Santri Cendekia
Home » Mengenal Lebih Dekat Konsep Fikih Muhammadiyah

Mengenal Lebih Dekat Konsep Fikih Muhammadiyah

Saya bersyukur kanal IBTimes.id mengangkat laporan seminar pra-muktamar di Universitas Muhammadiyah Malang beberapa waktu lalu. Terutama laporan yang ditulis terkait apa yang disampaikan oleh Profesor Amin Abdullah tentang checklist Islam berkemajuan. Artikel itu sampai dengan tulisan ini dibuat, telah dibaca (baca: dilihat) lebih dari 5200 views. Ada yang menarik dari apa yang disampaikan oleh mantan ketua Majelis Tarjih (1995-2000) dan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dua periode (2005-2010) ini. Kurang mantap hanya membaca dari laporan IBTimes.id, saya mencari video acara tersebut (terimakasih untuk ustaz Azaki Khoirudin yang sudah mengirimkan link Youtube-nya). Dalam paparannya, pria kelahiran Pati itu sangat mengapresiasi gagasan Profesor Syamsul Anwar (ketua Majelis Tarjih pasca Amin Abdullah) yang telah memasukkan elemen al-qiyam al-asasiyyah (nilai-nilai dasar) dalam manhaj tarjih Muhammadiyah.

Tidak Hanya di Malang

Pujian dan apresiasi Profesor Amin Abdullah terhadap gagasan Profesor Syamsul Anwar tidak hanya diutarakannya di forum pra-muktamar di UMM kemarin. Jauh sebelum itu, tepatnya pada saat Munas Tarjih ke-30 di Makassar bulan Januari 2018 lalu, Profesor Amin Abdullah juga menyampaikan hal yang sama. Pada salah satu sidang komisi yang beliau hadiri, dan kebetulan saya menjadi notulis pada komisi tersebut, beliau dengan terang-terangan mengapresiasi konsep fikih Muhammadiyah yang digagas Profesor Syamsul Anwar.

Apresiasi yang disampaikan oleh Profesor Amin Abdullah di Malang kemarin sesungguhnya merupakan penegasan ulang bahwa di lingkungan tarjih Muhammadiyah, manhaj ijtihad yang dioperasionalisasikan telah mengalami pembaruan dan karena itu tidak stagnan seperti yang selama ini dituduhkan oleh beberapa pihak. Harapannya, dari pemberitaan yang diangkat oleh IBTimes.id tersebut, para pengkritik dan sebagian kalangan yang mungkin belum paham secara mendalam tentang updated manhaj tarjih, mau ngaji bersama agar seandainya pun mau menyampaikan kritik, disampaikan secara proporsional.

Lebih Dekat dengan Fikih Muhammadiyah

Sebagai sesama pembelajar, saya ingin mengajak para pembaca mengenal lebih dekat konsep fikih Muhammadiyah. Tentu sekali lagi, karena masih sama-sama belajar, tafsiran saya ini subjektif. Tapi setidaknya setelah ini para pembaca bisa menilai dan menelusuri lebih jauh tentang konsep fikih Muhammadiyah secara langsung.

Kita mulai dengan melacak asal-usul gagasan fikih Muhammadiyah. Jika ditelusuri, konsep awal fikih Muhammadiyah ini sesungguhnya adalah refleksi Profesor Syamsul Anwar terhadap konsep-konsep kunci, beserta kaidah-kaidah usuliyah dan fiqhiyyah yang ada dalam diskursus usul fikih yang selama ini berkembang. Dengan mengaitkannya pada teori norma yang diintrodusir oleh Hans Kelsen, Profesor Syamsul coba mengimplementasikannya dalam teori hukum Islam.

Kesimpulan Profesor Syamsul Anwar tersebut melahirkan satu teori yang ia sebut sebagai teori pertingkatan norma (Tulisan Profesor Syamsul Anwar tentang teori pertingkatan norma yang menurut saya menjadi genealogi konsep fikih Muhammadiyah dapat didownload disini). Menurutnya, dalam hukum Islam juga terdapat norma-norma yang saling bertingkat atau memayungi satu sama lain. Profesor Syamsul menjelaskan bahwa bangunan hukum Islam terdiri dari tiga norma, yaitu: (1) nilai-nilai dasar [al-qiyam al-asasiyyah]; (2) prinsip-prinsip umum [al-usul al-kulliyyah]; dan (3) peraturan hukum konkret [al-ahkam al-far’iyyah]. Tiga jenjang norma inilah yang kemudian diadopsi ke dalam manhaj tarjih Muhammadiyah. Tiga norma yang saling bertingkat dan memayungi satu sama lain ini pada gilirannya menjadi pondasi utama dalam produk-produk fikih Muhammadiyah.

Baca juga:  Cara Kiyai NU dan Muhammadiyah Merangkul eks-PKI

Dalam manhaj tarjih, tiga norma yang melandasi fikih Muhammadiyah tersebut dapat ditemukan pada halaman 28, di bawah sub-bagian “asumsi metode”. Saya kutipkan teks asli dalam manhaj tarjih dengan sedikit perubahan pada transliterasi,

“Asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas. Apabila jenjang norma dilihat dari atas ke bawah, maka jenjang norma itu adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar (al-qiyam al-asasiyyah) baik norma teologis maupun norma etik dan yuristik. Norma dasar ini diambil dari nilai-nilai universal Islam seperi tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan yang bersumber kepada al-Quran dan al-Sunnah, atau dapat disimpulkan dari kenyataan hidup manusia di bawah sinar sumber-sumber pokok pokok tersebut. Norma dasar ini memayungi norma di bawahnya yang berupa asas-asas (al-usul al-kulliyyah) yang diambil dari kedua sumber pokok di atas atau di satu sisi merupakan deduksi dari prinsip (nilai) dasar atau pada sisi lain merupakan abstraksi dari norma konkret. Asas-asas ini merupakan konkretisasi dari nilai-nilai dasar. Lebih jauh asas-asas ini pada gilirannya memayungi norma paling bawah, yakni norma konkret yang berupa ketentuan-ketentuan syar’i yang bersifat far’i (al-ahkam al-far’iyyah) yang langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i. Struktur jejang norma ini juga bisa dilihat dari bawah ke atas. Apabila dilihat dengan cara ini, maka norma dasar terletak pada bagian paling bawah yang berfungsi melandasi asas-asas. Asas-asas pada gilirannya melandasi norma-norma konkret yang merupakan norma paling atas yang berdiri di atas jenjang dua lapis norma lainnya yang lebih asasi”.

Agar mudah membacanya, saya mencoba membuatnya dalam bentuk diagram sebagai berikut dengan sedikit tambahan tafsiran,

Jika para pembaca pernah mendengar dan membaca Fikih Air, Fikih Tata Kelola, atau produk fikih Muhammadiyah yang lain, maka susunan atau abstraksi garis besarnya adalah seperti di atas. Sebagai contoh aplikasi sederhana dari perjenjangan atau pertingkatan norma dalam konsep fikih Muhammadiyah bisa dilihat misalnya dalam produk Fikih Air. Salah satu nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) dalam Fikih Air adalah tauhid. Dalam Fikih Air ditegaskan,

“Tauhid adalah fondasi keimanan dan amal kebaikan dalam Islam. Kepercayaan tauhid melahirkan kesadaran bahwa seluruh alam semesta termasuk air, diciptakan, diatur dan dipelihara oleh Allah yang Maha Esa. Tauhid mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam termasuk air. Prinsip tauhid menyediakan visi kesatuan bagi umat Islam. Dengan visi tersebut, umat Islam dapat menyadari bahwa manusia dan air adalah bagian dari alam semesta dan diatur keberadaannya oleh wahyu. Sehingga melindungi air menjadi bagian dari kewajiban agama [Q.S. al-An‘am (6): 162 dan al-Dzariyat (51): 56], bukan semata-mata tugas keduniawian. Prinsip tauhid menciptakan motivasi agama dan moral yang kokoh untuk melindungi dan mengatur air”.

Dari penjelasan di atas tampak bahwa tauhid bukan semata diyakini sebagai fondasi keimanan, akan tetapi ia harus menjadi motor dalam diri untuk membangun kesadaran bahwa semua yang ada dalam alam semesta ini adalah satu kesatuan, tidak terlepas dan tercerai berai satu sama lain. Visi kesatuan inilah yang harus ditanamkan dalam setiap individu dalam melihat air, sehingga segala perilaku kita terhadap air seharusnya tidak dilihat sebagai hubungan keduniawian an sich akan tetapi juga berdampak dan memiliki konsekuensi pada kehidupan kita setelah di dunia.

Baca juga:  Fikih-oriented Bukan Sesuatu yang Buruk

Dari visi kesatuan yang terkandung dalam nilai dasar tauhid ini, maka konsekuensinya ketika dikaitkan dengan isu air adalah bahwa semua (tidak satu, dua, atau sebagian saja) harus sama-sama memiliki perhatian terhadap air. Di sinilah nilai dasar tauhid dalam Fikih Air diturunkan menjadi asas atau prinsip umum yang lebih konkret (meskipun masih bersifat abstrak, tapi dalam teorinya ia lebih konkret dibandingkan nilai dasar) berupa keterlibatan publik (musyarakah al-mujtama’). Dalam prinsip umum keterlibatan publik (musyarakah al-mujtama’) ini artinya semua elemen harus menyatu bersama-sama memiliki perhatian dalam isu air. Ditegaskan dalam Fikih Air,

“Semua elemen masyarakat: pengguna, perencana atau pelaksana kebijakan terhadap air, harus memiliki perhatian dalam pengelolaan air. Laki-laki maupun perempuan, lembaga pemerintah di lintas sektor maupun masyarakat sipil, harus terlibat dan memiliki concern tentang pengelolaan air, dalam rangka menjamin keberlanjutan dan masa depan air itu sendiri. Pendekatan partisipatif dalam pengelolaan air penting dalam rangka memiliki kesamaan pandangan (persepsi) tentang dua hal: apa permasalahan terkait dengan air yang dihadapi bersama dan bagaimana cara melakukan pengelolaannya. Dalam al-Quran dijelaskan bahwa setiap anggota masyarakat harus terlibat aktif dalam segala aktivitas-aktivitas kebaikan [Q.S. al-Maidah (5): 2]. Tugas dan tanggungjawab bukan hanya ada pada pemerintah, tetapi ada pada seluruh lapisan masyarakat”.

Untuk lebih mengkonkretkan atau merincikan lagi apa yang harus dilakukan (what we should do), maka prinsip umum keterlibatan publik (musyarakah al-mujtama’) ini diturunkan lagi ke dalam bentuk aturan, bimbingan dan pedoman (guidance), yang sifatnya lebih praktis. Dalam Fikih Air, turunan dari prinsip umum keterlibatan publik (musyarakah al-mujtama’) ini dirincikan secara detil dalam bab IV, yang berjudul “Perilaku Pemiliharaan Air” dengan dua sub-judul “Pendidikan Perilaku Ramah Air” dan “Perilaku Ramah Air”. Semuanya mencakup tugas dan tanggung jawab dalam setiap level (visi ketauhidan), mulai dari negara, dunia usaha, masyarakat, dan individu dan keluarga.

Baca juga:  Awal Syakban 1441 H di Tengah Pandemi Corona

Diagram di bawah ini mencoba memberikan gambaran,

Tafsiran Kreatif atas Istilah Fikih

Dalam sejarahnya istilah fikih mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Pada masa para sahabat dan para tabi’in, istilah fikih dipahami hanya sebagai “pemahaman yang mendalam” sejalan dengan makna literal dari istilah tersebut. Di era imam mazhab dan mazhab fikih mulai bermunculan, istilah fikih menjadi lebih teknis, yaitu tidak lagi dipahami hanya sebagai pemahaman yang mendalam atau penilaian subyektif, melainkan suatu bentuk penalaran sistematis berdasarkan serangkaian prinsip-prinsip umum. Dalam pengertian inilah kita memahami penggunaan istilah fikih oleh Imam Abu Hanifah, dalam judul salah satu karyanya yaitu al-Fiqh al-Akbar, di mana ia membahas berbagai topik teologi Islam.

Pada periode berikutnya, Imam al-Syafi’i menggunakan istilah fikih dalam arti yang lebih sempit, terbatas pada pengetahuan tentang aspek-aspek hukum Islam. Pada masa-masa inilah fikih sering didefinisikan sebagai “suatu ilmu tentang hukum Islam (furūʻiyyah) yang diperoleh melalui penalaran atau istidlāl dari sumber terperinci (tafṣīlī).” Dalam perkembangan terakhir, fikih tidak hanya merujuk pada putusan-putusan hukum ini, tetapi juga pada kumpulan dari ilmu hukum dan teks-teks hukum yang dihasilkan oleh para ahli hukum Islam.

Dengan melihat perjalanan makna fikih di atas, kita dapat memahami bahwa konsep fikih Muhammadiyah sesungguhnya adalah tafsiran kreatif atas istilah fikih. Fikih menurut Muhammadiyah harus dikembalikan ke makna awal di mana ia pertama kali muncul, yaitu pada masa sahabat dan tabiin. Pada masa ini fikih ditafsirkan sebagai “deep understanding” atau pemahaman yang mendalam, sebagaimana makna literalnya. Tidak berhenti sampai di situ, Muhammadiyah lalu memberikan tafsiran baru yang kreatif terhadap istilah asli fikih, yaitu dengan menginterpretasikannya sebagai norma-norma berjenjang. Penafsiran baru yang dilakukan Muhammadiyah ini berpeluang menghilangkan kekeringan yang selama ini disematkan pada makna fikih dan diskursus di dalamnya karena dianggap terlalu hitam-putih. Penafsiran baru ini juga memberikan warna baru dalam diskursus hukum Islam, yang selama ini bersifat legal-formal, menjadi lebih filosofis-etis. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Bahan bacaan untuk melengkapi:

Syamsul Anwar. 1439/2018. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Syamsul Anwar. 2017. “Teori Pertingkatan Norma dalam Usul Fikih”. Asy-Syir’ah, Vol. 50, No. 1.

Niki Alma Febriana Fauzi dan Ayub. 2019. “Fikih Informasi : Muhammadiyah’s Perspective on Guidance in Using Social Media”. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 9, No. 2.

Niki Alma Febriana Fauzi. 2019. “Muhammadiyah’s New Fiqh Reasoning : Constructing a Holistic Islamic Law Paradigm (Nalar Fikih Baru Muhammadiyah: Membangun Paradigma Hukum Islam yang Holistik)”. Afkaruna: Indonesian Interdisciplinary Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 1.

Niki Alma Febriana Fauzi

Kepala Pusat Tarjih Muhammadiyah

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar