaganda, maka hal tersebut tak mengapa diadakan dengan banyak catatan.

Saya mencoba membandingkan pandangan Pak AR tersebut dengan fatwa Majelis Tarjih yang terbaru. Dalam fatwa terbaru tentang Selamatan setelah kematian, jawaban yang diberikan Majelis Tarjih sama dengan yang disampaikan Pak AR. Majelis Tarjih dan Pak AR sama-sama memilih diksi tidak ada tuntunannya atau tidak ada dasarnya dibanding mengatakan secara eksplisit bahwa itu bid’ah.

Saya juga membaca fatwa tarjih terbaru tentang Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mikraj, dan Peringatan HUT RI. Saya menemukan bahwa dalam fatwa terbaru, Muhammadiyah tidak lagi mengkhawatirkan hal-hal tersebut sebagai bid’ah. Muhammadiyah mengizinkan Peringatan Maulid Nabi, Isra Mikraj, dan Milad asalkan dimaknai sebagai ibadah ghairu mahdah dan tidak dianggap sebagai ritual keagamaan yang wajib.

Baca juga:  Antara Lagu yang Viral dan Sosok Sayyidah ‘Aisyah

Membandingkan pandangan Pak AR Fachruddin dengan fatwa tarjih terbaru, secara substantif tidak ada yang berbeda. Namun kesan saya yang boleh jadi salah, dalam soal peringatan hari besar Islam, Muhammadiyah hari ini tidak lagi terlalu khawatir bahwa mengadakan peringatan hari besar Islam akan menjerumuskan ke warga ke dalam bid’ah. Muhammadiyah lebih berani untuk meraih maslahat dari hal tersebut asalkan tidak dijadikan ritual keagamaan baru.

Bid’ah dan Khilafiyah

Dalam persoalan keagamaan pun, saya menemukan bahwa sebagian ustadz Muhammadiyah hari ini membedakan antara bid’ah dengan khilafiyah. Jika memang sebuah amalan masih ada dalil Al Quran dan Sunnahnya, namun dalil tersebut lemah menurut Muhammadiyah, hal tersebut masih tergolong khilafiyah.

Misalnya qunut subuh. Kecuali jika memang tidak ada dalil Al Quran dan Sunnahnya sama sekali, hanya fatwa ulama semata, maka itu termasuk bid’ah. Tentu saja masih ada juga ustadz Muhammadiyah yang lebih ketat, tidak ada khilafiyah, pokoknya tidak ada contohnya, atau dalilnya lemah, maka amalan tersebut termasuk bid’ah.

Oleh karena itu saya pikir di tengah arus pemikiran keIslaman yang semakin dinamis hari ini, Muhammadiyah perlu menegaskan wacananya seputar bid’ah. Terlebih hari ini juga ada fenomena-fenomena baru yang bagi saya menjurus kepada bid’ah.

Misalnya ada produsen makanan kucing halal. Ada ternak lele yang disetelkan murottal lalu diklaim sebagai lele Islami. Ada juga produk kulkas dan kerudung halal. Fenomena ini merupakan bentuk pensakralan terhadap sesuatu yang sebenarnya persoalaan keduniaan. Bagaimana Muhammadiyah memandang hal tersebut?

Robby Karman

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar