Santri Cendekia
Home » Menguji Keseriusan Ikhtiar Muhammadiyah dalam Membela Palestina

Menguji Keseriusan Ikhtiar Muhammadiyah dalam Membela Palestina

Artikel bagus dari IndoPROGRESS mengenalkan saya pada sosok dan karya-karya Illan Pappé. Beliau adalah sejarawan Israel yang riset-risetnya tentang tentang Nakba 1948 mengungkap secara detail fakta bahwa Israel didirikan melalui sebuah pembersihan etnis.

Pappe bukanlah sekadar akademisi pengejar kum, pandangan politik dan moralnya turut bertransformasi mengikuti aktivitas risetnya. Ia yang keturunan Yahudi Jerman, mantan anggota IDF, menjadi sangat Pro-Palestina. Tentu itu membuatnya terkucil di Israel. Ia pun meninggalkan Universitas Haifa menuju Exeter. Di kampus barunya itu, Pappe mendirikan The European Centre for Palestine Studies.

Lalu, apa hubungan cerita itu dengan Muhammadiyah? Sebelum ke situ, kita ucapkan happy birthday dulu. Selamat milad untuk Muhammadiyah yang ke-111. Semoga semua jariyah mengalir deras untuk Kiyai Dahlan dan para Dahlaniyun. Untuk sebuah organisasi yang baru berusia satu abad, Muhammadiyah menetapkan misi yang tidak mudah. Dari logo milad yang sempat saya baca tadi, organisasi ini hendak “(ber)ikhtiar menyelamatkan semesta”.

Pemilihan kata “ikhtiar” pada azam yang sudah cukup mulia tersebut melipatgandakan kemuliaannya. Kata serapan dari Bahasa Arab ini diderivasi dari kata khair. Maka ikhtiar bukan sembarang usaha mencapai sesuatu. Ikhtiar adalah usaha menggapai tujuan melalui cara-cara yang paling khair. Ar-Raghib al-Asfahani menjelaskan bahwa khair adalah sesuatu yang didambakan siapapun. Salah satu contoh khair adalah akal, contoh lainnya – dan ini kerap dipakai oleh al-Qur’an – adalah harta melimpah.

Jadi, tampaknya Muhammadiyah berazam untuk mengarahkan sumber daya akal (pengetahuan) dan hartanya secara gila-gilaan untuk menyelamatkan semesta. Tentu semesta luas sekali, tapi salah satu tempat di mana terjadi kezaliman luar biasa di semesta nan luas ini adalah Palestina. Saya tidak perlu menyampaikan ulang apa yang terjadi di Gaza. Tapi mungkin perlu mengeksplisitkan pertanyaan yang menggelitik setiap insan berakal belakangan ini; apa yang bisa saya lakukan untuk meringankan beban mereka?

Jika hendak dijawab sebagai seorang individu – kecuali anda Elon Musk – maka pertanyaan tadi bisa saja berujung pada pesimisme dan mungkin rasa tak berdaya. Tapi jika pertanyaan ini ditanyakan kepada Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan maka secercah optimisme mulai membuncah. Alasannya jelas, Muhammadiyah memiliki khair, harta yang banyak serta infrastruktur produksi pengetahuan. Muhammadiyah memiliki kapabilitas untuk berikhtiar menolong Palestina.

Baca juga:  Menilik Keterkaitan Arah Gerak dan Perkaderan Muhammadiyah di Abad Kedua

Soal harta, sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi. Hampir setiap Palestina menghadapi situasi genting, Muhammadiyah selalu turut menggalang dana. Bermiliar rupiah telah disalurkan Lazismu ke sana. Bahkan Rumah Sakit Indonesia yang menjadi tumpuan masyarakat Gaza di masa damai dan perang bisa dibangung salah satunya dari bantuan finansial dari Muhammadiyah.[1] Semoga ke depan, bantuan finansial ini makin meningkat dan bermanfaat.

Namun berbicara soal dimensi lain dari khair, yakni pengetahuan, tampaknya Muhammadiyah belum memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Padahal bisa dikatakan, mungkin Muhammadiyah adalah satu-satunya organisasi di dunia ini yang punya potensi melawan Zionis secara efektif di medan produksi pengetahuan. Ada banyak anti-Zionis, banyak yang ingin mendukung perjuangan Palestina, tapi berapa sih yang memiliki 172 perguruan tinggi? Belum lagi ribuan ilmuwan yang berkiprah di luar PTMA.

Pengetahuan adalah senjata yang efektif dalam peperangan manapun. Sesiapa yang familiar dengan sejarah kolonialisme Eropa dan kaitannya dengan Orientalisme tentu memahami bahwa instrumentalisasi pengetahuan memainkan peran penting dalam kesuksesan mereka. Bahkan, kesuksesan upaya sistematis pembersihan etnis Palestina pada peristiwa Nakba 1948 tidak lepas dari kekuatan pengetahuan Zionis.

Salah satu bagian dari Plan Dalet[2] adalah village files; usaha sistematis pengarsipan multi-dimensi pada desa-desa Arab di wilayah yang hendak mereka rebut paksa. Usaha ini melibatkan ilmuwan-ilmuwan Zionis dari berbagia lintas disiplin yang relevan. Pengetahuan yang dihasilkan dari proyek pengarsipan itu menjadi senjata mematikan yang memungkinkan gerakan Zionis mengusir setengah dari populasi Palestina ketika itu. Upaya perlawanan bangsa Palestina pun memerlukan basis pengetahuan yang kokoh. Bagaimana mungkin kita bisa membantu mereka jika kita tidak tahu persis apa yang terjadi di sana.

Secara lebih spesifik, ada beberapa fungsi penting produksi pengetahuan dalam dukungan kita pada Palestina.[3] Fungsi pertama adalah untuk menyediakan informasi publik yang tepat dan memadai disertai dengan analisis yang kontekstual. Sejak pembantaian Gaza dimulai, rasa ingin tahu masyarakat meningkat, mereka ingin mengetahui sebenarnya apa yang terjadi di Gaza. Rasa penasaran ini meliputi hal-hal mikro-temporal seperti jumlah korban jiwa, hingga ke perkara makro seperti akar sejarah konflik itu dan kemungkinan masa depannya.

Pada perkara-perkara mikro, mungkin pemberitaan media masih memadai. Tapi pada hal-hal yang sifatnya lebih mendasar, tentu dibutuhkan analisis kontekstual terhadap fakta-fakta mikro-temporal itu. Contoh yang paling gamblang adalah bagaimana semestinya kita menempatkan “serangan Hamas” pada 7 Oktober itu? Jika cara pandang kita focus pada peristiwa ini – apalagi menganggapnya sebagai bentuk kekejaman terkini, sehingga Israel hanya membalas – tentu dukungan pada Palestina akan tampak ambigu secara moral. Inilah sudut pandang orang-orang seperti Musk dan yang semanhaj dengannya. Bandingkan misalnya dengan respon Professor Pappe.[4]

Baca juga:  Kolofon Naskah-Naskah Astronomi

Sejauh ini, sosok-sosok yang tampil mengajukan analisis mereka tidak jauh dari ustadz-ustadz populer. Tentu tidak ada yang salah dengan seorang da’i tampil membela Palestina. Tapi mengingat bahwa isu ini multidimensi, rasanya ini bukan situasi yang ideal. Maka jika memang Muhammadiyah percaya bahwa pengetahuan mendalam hanya diperoleh dengan kajian sistematis dan bahwa otoritas keilmuan itu perkara yang penting,[5] mestinya status quo ini tidak bisa dibiarkan. Jika Muhammadiyah selama ini membangun universitas bukan sekedar business as usual, tentunya tergelitik; lha, kan kita punya jurusan-jurusan relevan, HI, ISIPOL, dan tentu FAI, mereka mestinya bicara soal ini secara integrative-interkonektive!

Fungsi kedua adalah pengetahuan itu menjadi basis kita untuk bertindak secara lebih strategis dan efektif. Semestinya orang Islam sudah khatam soal ini, ilmu sebelum amal. Ini bukan hanya gerakan Muhammadiyah sendiri, tapi jika Muhammadiyah memiliki perbendaharaan pengetahuan memadai soal Palestina, maka ia bisa turut mengusulkan arah kebijakan negara soal isu ini.

Fungsi ketiga adalah sebagai wadah untuk menjalin ikatan yang lebih intensif dengan orang-orang Palestina. Kajian terhadap Palestina tentu akan lebih afdhal jika juga melibatkan sarjana atau mahasiswa Palestina.  Mungkin selama ini kita sudah sering melihat “Syaikh dari Palestina” berkeliling masjid memberikan ceramah. Tapi tampaknya saya belum pernah menemui “professor/syaikh dari Palestina” memberikan kuliah umum – apalagi kursus dan riset intensif ke-Palesina-an di kampus-kampus Muhammadiyah.

Bagaimana cara mewujudkan semua ini? Illan Pappe sudah menunjukan caranya; bikin Pusat Studi Palestina. Atau minimal Palestinian Corner di kampus Muhammadiyah. Satu saja cukup kok. Bukankah sudah ada pusat studi semacam itu di kampus-kampus lain di luar negeri? Ini pertanyaan yang tidak Muhammadiyah banget. Dalam nalar Muhammadiyah perbuatan baik orang lain adalah acuan dan pacuan untuk ber-fastabiqulkhairat. Nah, jika mengingat obrolan soal khair dalam konteks isu Palestina di atas, maka fastabiqul khairat berarti berlomba-lomba mengeluarkan dana dan memproduksi pengetahuan untuk mendukung perjuangan Palestina

Baca juga:  Sejarah Singkat Berdirinya Negara Paling Aneh di Dunia: Israel

Epilog.

Jika ilmu adalah cahaya maka tiadanya ilmu adalah kegelapan. Aktivisme yang dilakukan di dalam kegelapan tentu tidak akan efektif dan bisa jadi malah kontraproduktif. Tenang anteng ketika tanpa ilmu dan aktif berusaha ketika berbekal ilmu, menurut beberapa mufasir, adalah salah satu takwil dari QS. an-Naml: 86. Takwil ini sangat relevan untuk Muhammadiyah; secara aklamasi kita memuji Kiyai Dahlan sebagai “Sang Pencerah” dan organisasi ini sebagai organisasi pencerahan. Tentu pecerahan itu terjadi karena usaha keilmuan Muhammadiyah, sebagaimana yang jamak diketahui al-‘ilmu nur. Maka sekali lagi, jika Muhammadiyah membangung 172 universitasnya itu sebagai implementasi manhaj Dahlaniyyah, maka sudah sewajarnya kampus-kampus itu terlibat aktif dalam upaya “menyelamatkan semesta” yang dicitakan di abad kedua ini. Isu Palestina adalah test case untuk komitmen yang diazamkan di milad ke-111 itu; apakah Muhammadiyah ingin benar-benar berikhtiar, ataukah cuma … [].

 

[1] Ini juga menjadi motivasi bagi seluruh Dahlaniyun yang menghidup-hidupi Muhammadiyah meski ia sendiri struggling mencari penghidupan. Ternyata, menghidup-hidupi Muhammadiyah juga berarti menjaga kelangsungungan hidup Palestina sebagai bangsa dan individu per-individu penduduknya.

[2] Apa itu Plan Dalet? jika pertanyaan ini muncul di benak pembaca budiman ketika membaca artiel ini, lalu tidak ada satupun institusi Muhammadiyah yang bisa memberikan jawaban memuaskan secara factual dilengkapi analisis yang kontekstual, maka ya, itulah poin tulisan ini.

[3] yang saya sebutkan tentu hanya yang terpikirkan ketika menulis artikel ini. mungkin ada banyak lagi.

[4] Bisa dibaca di sini. https://www.palestinechronicle.com/my-israeli-friends-this-is-why-i-support-palestinians-ilan-pappe/ . Bahkan perkembangan investigas terkini menunjukan bahwa Hamas tidak menjadikan konser music itu sebagai sasaran utama. Mereka mengincar koloni pemukim illegal (illegal settlers) yang ada di dekat tempat itu. Korban-korban yang meninggal mengenaskan justru banyak karena ditembak membabi buta oleh pilot heli Apache tantara Israel. Juga tidak ada bukti adanya pemerkosaan seperti yang dihembuskan propaganda Zionis. Baca: https://electronicintifada.net/blogs/ali-abunimah/israeli-helicopter-shot-civilians-7-october-rave-police-find  dan untuk Bahasa Indonesia:

https://kumparan.com/kumparannews/beredar-video-israel-tembaki-warganya-sendiri-saat-konser-supernova-7-oktober-21Y4PyeSz3V/full

[5] Dan Muhammadiyah percaya itu, buktinya sampai rela capek-capek membikin 172 universitas dan sekolah-sekolah di semua jenjang yang sudah nggak tahu berapa ratus ribu itu.

Ayub

Mengejar impian sederhana, menjadi pecinta semesta.

Tambahkan komentar

Tinggalkan komentar