Santri Cendekia
Home » Menghadiri Seminar Pra-nikah

Menghadiri Seminar Pra-nikah

Saya pernah mendapati momen menarik saat menghadiri seminar motivasi hijrah. Pada waktu itu ada dua narasumber; pembicara pertama dari salah seorang artis hijrah yang cukup vokal dalam meneriakan aspirasi politiknya dan sering membuat baper followers-nya di instagram. Sedangkan pembicara kedua namanya tidak banyak dikenal publik namun karyanya begitu harum di Google Scholar.

Dari sini kita bisa paham daya magnet peserta bukan datang dari pembicara kedua yang namanya harum di berbagai jurnal, melainkan dari artis hijrah yang vokal itu. Modal ‘artis’ ditambah ‘hijrah’ terlebih cukup vokal dalam urusan politik elektoral, memang menjadi penjelas utama mengapa masyarakat luas mau berbondong-bondong menghadiri seminar itu.

Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Justru bagus untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari perjalanan hidup mereka yang kini begitu dekat dengan nilai-nilai Islam. Kita butuh teladan baik yang cakupan suaranya begitu luas. Islam membutuhkan para ambassador yang mampu mendakwahkan nilai-nilai syariah terdengar masuk dengan jangkauan yang lebih luas. Meski demikian, hal tersebut memiliki dampaknya, seperti yang akan kita bahas di sini.

Saat seminar motivasi hijrah itu mendekati waktu yang telah ditentukan panitia, namun sang artis hijrah yang vokal itu belum juga nampak tanda-tanda kehadirannya, peserta yang hadir mulai cemas dan resah, sementara panitia mulai panik. Akhirnya segala kebingungan peserta seminar itu sirna setelah ketua panitia mengumumkan bahwasannya sang artis tidak jadi hadir lantaran ada urusan penting di Ibu Kota. Sementara itu, pembicara kedua telah duduk siap sambil merapikan lembaran-lembaran makalahnya.

Mendengar pengumuman tersebut peserta yang jumlahnya cukup banyak itu mulai mundur teratur sampai benar-benar menyusut. Fenomena langka ini seperti melihat genangan air yang tiba-tiba kering, dan yang tersisa hanyalah gumpalan-gumpalan basah. Saya melihat panitia sibuk menghibur peserta dengan harapan mereka tetap berdiam diri di tempat. Saya juga memperhatikan gerak tubuh pembicara kedua yang mulai tampak tersinggung dan pucat menyaksikan peserta yang hadir merosot tajam. Akhirnya, snack sudah habis, peserta juga sama.

Baca juga:  Tabsyir ; Dakwah Kreatif

Dalam upaya mengatasi persoalan ‘people power’ ini, panitia memutuskan untuk mengganti pembicara pertama sang artis itu dengan yang lain, seorang tokoh masyarakat, namun peserta tetap enggan berdiam diri di tempat. Meski demikian acara tersebut tetap berjalan sesuai rencana, walau kedua pembicara menyampaikan materinya dengan nada yang sama sekali tidak bersemangat.

Menyaksikan fenomena langka ini begitu mengasyikan sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak, suasana yang awalnya gemerlapan dengan warna-warni hijab cerah dan deretan topi bertuliskan kalimat tauhid membanjiri setiap sudut tempat itu, secara tiba-tiba menyusut hanya menyisakan warna seragam panitia dan beberapa gelintir orang saja. Kejadian seperti ini sekali lagi sungguh lucu sekaligus miris.

Setelah saya pulang dan menceritakan hal tersebut kepada seorang teman, dengan enteng dia jawab bahwa fenomena sekarang memang orang hanya ingin mendengarkan apa yang ia ingin dengar. Mereka tidak mau tahu. Dalam kepalanya sudah tersusun harapan-harapan dan bayangan-bayangan yang ingin mereka dengarkan bila yang berbicara adalah sosok tertentu. Karena itulah, setelah panitia mengumumkan ketidakhadiran artis hijrah itu, mereka seperti kehilangan hasrat yang telah diidam-idamkannya sejak langkah kaki pertama dari rumah.

Orang-orang seperti ini, kata teman saya, tidak berniat mencari sesuatu yang baru, atau ‘bodo amat’ dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, sebab tujuannya hanya ingin mewujudkan apa yang ingin didengar. Mereka ingin merealisasikan kepuasan telinganya, bukan membasuhi dahaga intelektualnya. Mereka ingin mendengarkan apa yang sudah menjadi kesimpulannya, bukan berniat mengoreksi hipotesanya.

Fenomena seperti ini bisa terjadi dimana saja dan oleh golongan apa saja. Mereka yang memiliki keinginan kuat mendengarkan apa yang ia ingin dengar dalam kepalanya, sangat potensial menjadi budak yang selalu kecewa pada setiap ucapan yang keluar tidak sesuai dengan ekspektasinya. Karena itulah, Kawanku, minumlah tolak angin, agar kelak kau jadi orang pintar.

Baca juga:  Antara Martin Luther King Jr, Malcolm X dan Jualan HAM ala Unilever

Judul di atas hanya pemanis.

Ilham Ibrahim

Warga Muhammadiyah yang kebetulan tinggal di Indonesia

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar