Santri Cendekia
Home » Mengislamkan Homo Economicus

Mengislamkan Homo Economicus

Homo Economicus atau yang dapat diartikan dengan Manusia Ekonomi (Economic Man) merupakan suatu konsep atau teori dalam ekonomi yang menggambarkan manusia sebagai suatu agen secara konsisten bersikap rasional (rasional disini maksudnya bahwa perbuatan memprioritaskan self-well-being merupakan tindakkan yang rasional), mementingkan diri sendiri (self-interested), individualistis, dan mengejar tujuan subjektif tertentu secara optimal.

Secara konseptual, Homo Economicus adalah suatu konsep falsafah tentang kesejatian manusia (human nature) bahwa manusia memiliki watak pencari kepuasan dan keuntungan pribadi, bersifat individualistis, konsumeris, materialis, profit-oriented, sensitif terhadap uang (monetarily sensitised), pengejar kekayaan (money-chasing animal), bertujuan memaksimalkan utilitas (utility), serta cenderung berwatak egoisme rasional.

Konsep ini mengambil model dari Homo Sapiens dalam pengertian sebagai binatang yang hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dirinya.

Meskipun secara istilah Homo Economicus digunakan pertama kali oleh para pengkritik John Stuart Mill, namun secara konseptual, paham ini sudah dipromosikan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terkenal An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations dan terus dipertahan dalam sistem Neo-liberal.

Dalam bukunya ini Adam Smith menyatakan bagaimana seseorang yang mengejar keuntungan pribadinya memberikan dampak secara tidak langsung terhadap kesejahteraan pihak lain:

“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest.”

Senada dengan hal itu John Stuart Mill dalam bukunya On the Definition of Political Economy and On the Method of Investigation Proper to It yang memang menjadikan Homo Economicus sebagai model dalam Ekonomi Politik:

“[Political economy] does not treat the whole of man’s nature as modified by the social state, nor of the whole conduct of man in society. It is concerned with him solely as a being who desires to possess wealth, and who is capable of judging the comparative efficacy of means for obtaining that end.”

Homo Economicus biasanya dilawankan dengan konsep Homo Resiprocans yang memandang manusia sebagai aktor yang kooperatif yang termotivasi untuk meningkatkan kesejahteraan lingkungan masyarakatnya, meskipun hal tersebut tidak terlihat memberikan manfaat kepada diri mereka sendiri. Konsep ini dikembangkan menjadi beberapa paham yang dapat dikaitkan dengannya misalnya Komunitarianisme, Altruisme, dan Sosialisme.

Pada perkembangan selanjutnya, konsep ini melahirkan aksioma-aksioma yang dijadikan landasan dalam membentuk suatu model ekonomi, sebab suatu model harus konsisten dan independen dalam pengertian menetap (tidak berubah) dalam rangka agar dapat digunakan untuk mengukur fenomena-fenomena ekonomi yang terkait dengannya.

Diantaranya, pertama bahwa manusia itu rasional, yakni memprioritaskan kebaikkan diri sendiri itu sesuai dengan rasio, kedua, manusia merespon insentif, yakni bentuk keuntungan tambahan biasanya dalam rangka sebagai motivasi untuk meningkatkan kualitas kerja, dan ketiga, keputusan yang optimal berdasarkan pertimbangan marjinal cost and benefit.

Bahkan definisi dasar yang sering ditemukan pada setiap textbook ilmu Ekonomi (termasuk juga textbook Ekonomi Islam) mengenai asumsi psikologis (bersamaan dengan asumsi kosmologis) bahwa manusia memiliki keinginan yang tak terbatas, sedangkan sumber daya atau alat pemuas kebutuhan itu terbatas. Gregory Mankiw misalnya menjelaskan dalam bukunya The Principles of Economics:

“Just as a household cannot give every member everything he or she wants, a society cannot give every individual the highest standard of living to which he or she might aspire. Economics is the study of how society manages its scarce resources…”

Watak Homo Economicus jika coba untuk diidentifikasi, maka ia mencirikan paham Individualisme, Utilitarianisme, dan Liberalisme, yang ketiganya berada di bawah payung pandangan falsafah utama abad Pencerahan yakni Humanisme.

Baca juga:  Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Ibnu Sina dan al-Ghazali

Paham Humanisme ini diartikan sebagai suatu paham yang berkomitmen pada pandangan, kepentingan, dan sentralitas manusia, serta berimplikasi pada penolakan terhadap agama dalam rangka kemajuan kemanusiaan dengan usahanya sendiri tanpa terbelenggu oleh pandangan metafisika keagamaan dan ketuhanan.

Paham Individualisme itu sendiri mencirikan watak manusia yang senantiasa merealisasikan tujuannya dan keinginannya serta menekankan pada nilai kemandirian dan kepentingan individual di atas kepentingan komunal.

Selanjutnya, paham Utilitarianisme yang menekankan secara maksimal atas kesenangan dan kebahagiaan personal yang disebut dengan pemenuhan utilitas dan penihilan dis-utilitas.

Adapun Liberalisme suatu paham yang menekankan pada kebebasan individual baik secara positif (bebas dalam melakukan sesuatu) maupun negatif (bebas dari belenggu yang mengikat kekebasannya), dimana dalam Ekonomi, Liberalisme terpusat pada keputusan individual atau rumah tangga (household) daripada institusi kolektif atau organisasi.

Dari sini sudah jelas terlihat bagaimana suatu nilai wujud dalam suatu disiplin keilmuan (value laden) yang dibangun oleh landasan falsafa atau metafisika tertentu.

Bahkan pada kenyataannya, suatu ilmu itu berkaitan erat dengan paham filsafat yang menjadi landasan konseptual suatu ilmu itu dibangun, atau dalam istilah para pakar filsafat ilmu sebagai pandangan alam yang melatarbelakanginya dalam melihat realitas ranah ilmu tersebut.

Maka, merupakan hal yang disayangkan ketika konsep ini diterima begitu saja (taken for granted), padahal konsep ini pula tidak bebas dari kritik internal kalangan ilmuan dan pemikir Barat sendiri.

Konsep Homo Economicus ini mendapatkan kritik misalnya dari kalangan pakar Antropologi Ekonomi, dengan mengandalkan studi perbandingan antar budaya (cross-cultural), dimana watak transaksional yang dilakukan komunitas tradisional yang resiprokal ternyata sangat bertentangan dengan apa yang dipostulasikan oleh konsep Homo Economicus yang self-interested ini.

Sebagai contoh tradisi sosio-kultural di Afrika Selatan, yakni Ubuntu yang memiliki karakteristik resiprokal, sebagaimana yang dijelaskan oleh Hakim Agung Mohamed Jaybhay:

“In South Africa the culture of ubuntu is the capacity to express compassion, justice, reciprocity, dignity, harmony and humanity in the interests of building, maintaining and strengthening the community…”

Begitu juga dalam tradisi Nusantara yang dikenal dengan istilah Gotong Royong yang bermakna saling tolong-menolong dan bantu-membantu dalam urusan masyarakat bersama sebagai satu kesatuan komunitas. Namun, mirisnya dalam konsep Manusia Ekonomi, kita malah menggunakan asumsi Homo Economicus dalam diskursus keilmuan Ekonomi.

Sedangkan dalam ranah Perilaku Ekonomi (Bahavioral Economics), Daniel Kahneman misalnya mengkritik bahwa agen ekonomi yang diasumsikan senantiasa mengambil keputusan rasional dengan mempertimbangkan segala kemungkinan kesempatan dan risiko masa depan, ternyata seringkali mengambil keputusan berdasarkan gambaran yang sempit (narrow-framing).

Demikian pula Peter Fleming penulis buku The Death of Homo Economicus menyatakan bahwa konsekuensi paham ini justru membuat manusia itu sendiri menjadi tidak bahagia, sakit, dan mati tercerai dari kesadaran dirinya.

Dalam pekerjaan misalnya ada dua hal yang membuat konsep ini membawa kehancuran, pertama terlilit hutang pribadi sebab senantiasa mengikuti keinginan untuk membeli, dan kedua etos kerja yang salah, yang diistilahkan dengan “etos kerja bunuh diri” (suicidal work ethics) dalam rangka memburu uang dan materi.

Berdasarkan uraian di atas, tentu lebih patut lagi Islam secara kritis mempertanyakan asumsi-asumsi psikologis yang menjadi dasar Konsep Homo Economicus tersebut. Sebab berjalannya suatu sistem Ekonomi, tidak terlepas dari agen (manusia) yang menjalankan sistem tersebut. saya pribadi beranggapan suatu sistem akan berjalan ideal ketika setiap unsur-unsur fungsional yang terkait dengannya juga berada pada kondisi yang ideal.

Baca juga:  Antara Tajdid dan Dekonstruksi Syariah; Telaah Pemikiran Syahrur

Saya melihatnya menggunakan cara berpikir unifikasi-integratif bahwa realitas itu saling terjalin (inter-related) antara satu dan yang lainnya sebagaimana yang digambarkan al-Qur’an. Dr. Ibrahim Kalin dalam bukunya Reason and Rationality in The Qur’an menyatakan bahwa model berpikir yang dapat kita temukan dalam al-Qur’an tidak terdiri dari fakta-fakta yang tersusun, tidak pula perintah dan larangan yang disebutkan satu per satu.

Cara berpikir yang terintegrasi yang dimiliki al-Qur’an dengan metodenya yang unik merefleksikan hakekat daripada realitas yang saling bergantung, dan berlapis-lapis. Al-Qur’an mendorong kita untuk melihat keterhubungan segala sesuatu, dan bagaimana satu hal mengarah pada yang lain dengan rantai realitas yang beruntun.

Sama halnya dengan Ekonomi Islam, sistem yang ideal memerlukan agen yang ideal untuk menjalankannya, maka melihat kenyataan problematika diskursus Ekonomi Islam dan perkembangan perekonomian umat Islam yang terhambat dewasa ini, saya pikir dikarenakan adanya unsur fungsional yang cukup vital yang absen daripadanya, dalam hal ini adalah Manusia Ekonomi Islamnya (bersamaan dengan unsur-unsur lainnya berdasarkan konsep empat sebab realitas Aristotle).

Ketika sistemnya katakanlah telah diislamkan, sedangkan manusianya tidak Islam, maka yang terjadi malah kebingungan (confusion) dalam mengambil keputusan Ekonomi, dimana kenyataan ini diistilah oleh seorang pemikir Ekonomi Islam, Muhammad Abdul Mannan sebagai “crisis of identity”. Yakni tatkala idealisme dalam Islam yang menekankan aspek kerohanian dan kezuhudan, namun konsep Homo Economicus yang dipakai menekankan pada aspek kebendaan dan ketamakan.

Maka melakukan definisi ulang (re-defining) Manusia Ekonomi yang selaras dengan pandangan alam Islam berkenaan dengan konsep manusia (concept of human) menjadi suatu urgensi. Setidaknya ini merupakan suatu usaha yang diberikan berkenaan hal ini, meskipun masih jauh dari sempurna.

Berbicara mengenai Manusia Ekonomi, berarti kita berbicara mengenai kesejatian fitrah manusia, yakni bagaimana sebenarnya berperilaku sebagai manusia dalam pengertian yang sebenarnya. Sifat Manusia Ekonomi (Homo Economicus) yang sangat materialistis, individualistis, serta egoistis menampakkan suatu kenyataan bahwa dorongan (driving force) hal tersebut didasarkan hasrat badaniah (carnal desire) dan nafsu rendahan (lower-self) yang berasal dari nafsu kebinatangan (Al-Nafs al-Hayawaniyyah) yang memiliki watak motif dan perseptif.

Jiwa kebinatangan manusia (animal soul) ini mewujud aktual dalam diri manusia, dimana kecenderungannya sangat terlihat, oleh karena itu para ulama menamakannya dengan al-Fithrah bi al-Fi’il (Fitrah Aktual). Jiwa ini sensitif terhadap dorongan syahwat (syahwah) dan hal pemuas nafsu (mustalidzdzah) yang disebut dengan “al-hawa” yang makna dan kata ini dalam bahasa kita diartikan menjadi hawa nafsu.

Usaha pemuasan hawa nafsu ini menghasilkan gejolak (ghadhab) yang terus-menerus berupa kegundahan (perpetual anxiety) dan kegelisahan (endless yearning) yang tidak pernah terpuaskan. Kondisi psikologis pada jiwa yang tidak terpuaskan seperti ini diistilah oleh Ekonom Australia, Clive Hamilton sebagai suatu penyakit yang disebut dengan “Affluenza: When Too Much is Never Enough” ketika terlalu banyak tidak pernah cukup, yang dalam istilah para Sufi disebut dengan al-Nafs al-Ammarah, yaitu kondisi jiwa (states) yang mengikuti tabiat naluri kebinatangannya.

Sedangkan Islam mengakui realitas bahwa manusia itu terdiri dari wujud fisik dan metafisik, yakni aspek badaniah material dan rohaniah spiritual. Namun aspek rohaniah berada pada taraf atau derajat yang lebih tinggi daripada aspek badaniah, karena ia berasal dari alam Malakut (world of spirit) dan alam Amr (world of command).

Baca juga:  Dakwah Sebagai Proyek Pembebasan (Catatan Kuliah Ustad Bachtiar Nasir)

Bahkan kesejatian manusia itu sendiri berada pada aspek rohaniahnya yang disebut dengan jiwa manusianya (al-Nafs al-Insaniyyah) atau jiwa rasionalnya (al-Nafs al-Nathiqah) yang memiliki watak aktif dan kognitif.

Maknanya, seseorang disebut sebagai manusia dalam pengertian yang sebenarnya dalam pandangan Islam tatkala ia menyempurnakan aspek rohaniah spiritualnya. Jiwa rasional manusia (rational soul) ini mewujud secara potensial dalam diri manusia, namun kecenderungannya tidak terlalu terlihat karena tertutupi oleh kecenderungan aktual, maka para ulama menamakannya dengan al-Fithrah bi al-Quwwah (Fitrah Potensial).

Jiwa ini akan aktif ketika kecenderungan syahwat dan nafsu ditekan dengan Riyadhah dan Mujahadah, yang kemudian menghasilkan ketenangan (sakinah) dikarenakan bebas dari belenggu hawa nafsunya, menjadi jiwa yang bebas dari bisikan-bisikan buruk hawa nafsu (khawathir nafsiyyah) yang disebut dengan al-Nafs al-Muthmainnah.

Manusia secara sadar membatasi hasrat materialnya melalui disiplin diri (self discipline) zuhud dalam rangka merealisasikan kecenderungan spiritualnya yang lebih tinggi. Demikian, kebutuhan dan keinginan material manusia dibatasi oleh keutamaan realisasi diri panggilan spiritualnya yang melampaui kehidupan dunia yang sementara kepada akhirat yang kekal selamanya.

Sedangkan tingkat spiritual dalam Islam itu dinamakan Ihsan sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits Jibril sebagai suatu bentuk penghambaan yang sempurna. Meskipun secara istilah ia memberikan makna Ibadah, namun istilah ini sebenarnya memberikan signifikansi yang lebih luas menjangkau ranah Mu’amalah.

Ihsan itu secara bahasa yang berakar dari kata Husn (baik) yang bermakna memberi kebaikan (giving) kepada manusia secara suka rela, baik dalam bentuk harta, tenaga, maupun ilmu. Hal ini secara khusus diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya: “Inna Allah ya’muru bi al-‘adl wa al-ihsan… ” (al-Nahl: 90).

Bahkan pada ayat lain penghambaan kepada Allah senantiasa dikaitkan dengan perbuatan Ihsan kepada para manusia: “Wa idz akhazda mithaq bani Israil laa ta’budu illa Allah wa bi al-walidayn ihsana wa bi dzi al-qurba wa al-yatama wa al-masakin wa qulu li al-nas husna… ” (al-Baqarah: 83). Hal ini mencirikan bahwa watak manusia yang dekat dengan Allah adalah mereka yang memiliki jiwa resiprokal.

Islam menggarisbawahi prinsip-prinsip etika universal tentang resiprokal seperti saling memberi hadiah (tahadin), saling bertukar (tabadul), saling rela (taradhin), saling tolong-menolong (ta’awun), dan sebagainya dalam berbagai aktivitas Mu’amalahnya. Prinsip resiprokal saling memberi ini dijelaskan dalam al-Qur’an: “Hal jaza’ al-ihsan illa al-ihsan” (al-Rahman: 60).

Berdasarkan hal ini, maka kesejatian fitrah manusia (human nature) adalah pada aspek spiritual yang mencirikan sebagai manusia yang ideal dalam Islam. Dimana hal tersebut memberikan implikasi menjadikannya sebagai Manusia Ekonomi yang memiliki watak resiprokal, yang berlandaskan prinsip Ihsan (mutual giving) sebagai asas interaksi dan transaksi ekonominya.

Memakai definisi (yang dimodifikasi) dari seorang pakar Ekonomi Ihsani (Islamic Gift Economy) sekaligus praktisi Permaculture Dr. Adi Setia: “a man that sharing, mutual giving and receiving, of natural and cultural abundance to promote material and spiritual well-being.” Yakni, manusia yang senantiasa berbagi, memberi, dan menerima kelimpahan alam dan budaya dalam rangka mencapai kesejahteraan material dan spiritual bersama (mashlahah, falah, dan sa’adah).

Wallahu a’lam.

Shadiq Sandimula

Pemerhati Ekonomi Islam

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar