Santri Cendekia
sekularisme
Home » Mengapa Menolak Sekularisme dan Sekularisasi?

Mengapa Menolak Sekularisme dan Sekularisasi?

Resistensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap paham sekularisme secara khusus dan paham-paham yang datang dari Barat ke Indonesia secara umum, dinilai oleh sebagian cendikiawan Muslim, yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan Jaringan Islam Liberal (JIL), terlalua gresif dan berlebihan.[1]Pasalanya, MUI telah mengharamkan secara sepihak gagasan yang –menurut JIL-dapat menjadikan negara Indonesia lebih maju, dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Hal ini, menurut mereka tidak lain untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara.[2]Berikut pernyataan salah satu tokoh JIL, Ulil Absar Abdala:

“Fatwa MUI yang mengharamkan ide-ide pluralisme, liberalisme,dan sekularisme menurutnya menghambat dialog dan mengganggu kerukunan antar umat beragama. Ini menurutnya bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi. Ini juga kontras dengan pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menetapkan alm. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme.”[3]

Pernyataan di atas dengan jalas menggambarkan bahwa keputusan MUI selama ini, dinilai oleh JIL tidak terbuka dan cenderung bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat di Indonesia. Tulisan singkat ini berusaha menggambarkan secara filosofis dan historis hakekat sekularisme dan sekularisasi. Sehingga diharapkan pembaca dapat menilai alasan penolakan MUI tehadap paham sekularisme dan gerakan sekularisasi yang dianggap sebagai suatu bentuk kemajuan bagi suatu Negara, khusunya Indonesia.

Sekularisme dan Sekularisasi

Ditinjau dari bahasa, sekular secara etimologi berarti masa kini atau zaman sekarang, temporal atau duniawi. Ia diambil dari bahasa Latin saeculum, terdiri dari dua kata, saeberarti dunia, culum berarti abad atau waktu.[4]Adapun secara terminologi ia berarti suatu hal yang berkaitan dengan benda-benda yang dianggap tidak sakral, jauh dari muatan keagamaan, tidak rohani.[5]Maka sekularisme berarti paham yang bersifat keduniawian atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian. Adapun sekularisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang dipandang bersifat duniawi dan usaha memisahkannya dari kesakralan yang ada pada agama.

Dari sejarahnya, munculnya sekularisasi adalah buah dari sejarah pengalaman Barat untuk mendamaikan ketegangan antara filsafat dan agama. Antara pandangan alam yang semata-mata berdasar pada pandangan akal jasmani, dan pandangan alam yang semata-mata berdasar pada pandangan indera khayali.[6]

Terjadinya konflik antara filsafat dan agama disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah: pertama, banyaknya ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan doktrin agama Kristen. Kedua,  para ilmuan dipaksa tunduk kepada doktrin gereja yang penuh masalah secara filosofis. Ketiga, terjadi kebingungan di kalangan teolog Kristen dalam memahami doktrin agamanya. Contoh beberapa ilmuan yang berbenturan dengan doktrin gereja adalah Galileo Galilei(1546-1642), Giordano Bruno (1548-1600) dan Nicolas Copernicus (473-1543). Mereka dihukum (inquisisi) oleh pihak gereja karena penemuan-penemuan ilmiah yang mereka hasilkan berseberangan dengan doktrin gereja.[7] Keempat, gerakan reformasi protestan awal abad ke-16 yang mengatakanbahwa gereja telah menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi pemuka-pemuka Gereja. Ini terjadi dalam praktek jual beli penebusan dosa.[8] Hal-hal inilah yang kemuadian memicu terjadinya sekularisasi di dunia Barat.

Baca juga:  Perlu Dibaca ! "The Tao of Islam" Kitab Relasi Gender dalam Islam

Jelas sudah bahwa akar gerakan sekularisasi -berangkat dari paham sekularisme- yang muncul di dunia Barat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti yang sudah dijelaskan diatas. Setelah mengalami trauma dengan agama, mengalami keterbelakangan dan ilmu pengetahuan yang cenderung statis. Maka, konsekwensi dari itu saemua adalah Barat menerima sekularisasi sebagai proses menuju kemodernan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun yang menjadi masalah saat ini adalah ketika gerakan sekularisasi dibawa ke dalam Islam. Padahal, secara historis, dalam Islam tidak pernah terjadi pertentangan antara agama dengan filsafat atau ilmu pengetahuan seperti yang di alami di dunia Barat.

Di dalam Islam, menurut Fazlur Rahman, gerakan sekularisasi terjadi karena kemandekan pemikiran Islam secara umum, secara khusus karena kegagalan syari’at dan institusi agama dalam mengembangkan dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang selalu berubah. Namun menurut dia, yang menjadi masalah, apabila sekularisasi diterapkan dalam Islam, maka konsekwensinya adalah tetap adanya kepercayaan terhadap Tuhan, tapi lebih condong kepada keduniaan.[9] Di sinilah terjadi pertentangan secara idiologis antara Islam dan Sekulerisme.

Berbeda dengan Fazlur Rahman, Azzam Tamimi menegaskan bahwa secara sengaja, sekulerisasi dibawa ke dalam dunia Islam bersamaan dengan istilah-istilah lainnya seperti modernisasi, westernisasi yangmenjadi tujuan kolonialisme Barat. Sekularisme, seperti halnya istilah-istilah yang lain, biasanya berakibat pada pembebasan politik dari otoritas agama, atau lebih pada konteks lainnya, yaitu untuk tujuan marginalisasi Islam.[10]

Adapun secara filosofis, menurut al-Attas,mengutip dari Max Weber, bagian-bagian utama dari dimensi sekularisasi adalah:penghilangan pesona dari alam tabi’i (disenchantment of nature),peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization ofpolitics) dan penghapusan kesucian nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecrationof values).[11]

Untuk menjawab hal-hal di atas, al-Attas menerangkan bahwa pertama, tentang penghilangan pesona dari alam tabi’i, Islam memang menghapus kuasa sakti dari alam dalam arti alam ini tidak mempunyai kuasa sakti dalam memberi manfaat atau celaka. Tapi, bukan berarti menghilangkan nilai tuhan dalam arti yang mengatur dan menciptakan alam semesta. Karena fungsi alam semesta adalah sebagai buku yang agung dan terbuka untuk dimengerti dan ditafsirkan. Alam ini menunjukkan keteraturan dan harus dihanyati supaya mendapat pemahaman adanya hubungan simbolis antara tanda keteraturan alam dengan keberadaan dan keagungan Tuhan. Selain itu, manusia juga bertanggungjawab sebagi wakil tuhan dan pewaris kerajaan alam. Maka dari itu, mutlak diperlukan keharmonian antara dirinya dengan alam tabi’i. Karena ia diberi kepercayaan untuk mengurus kerajaan alam yang dimiliki Allah.[12]

Baca juga:  KH Ahmad Dahlan Menganjurkan Dialog Lintas Iman dan Madzhab

Kedua, tentang peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik. Memang Islam menghapus pengesahan kewibawaan agama-agama (non Islam) atau ritual-ritual pada kuasa dan otoritas politik, dalam arti kuasa politik tidak dapat sepenuhnya menjadi tolok ukur segala peraturan dan kebijakan hukum. Seperti keyakinan bahwa raja, paus (pemimpin tertinggi uskup) ataupun penguasa adalah sebagai titisan tuhan atau mutlak sebagai pembuat suatu aturan hukum (pembuat syari’at). Keyakinan ini jelas ditentang oleh Islam. Karena pada dasarnya Islam mengajarkan bahwa politik haruslah tunduk di bawah segala hukum sakral yang diwahyukan oleh Allah swt (al-Quran) dan yang sesuai dengan amalan Nabi saw (al-Hadits).[13]

Ketiga, tentang penghapusan kesucian nilai-nilai agama dari kehidupan, Islam memang menghapus nilai-nilai dari kehidupan manusia, tapi ia tidak berarti menghapus kesucian nilai secara keseluruhan, tapi  penghapusan di sini dimaksudkan pada nilai yang terbukti tidak Islami dan berlawanan dengan Islam, khususnya yang ada dalam wahyu dan ayat-ayat kauniyah. [14]

Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara historis dan filosofis sekularisasi cenderung memisahkan ilmu dan politik dari agama. Contoh Prancis dan Turkey, agama di sana dimarginalkan. Agama tidak boleh boleh memasuki urusan publik. Di Prancis ada larangan siswa memakai pakaian agama (jilbab), pelarangan adzan dst. Hal yang sama juga kita temukan di Turkey –meski saat ini, di bawah kepemimpinan Erdogan ada upaya mengembalikan agama pada ranah public. Maka jalaslah bahwa sekularisasi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sebab Pancasila menjadikan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai asas pertama negara Indonesia, sesuai dengan kepercayaan setiap orang yang beragama di Indonesia, khususnya orang Islam yang menjadikan tauhid sebagai landasan hidupnya. Mengutip kata Prof. al-Attas “Not only is secularization as whole the expression of an utterly un-Islamic worldview. It also set against Islam.”

Baca juga:  Misrepresentasi Muslimah Dalam Wacana Feminis (2)

_____________________________________

Semoga bermanfaat dan bisa didiskusikan!

Akhukum Fillah, Muhammad Shohibul Mujtaba. 🙂

[1]Ditulis dalam situs Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Muhammad Isryad, dengan tema Kritik atas MUI. Berikut situsnya: http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1421&cat=content&title=reportase, Ahad, 23/11/204

[2] Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005, Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama, Juli 2005.

[3] Loc. Cit. Kritikatas MUI

[4] The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English Language: Deluxe Encyclopedic Edition, (Florida: Trident Press International, 1996).P. 1138

[5] Loren Bagus, Kamus Filsafat, cetakan 4 (Jakarta: Gramedia, 2005), p. 980

[6] Syed Muhammad Naquibal-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), p.200

[7] Dr. Camile Al-Hajj, A Simplified Encyclopedia of Philosophical and Sociological Thought, p. 373dalam M Syukril Isma’il, Kritik Terhadap Sekularisme: Pandangan Yusuf Qardhawi, (Ponorogo: Cios, 2007), p. 11

[8] Syamsuddin Arif, Kemodernan, Sekularisasi dan Agama, dalam majalah Islamia, 2007, vol. III, p. 35. Lihatjuga Philip J. Adler, World Civilization, p. 314-315 dalam Adian Husaini,Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni  Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 37 di sini diterangkan bahwa Marthin Luther melakukan pemberontakan terhadap Paus terkait praktek jual beli surat penebusan dosa pada 31 Oktober 1517, Martin Luther (1483-1546) memberontak dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman. Gugatan yang paling pokok adalah mengenai praktek penjualan pengampunan dosa oleh pemuka Gereja.

[9] Fazlur Rahman, Islamand Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago & London: The University Of Chicago Press, 1984). P. 13

[10] Azzam Tamimi and John L Espasito, Islam and Secularism in the Middle East, (New York: New York University Press,2000), p. 13

[11] Syed Muhammad Naquibal-Attas, Islam and Secularism diterjemahkan oleh Dr. Khalif Muammarmenjadi Islam dan Sekularisme, Cet. II, (Bandung: PIMPIN, 2011). p. 20

[12] Ibid, 46-47

[13] Ibid, 39

[14] Ibid, p. 38

Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar