Santri Cendekia
Home » Mengenal Pendekatan Kontekstualisme ala Abdullah Saeed (2)

Mengenal Pendekatan Kontekstualisme ala Abdullah Saeed (2)


Analisis dan Kesimpulan
Secara jujur penulis merasa kurang memadai memberikan analisis pada tulisan Abdullah Saeed. Alasan terpentingnya karena apa yang dideskripsikan secara ringkas di atas hanyalah bagian awal dari karangannya. Sehingga bgian ini hanyalah kerangka dari kerja besarnya mengusung dan menjelaskan pendekatan kontekstual sebagai alternatif interpretasi makna al-Qur’an. Namun demikian, setidaknya ada beberapa pendapat dan telaah Abdullah Saeed yang bagi penulis bisa dikomentari.
a.      Akar Pemikiran
Terkait akar gagasan pendekatan kontekstual, Abdullah Saeed sendiri mengakui bahwa apa yang ia tuliskan di sini bukanlah ide yang baru. Gagasan ini merupakan gagasan lama yang telah dicetuskan oleh beberapa tokoh sebelumnya dalam ruang pembacaan teks-teks keagamaan, termasuk dalam membaca al-Qur’an itu sendiri. Lebih spesifik lagi, akar pemikiran yang berhubungan dengan pendekatan kontekstual ini bisa dilacak secara jelas pada tokoh-tokoh moderen yang mengusung hermeneutika sebagai metode kontemporer.
Di antara tokoh tersebut ialah: Jurgen Habermas yang mengusung hermeneutika kritis. Ia menyatakan bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial termasuk bias strata kelas, suku dan gender. Pendapat Habermas ini, jika kita tarik benang merahnya pada apa yang dijelaskan oleh Abdullah Saeed maka akan ditemukan pada maksud “konteks” yang dijelaskannya. Luasnya cakupan konteks tersebut sangat mungkin terilhami dari prinsip dasar yang juga menjadi landasan Hermeneutika kriits Habermas.
Besarnya peran sejarah dalam pendekatan Abdullah Saeed, jika hendak dilacak dapat ditemukan akar kesamaannya dengan hermeneutika yang diusung oleh Wiliam Dilthey. Wiliam menyatakan bahwa sejarahlah yang menentukan makna dari sebuah kata. Meskipun tidak secara eksplisit Abdullah Saeed menyebutkan peran sejarah seperti yang dikatakan oleh Wiliam Dilthey, tapi dapat dilihat kesamaan pentingnya peran historis tersebut pada konsep kontektor konteks Abdullah Saeed yang menggunakan analisis hermeneutika historis.
Lebih spesifik lagi, metode menghubungkan “awal abad ketujuh” menuju periode “abad 21” dengan makro konteks pertama dan kedua, tidaklah terlalu berlebihan jika memiliki akar yang kuat dengan rumusan double movement milik Fazlurrahman. Tidak jauh berbeda dari apa yang dirumuskan oleh Abdullah Saeed, Fazlurrahman juga  merumuskan “dua perpindahan” dengan perpindahan pertama melihat teks dan konteks sebuah ayat agar bisa dipisahkan yang mana legal spesifiknya dan idea moralnya. Kemudian idea moralnya sebagai semangat dari legal spesifik tersebut dipelihara dan diaplikasikan melalui perpindahan kedua menuju abad kontemporer dengan proses-proses dalam rangka menciptakan relevansi idea moral dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat moderen.[1]
 
b.      Perlunya penjelasan perkembangan tafsir yang memadai
Penulis sepakat dengan apa yang dinyatakan oleh Abdullah Saeed bahwa penafsiran dengan memperhatikan konteks telah dilakukan bahkan semenjak zaman Nabi dan para Sahabat. Hal ini pun pada kenyataannya di dalam ilmu tafsir atau ulum al-Qur’an juga dijelaskan. Bahkan tidak hanya itu, penafsiran dengan berbagai pendekatan, dalam sejarahnya telah ada bahkan telah matang sebelum ilmu tafsir itu sendiri ditetapkan menjadi sebuah disiplin keilmuan. Contohnya, pendekatan aspek bahasa yang ditemukan dalam tafsir Ma’ani al-Qur’an karya al-Zajjaj (m. 311 H), aspek teologi ditemukan dalam tafsir al-Kasysyaf an Haqa’iq Ghawamid al-tanzil karya al-Zamakhsyari (m. 406/1016), aspek hukum didapatkan Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (m. 370/981) dan pendekatan-pendekatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semenjak perkembangan awal penafsiran, berbagai pendekatan keilmuan telah dipergunakan oleh para mufassir untuk menginterpretasi makna al-Qur’an.
Namun, yang menjadi titik penting adalah, meskipun memakai berbagai pendekatan, ilmu tafsir meniscayakan adanya kesamaan prinsip dan tata kaidah dasar yang semenjak dulu hingga sekarang harus dipenuhi tidak hanya dalam menafsirkan tetapi juga menakwil ayat al-Qur’an.[2] Di antaranya adalah setiap penafsiran tidak boleh melepaskan makna lafal, penjelasan dari al-Qur’an dan hadis shahih serta mempertimbangkan penafsiran yang diberikan oleh sahabat. 
Hal ini jelas terlihat dari perkembangan tafsir. Setelah generasi sahabat, para tabiin menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis Nabi dan pendapat Sahabat. setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in, tafsir belum merupakan sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Tafsir masih merupakan bagian dari hadis. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa tafsir selalu terkait dengan apa yang telah dimaknai oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Selain itu, di dalam ilmu tafsir, terdapat pula syarat lain yang juga harus dipenuhi ketika seseorang mau menafsirkan al-Qur’an. As-Suyuti  dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menyebutkan setidaknya ada beberapa bidang yang harus dikuasai oleh mufassir, yaitu  nahw, sarf, ma’ani, bayan, badi, qiraah, usuludddin, usul, fiqh, asbab,  nuzul dan qiyas, nasikh dan mansukh fiqh serta hadis.
Semua hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang generasi mendatang untuk memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap tafsir otoritatif yang telah ada, khususnya dalam aspek ilmu alam. Tapi mereka tidak dapat begitu saja mengesampingkan penjelasan-penjelasan spritual, etik dan hukum serta hubungan latar belakang historisnya. Persyaratan yang ketat dalam al-Qur’an bukanlah suatu upaya untuk menjauhkan al-Qur’an dari orang-orang Islam awam, tapi lebih merupakan suatu sikap yang adil terhadapnya. Franz Rosenthal dalam Knowledge Triumphat: The Concept of Knowledge in Medieval Islam dalam hal ini menyatakan bahwa adanya prasyarat tersebut merupakan suatu mekanisme efektif untuk meminimalkan masuknya kesalahan dan kebingungan. Dari pada membiarkan terjadinya liberalisasi penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan pada kejahilan, terkaan dan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, Islam menggalakkan belajar dan pencarian ilmu pengetahuan sebagai asas bagi pemahaman dan perkembangan agama, dengan meletakkan persyaratan yang berakar pada ilmu pengetahuan dan integritas moral.
c.       Interpretasi Umar bin Khattab; Persoalan Tafsir ataukah Ijtihad Fiqhiyyah?
Salah satu landasan penting yang diungkapkan oleh Abdullah Saeed terkait akar pendekatan kontekstualisme di dalam buku ini adalah interpretasi Umar bin Khattab. Pada kenyataannya, sosok Umar merupakan sosok yang memang sering mengeluarkan fatwa-fatwa yang bersikap progressif. Di antara fatwa-fatwa tersebut adalah  penghapusan pemberian zakat para muallaf dalam al-Qur’an, penghentian hukum had potong tangan pada tahun kelaparan atau paceklik, penolakan Umar bin Khattab atas permintaan sahabat untuk membagi tanah-tanah ganimah  dan fatwa lainnya.
Di samping segi interpretasi, menurut penulis, fatwa-fatwa yang dibangun Umar pada hakikatnya lebih banyak harus dilihat dengan kaca mata fiqh. Sebab, jikalau ditela’ah secara, mendalam, maka interpretasi Umar bin Khattab tidaklah mengubah dimensi pemaknaan dari ayat, tetapi lebih melihat apakah suatu objek telah memenuhi syarat sehingga masuk di dalam kategori yang dimaksudkan ayat tersebut ataukah tidak.
Semisal pada kasus Umar tidak membagi bagian Zakat kepada Muallaf ketika beliau menjadi Khalifah. Sebagaimana pendapat Yusuf al-Qardhawi, -yang menukil pula pendapat al-Madani- bahwa hakikatnya Umar tidak menafikan makna ayat secara sharih, melainkan Umar melihat bahwa mereka, muallaf di waktu itu tidak lagi termasuk muallaf yang disebutkan di dalam teks ayat sehingga tidak lagi berhak mendapatkan harta dari bait al-mal. Dengan kata lain, Umar tidak memasukkan mereka lagi di dalam golongan orang-orang yang disebut oleh Nash.[3]
Dalam ayatnya, Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,  untuk (memerdekakan) budak, orang-ora ng yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana”.
Dari kaca mata ushul fiqh, lafal  الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ bisa dikategorikan sebagai lafal muqayyadah yaitu lafal yang terikat dengan makna tertentu disebabkan keterikatan bahasa, dalam arti makna ayat itu tidak merujuk pada semua muallaf, tetapi muallaf yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa penetapan hukum, atau istilahnya manath al-hukm, pada kategori ini tidak bisa dengan illah makhshushah, atau kausa hukum yang diambil dari makna sharih-nya saja. Untuk itu, perlu ada ijtihad dalam penetapan illah mustanbathah melalui proses takhrij al-Manath (mengeluarkan kausa hukum dari teks), tanqih al-Manath (menetapkan kausa hukum yang berlaku) dan tahqiq al-Manath (menerapkan kausa hukum yang telah dipilih berdasarkan ijtihad yang mendalam)
Berdasarkan pendekatan ushul tersebut, dapat diketahui bahwa bagi Umar tidaklah semua muallaf berhak mendapatkan bagian dari zakat, dan tidaklah semua muallaf bisa termasuk di dalam kategori muallaf yang ditunjukkan dalam ayat tersebut secara permanen. Adapun muallaf yang bisa masuk dalam kategori tersebut –dengan pertimbangan ijtihad- di antaranya adalah para muallaf yang masih perlu dibujuk hatinya –dengan pemberian zakat- demi kemashlahatan dakwah Islam, dan atau muallaf yang masih perlu diberikan zakat untuk kemashlatannya disebabkan kondisi dirinya yang sangat memerlukan harta untuk memenuhi kebutushan-kebutuhan hidup. 
Kesimpulan yang dapat diambil –menurut penulis- adalah terlepas dari apakah ini menjadi legitimasi pendekatan kontekstual atas tekstual, bahwa penjelasan dari sudut pandang fiqh di atas semakin menguatkan pernyataan tidak adanya dikotomi antara pendekatan tekstual dan kontekstual. Sebab, kaidah-kaidah bahasa yang digunakan dalam melihat ayat di atas, -seperti al-lafzh al-muqoyyad, manath al-hukm, takhrij al-manath, tanqih al-manath dan tahqiq al-manath– itu termasuk dari metode qiyasi yang masuk dalam pendekatan tekstualis (kajian bahasa) di dalam melihat ayat. Hal yang kemudian menjembatani makna dari sudut pandang tekstual tersebut adalah penerapannya yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ushuliyyahsehingga bisa berdimensi kontekstual. Adapun cara penetapan dan penerapan hukum seperti ini merupakan cara yang sudah jauh sebelumnya telah difahami dan dilakukan oleh para ulama. sehingga memang pada dasarnya persoalan tafsir, di dalam khazanah Islam tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang hadis, fiqh dan ilmu-ilmu lainnya yang tergolong ilmu alat dalam melihat syariat secara komperhensif. 

Baca juga:  Empat Macam Pandangan Epistemologis Bathil Menurut Ibnul 'Arabi

[1] Pernyataan ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa Abdullah Saeed pernah membuat tulisan yang membahas fazlurrahman, berjudul, “Fazlurrahman Islamic moderenisme: its scope, method and alternatives”. Dalam tulisan ini, Abdullah Saeed menjelaskan bahwa Hermeneutika Rahman disebut sebagai the Systematic interpretation method. Interpretasi ini meliputi dua gerakan ganda (dobule movement), yang substansinya berisi model penafsiran bring the present situation to quranic time, then back  to the present. Metodologi yang ditawarkan Rahman tersebut terdiri atas dua gerakan pemikiran yurist: pertama, dari khusus partikular kepada ynag umum general dan keduadari yang umum kepada yang khusus. Abdullah Saeed, Fazlurrahman “Islamic Moderenisme: its Scope, Method and Alternatives dalam International Journal Og Middle Eastren Studies, vol. 1 tahun 1970, h. 329. Juga, Abdullah Saeed, Fazlur rahman: A Framework for Interpreting the Ethico-legal Content of the Qur’an”. dalam Soha Taji-Farouki (ed). Moderen Muslim Intellectuals and The Qur’an (London: Oxford Universty Press, 2004)
[2] Al-Jurjani misalnya, dalam kitab al-ta’rifat, menyatakan hubungan makna tafsir dan takwil. Tawil seara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara’ ia bermakna memalingkan lafal dari maknanya yang zhahir  kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, asal makna yang mungkin itu sesuai dengan semangat kitab dan sunnah. Contohnya, firman Allah “Dia yang mengeluarkan yang hidup dan yang mati” (al-Anbiya: 95). Apabila yang dimaksudkan di situ adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tapi apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan orang beriman dari yang bodoh, maka itulah takwil . al-Jurjani, at-Ta’rifated. Ibrahim al-Abyari (dar al-Diyan at-Turats n.th.), 72
[3] Yusuf al-Qaradhawi, al-din wa al-Siyasa,h terj. dikotomi agama dan politik, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2008) 112
Avatar photo

Redaksi Santricendekia

Kirim tulisan ke santricendekia.com melalui email: [email protected]

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar